Sabtu, 09 Februari 2013

Menjaga Kemerdekaan Pers


Menjaga Kemerdekaan Pers
Soetjipto  ;   Anggota Dewan Kehormatan Daerah
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Cabang Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 09 Februari 2013


KEMERDEKAAN pers mutlak perlu. Kemerdekaan pers dapat disebut sebagai salah satu tanda bahwa negara menganut sistem demokrasi yang sehat. Tanpa kemerdekaan, pers tidak dapat melaksanakan peran pentingnya secara maksimal. Peran-peran itu adalah memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui; melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. 

Ada lagi, ''mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, benar, dan akurat; menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, penegakan hukum dan HAM'', serta ini yang tidak kalah penting, ''memperjuangkan kebenaran dan keadilan''.

Kalau pers tidak dapat memaksimalkan peran konstruktifnya sesungguhnya yang rugi tidak hanya kalangan pers tapi juga bangsa ini secara keseluruhan. Termasuk pemerintah, dunia usaha, pekerja, mahasiswa, kalangan profesional, dan tentu masyarakat. Kemerdekaan pers sekurang-kurangnya ditandai oleh tidak adanya sensor, beredel, dan larangan terbit/ penyiaran. Juga adanya kebebasan bagi pers untuk melaksanakan 6 M, yaitu mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, serta menyebarluaskan gagasan dan informasi. Itulah esensi kegiatan jurnalistik.

Kita pernah berada pada masa ada beredel terhadap pers. Pers pernah dalam kondisi tidak bebas mencari, mengolah, dan menyebarluaskan informasi ataupun gagasan. Banyak peristiwa penting terjadi tetapi tidak boleh diberitakan. Apalagi kalau menyangkut penguasa atau kekuasaan. Kontrol dan kritik pers tidak maksimal. Padahal itu adalah bagian sangat penting dari fungsi pers. 

Kalau ada yang nekat, menentang arus, harus siap dicabut SIUPP-nya. Atau jurnalisnya yang harus menjadi korban kekerasan, termasuk pembunuhan. Kita tentu masih ingat kasus tewasnya wartawan Bernas, M Syafrudin, yang sampai sekarang tidak terdengar kabar kelanjutan penanganannya. Pers sebelum era reformasi, seperti terbelenggu, benar-benar tiarap. Ada yang menyebut sebagai masa pers tiarap. 

Merawat Kebebasan

Kita sekarang memiliki sepenuhnya kemerdekaan/ kebebasan pers. Paling tidak dari segi perundang-undangan. Sering disebutkan kebebasan pers di negeri ini termasuk yang terbaik di Asia. Tetapi siapa pun tidak boleh lupa. Bahwa kemerdekaan/ kebebasan pers sebagaimana ada sekarang ini bukan sesuatu yang datang secara tiba-tiba. Bukan hadiah cuma-cuma yang jatuh dari langit melainkan hasil dari perjuangan panjang dan keras semua komponen bangsa, tidak hanya masyarakat pers. 

Karena itu, kemerdekaan pers dapat dikatakan bukan hanya milik masyarakat pers melainkan juga milik semua anak bangsa. Karena sesungguhnya yang berjuang demi keterwujudan kemerdekaan pers adalah semua elemen bangsa. Baik itu kalangan LSM, akademisi, politikus, pegiat HAM, maupun advokat, dan tentu kalangan pers sendiri. Jadi wajar kalau peruntukan dan kemanfaatannya juga untuk semua elemen bangsa.

Peringatan Hari Pers Nasional (HPN) seperti sekarang ini kiranya dapat dijadikan momentum bagi semua pihak, terutama masyarakat pers, untuk terus bertekad merawat atau menjaga kemerdekaan/ kebebasan pers itu sebaik-baiknya. Kemerdekaan pers harus dipertahankan dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara. Kemerdekaan pers tidak boleh disalahgunakan untuk hal-hal yang tidak terpuji. 

Memeras, atau membunuh karakter seseorang misalnya. Kemerdekaan pers juga harus dijaga jangan sampai menjadi kebablasan pers.  Karena kalau hal ini terjadi, sesungguhnya pers sendiri yang merusak kemerdekaan pers. Hal yang tidak boleh terjadi. Masyarakat pers harus dapat menjaga keepercayaan masyarakat bahwa dirinya memang pantas mendapatkan kemerdekaan pers dan tepercaya pula untuk memeliharanya. 

Tentu ada pihak-pihak lain yang tidak senang dan merasa tak nyaman dengan iklim kebebasan pers sekarang ini. Mudah diduga, mereka adalah orang-orang yang suka menyeleweng, menyalahgunakan wewenang dan kekuasaan, korup dan lain-lain. Mereka tidak ingin perbuatan-perbuatan yang tidak terpuji itu diketahui oleh publik. Kemerdekaan/kebebasan pers bukannya tanpa batas. Bebas di sini tidak berarti bebas sebebas-bebasnya. Kalau menulis atau memberitakan sesuatu peristiwa misalnya, tidak boleh seenaknya sendiri. Harus benar, objektif, berdasarkan fakta. Kalau mengandung kontroversi berita harus berimbang, tidak boleh menghakimi. 

Pendeknya bukan kebebasan mutlak, melainkan  kebebasan yang ada batasnya. Batas itu adalah ketentuan hukum dan undang-undang. Batas itu adalah etika profesi, atau kode etik jurnalistik bagi kalangan wartawan. Batas itu adalah hati nurani. Kebebasan yang tanpa batas berisiko menabrak hak asasi pihak lain.

Tanggung Jawab

Dari teks UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, batas itu dengan jelas dapat dijumpai pada Pasal 5 yaitu, ''dalam memberitakan peristiwa dan opini pers nasional wajib menghormati norma agama, rasa kesusilaan masyarakat, dan asas praduga tidak bersalah. Pers juga wajib melayani  hak jawab dan hak koreksi''. Kewajiban-kewajiban itu kalau dilanggar dapat dikenai sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 18, yaitu pidana denda paling banyak Rp 500 juta.  
Dari kode etik jurnalistik batas kebebasan itu dapat dijumpai pada ketentuan sebagai berikut, ''wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul''. Ketentuan lain menyatakan, ''wartawan Indonesia  tidak menyebutkan dan menyiarkan identitas korban kejahatan susila dan identitas anak yang menjadi pelaku kejahatan''.

Sungguh mulia ketentuan itu. Jurnalis Indonesia tidak ada alasan untuk tidak mematuhi karena sesungguhnya kode etik jurnalistik itu yang membuat adalah dirinya sendiri. Kode etik jurnalistik (KEJ), bagi wartawan dapat disebut sebagai ''harga mati'' yang tidak bisa tidak harus ditaati.

Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat, ada ketentuan lain yang perlu diingat dari KEJ. Bahwa,  ''wartawan Indonesia segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan/atau pemirsa''. 

Memang karya jurnalistik adalah karya manusia sehingga bisa saja keliru, khilaf, atau salah. Berbagai faktor bisa menjadi penyebab terjadinya kekeliruan antara lain ketergesa-gesaan. Yang penting kalaupun ada kekliruan dalam pemberitaan bukan karena kesengajaan. 

Kesediaan atau keikhlasan untuk meralat atau memperbaiki berita yang salah, mencabut berita, atau meminta maaf dari diri sendiri sesegera mungkin adalah bagian dari sikap jujur dan dewasa. Ini adalah bagian dari bentuk tanggung jawab pers. Pers tidak perlu merasa rendah kalau harus melakukan ralat atau perbaikan terhadap berita yang salah. Justru ini sikap sportif, karena itu terpuji. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar