Kamis, 21 Februari 2013

Menyelamatkan Bahasa Ibu


Menyelamatkan Bahasa Ibu
Saut Poltak Tambunan Novelis
KOMPAS, 21 Februari 2013


Tak banyak yang peduli ketika Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2011 lalu menyatakan bahwa 90 persen bahasa daerah terancam punah pada akhir abad ke-21.

Sesungguhnya, ini peringatan bagi setiap pemangku kepentingan budaya. Dari 746 bahasa daerah yang masih eksis, diperkirakan hanya akan tersisa sekitar 10 persen atau 75 bahasa daerah. Ironisnya, Kemendikbud menetapkan kurikulum 2013 tanpa muatan lokal/bahasa daerah. Pertanyaan di atas jadi sangat relevan untuk direnungkan bertepatan dengan 21 Februari, yang oleh UNESCO pada 17 November 1999 lalu, ditetapkan sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional. Ini pun tak banyak yang tahu. Hari 
Bahasa Ibu Internasional nyaris tak ada gaungnya. Padahal, sebagian besar anak bangsa ini mengenal bahasa daerah sebagai bahasa ibu (mother tongue).

UNESCO—badan PBB yang bertugas di bidang pendidikan dan kebudayaan—menetapkan Hari Bahasa Ibu Internasional berdasarkan keprihatinan terhadap banyaknya bahasa ibu yang punah di atas bumi. Hari Bahasa Ibu Internasional berasal dari pengakuan internasional terhadap Hari Gerakan Bahasa yang dirayakan di Banglades.

Beberapa pegiat sastra mencoba berjuang sendiri-sendiri melestarikan bahasa daerah. Di antaranya, bahasa daerah Jawa, Sunda, Bali, Banjarmasin, dan Batak. Ajip Rosidi, Erry Riyana Harjapamekas, Edi S Ekajati, dan beberapa tokoh lain melalui Yayasan Kebudayaan Rancage telah menginisiasi pemberian penghargaan kepada tokoh-tokoh yang dianggap berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Hadiah Sastra Rancage diberikan setiap tahun sejak 1989. Buletin internal berbahasa daerah mungkin ada. Beberapa majalah atau koran berbahasa daerah masih mencoba bertahan, seperti majalah bahasa Jawa Panjebar Semangat, Jaya Baya, Djaka Lodang, Damar Jati, Mekar Sari, dan ANCAS. Dalam bahasa Sunda ada Cupumanik, Manglé, dan Ujung Galuh.

Majalah etnis Batak ada beberapa, tetapi menggunakan bahasa Indonesia. Tahun 2012, saya menulis kumpulan cerpen Mangongkal Holi dan novel Mandera na Metmet dalam bahasa Batak Toba. Ini sastra modern pertama berbahasa Batak Toba.

Kian Ditinggalkan

Dalam keseharian, kian banyak generasi muda yang enggan bertutur dalam bahasa ibunya. Di kampung-kampung, remaja dan anak-anak berbahasa Indonesia dengan dialek dan struktur bahasa daerah setempat. Orangtua sejak dini membiasakan anak-anak berbahasa Indonesia. Sebab, jika nanti mereka masuk sekolah dan kuliah, terlebih saat mencari pekerjaan, bahasa Indonesia dan bahasa asing yang lebih diperlukan.
Komjen (Purn) Posma L Tobing dalam pengantar buku Mandera na Metmet menulis, inilah konsekuensi dari modernisasi yang mendorong derap urbanisasi, pernikahan antar-etnis, industrialisasi, dan terciptanya masyarakat heterogen. Bahasa daerah juga semakin terpinggirkan oleh globalisasi dan perkembangan teknologi informasi yang ”English heavy”. Apalagi, pendidikan dan transformasi ilmu pengetahuan nyaris tak ada yang diantarkan dalam bahasa daerah. Pendidikan bahasa lokal kerap dimarjinalkan dan tidak begitu menentukan dalam mengindikasi keberhasilan pendidikan.

Dalam perkembangan selanjutnya, pergaulan, telekomunikasi, dan media seolah mendorong penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa asing sebagai bagian dari gaya hidup. Maka, bagi sebagian generasi muda, berbahasa daerah dianggap kampungan, tak diperlukan, tak menarik, dan bahkan anakronis, tak sesuai perkembangan zaman. Memang, bahasa Indonesia benar-benar sudah jadi bahasa persatuan. Namun, ini seharusnya tak membuat bahasa daerah jadi punah.

Tak semua etnis di Indonesia punya lembaga yang konsisten menjaga warisan budayanya, seperti keraton di Yogyakarta atau Solo. Namun, itu tak seharusnya jadi kendala. Masih banyak bentuk kreativitas untuk mengawal bahasa daerah. Cara terbaik, membiasakan penggunaannya. Sekolah, kampus, dan lembaga keagamaan mestinya peduli pelestarian bahasa daerah, dibarengi dukungan pemda lewat perda, misalnya penggunaan di kawasan kantor atau sekolah.

Banyak kearifan lokal dan nilai luhur tradisional yang hanya tepat ditransformasikan lewat bahasa ibu. Karena itu, banyak kearifan lokal yang sirna bersamaan dengan pudarnya minat bertutur dalam bahasa daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar