Rabu, 13 Februari 2013

Menonton Show Gladiator PD


Menonton Show Gladiator PD
Aribowo dan Lirih Aribowo ;   Aribowo, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unair; Lirih Aribowo, Peneliti Pusat Studi Demokrasi dan Hak Asasi Manusia atau PuSDeHam
JAWA POS, 12 Februari 2013


PRECIPITATING factor itu bernama SMRC (Saiful Mujani Research and Consulting). Hasil riset SMRC menjadi faktor pemicu karena sangat dipercaya para petinggi Partai Demokrat (PD). PD dalam setiap pemilu dan pilkada selalu menggunakan data dasar riset, terutama Saiful Mujani dan, dulu, Fox (milik Choel Mallarangeng). 

PD juga menggunakan slogan dasar ''Bersih, Cerdas, dan Santun (BCS)''. Salah satu makna partai cerdas dari PD adalah selalu mengedepankan rasionalitas dan kejernihan dalam membuat keputusan politik seperti dengan hasil riset yang kredibel serta akurat. Karena itu, para petinggi PD langsung belingsatan ketika Saiful Mujani mengumumkan tingkat elektabilitas PD sebesar 8,3 persen (jika hari ini dilangsungkan pemilu).

Ada beberapa hal yang menarik dari riset itu. Pertama, mulai terjadi split affiliation atau pemisahan afiliasi antara dukungan terhadap PD dan SBY dari masyarakat. Penilaian masyarakat terhadap kinerja SBY per Desember 2012 cukup bagus. Yaitu, 55,8 persen menyatakan sangat puas dan 39,9 persen kurang puas. Di sisi lain, elektabilitas masyarakat terhadap PD justru merosot menjadi 8,3 persen. 

Riset Saiful Mujani sebelumnya selalu memunculkan gejala yang selaras antara dukungan terhadap kinerja SBY dan PD. Jika dukungan terhadap SBY turun, dukungan terhadap PD juga turun. Sebaliknya, jika dukungan terhadap kinerja pemerintahan SBY naik, dukungan terhadap PD pun naik.

Kedua, angka 8,3 persen merupakan angka paling rendah dan drastis bagi parpol pemenang Pemilu 2009, apalagi parpol yang dibentuk SBY. Lebih dari itu, besar dan merosotnya parpol tersebut berkaitan dengan karisma SBY. Angka 8,3 persen lebih tinggi sedikit jika dibanding hasil pemilu legislatif 2004. Yaitu, PD mendapat 7,5 persen. Perbedaan mencolok dari angka 8,3 persen dan 7,5 persen adalah PD dalam setiap riset dua tahun terakhir cenderung turun. 

Tren menurunnya PD sangat kuat dari waktu ke waktu. Jika tidak melakukan langkah yang brilian, sangat mungkin suara PD dalam pemilu legislatif 2014 akan berada di bawah sekali. Gejala tren menurun itu jauh lebih susah dihentikan daripada gejala stagnan. Sementara itu, hasil Pemilu 2004 dengan angka 7,5 persen menunjukkan tren naik. Apalagi, pada 2004, SBY terpilih menjadi presiden periode 2004-2009. Dampak tren positif dan naik itu tampak dari hasil pemilu legislatif 2009. Yaitu, PD memperoleh 20,85 persen suara.

Ketiga, sebagian besar memilih PD karena gejala swing voters dan karisma SBY. Para swing voters umumnya adalah pemilih yang rasional. Mereka memilih karena program partai, isu publik yang diangkat, kapabilitas kandidat yang diajukan, serta arah tren psikologi politik saat mereka memilih. Mereka memilih bukan karena ideologi politik. Umumnya mereka tidak terikat oleh ideologi politik. Jika suatu partai politik menawarkan program bagus dan setelah menduduki kekuasaan tetap konsisten, akuntabel, serta reliable, parpol itu akan tetap didukung seterusnya. Tapi, jika mereka tidak konsisten, swing voters tersebut akan meninggalkannya.

Karena itu, moral dari hasil riset SMRC adalah yang tertinggal hanya faktor SBY. Konsistensi PD selama dua tahun terakhir dinilai para swing voters mulai berubah. Minimal hasil gempuran media massa cetak dan elektronik terhadap PD akhirnya memengaruhi elektabilitas PD. Celakanya, PD tidak kurang pandai memanfaatkan berbagai media massa dan media lainnya untuk menjawab gempuran tersebut.

Performance PD yang kurang meyakinkan itu diperparah munculnya kasus korupsi M. Nazaruddin. Kasus Nazaruddin ini menjadi isu seksi. Berbulan-bulan citra PD menjadi bulan-bulanan media massa cetak, elektronik, internet, jejaring sosial, rumor, gosip, dan hantaman politik dari parpol oposisi. Anehnya, DPP PD tampak tiarap, pasif, dan melakukan reaksi sporadis yang tidak brilian. Malahan, ketua umum dan pimpinan DPP PD terkesan pasif dijadikan bulan-bulanan media massa dan oposisi politiknya. Bahkan, anggota koalisi parpol pendukung kabinet pun menghantam PD.

Di sisi lain, menghadapi kasus Nazaruddin, faksi-faksi dalam PD tiba-tiba berubah menjadi gladiator dan Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum berada di pusat pusaran. Bahkan, ada indikasi kuat mereka berkonspirasi dengan kekuatan di luar PD untuk menghabisi faksi lain tersebut. Di media massa, mereka bermain akrobat: saling mengolok, saling menyudutkan, saling melaporkan, saling tikam, dan saling ''membunuh''.

Politik santun, cerdas, dan bersih yang diimpikan SBY telah pudar sebagaimana digambarkan media. Mereka santun kalau menghadapi politisi di luar PD, tapi beringas ketika menghadapi faksi lain dalam PD. Tak ada lagi barisan, tapi gerombolan. 

Tampak sekali komunikasi, koordinasi, dan kontrol di internal PD tumpul. Mereka kedodoran menghadapi kasus Nazaruddin. Mereka kedodoran menghadapi perilaku parpol lain di koalisi yang selalu menghantam PD. Mereka kedodoran menghadapi media massa yang bebas dan kritis. Mereka kedodoran mengontrol dirinya sendiri yang tiba-tiba berubah menjadi para gladiator.

Kira-kira, itulah makna SBY selaku ketua Dewan Pembina dan ketua Majelis Tinggi PD mengambil alih kekuasaan Ketua Umum DPP PD Anas Urbaningrum. Bagi PD, hanya faktor SBY yang tersisa. Begitu pesan riset SMRC. Karena itu, kalau ketua umum DPP PD membangkang dari pengambilalihan kekuasaannya tersebut, akrobat para gladiator dalam PD masih akan berlanjut. Itu adalah tontonan yang menyedihkan di depan rakyat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar