Senin, 04 Februari 2013

Menimbang “Deep Tunnel”


Menimbang “Deep Tunnel”
Nelwan Kusnomo ;   Dosen Fakultas Teknik Undip,
Alumnus Interna­tional Institute for Hydraulic and Envi­ronmental Engineering (IHE)  Delft Belanda dan University of Toronto Kanada
SUARA MERDEKA, 04 Februari 2013


TERKAIT dengan banjir besar yang beberapa waktu lalu melanda sebagian besar wilayah Ibu Kota, muncul gagasan membangun deep tunnel untuk mengendalikan banjir. Adalah Gubernur DKI Jakarta Jokowi yang melontarkan gagasan itu, yakni pembangunan gorong-gorong raksasa berdiameter 16 meter sepanjang sekitar 22 kilometer, dari Cawang hingga Pluit. Pembangunan konstruksi diperkirakan menelan biaya Rp 16 triliun dan bisa selesai dalam waktu empat tahun.

Namun banyak yang harus menjadi pertimbangan guna merealisasikan gagasan besar itu. Minimal ada tiga aspek utama yang perlu kita perhatikan terkait konstruksi tersebut. Pertama; aspek hidrologi dan hydraulic engineering. Gorong-gorong raksasa itu, seberapa pun besar dimensinya tetap punya keterbatasan untuk menampung banjir. Padahal curah hujan di Jakarta terhitung tinggi, belum lagi bila menerima ”kiriman” air dari daerah selatan (Bogor).

Pengecualiannya adalah bila deep tunnel tersebut dilengkapi dengan reservoir besar, yang pembangunannya butuh biaya sangat besar. Belum lagi, cara ”mengeluarkan” volume besar air dari dalam gorong-gorong raksasa itu yang tak bisa hanya mengandalkan gaya gravitasi tapi butuh dukungan sistem pemompaan yang konsekuensinya butuh energi besar dan biaya pengoperasian besar pula.

Kedua; aspek geologi dan structural engineering. Pada umumnya deep tunnel, baik untuk sistem pembuangan kotoran (sewerage) maupun transportasi dibangun di wilayah dengan kondisi geologi yang stabil, kuat, dan keras. Padahal sebagian besar wilayah Jakarta merupakan tanah aluvial dengan formasi silt dan clay yang dikategorikan tanah lunak.

Aspek Pemeliharaan

Namun seandainya pemerintah bersikeras membangunnya dengan kondisi tanah seperti itu tentu harus dengan konstruksi ekstrakuat dan itu butuh biaya yang jauh lebih besar. Keberadaan gorong-gorong raksasa pada tanah lunak bisa kita ibaratkan sebatang pipa besar dalam media yang lunak/lembek dan tidak stabil.
Mengingat gorong-gorong itu akan banyak menerima muatan dinamis, bukan tidak mungkin menimbulkan momen yang berisiko menyebabkan keretakan, kebocoran, bahkan lebih fatal lagi, patah atau pecah.

Ketiga; aspek pengoperasian dan pemeliharaan. Aspek ini juga harus menjadi perhatian utama  mengingat banyak sekali pengalaman yang membuktikan bahwa kita kurang memberi perhatian pada aspek pemeliharaan/ perawatan suatu proyek konstruksi.

Kita juga harus bisa menghitung secara cermat tinggi kandungan sedimen, termasuk kotoran/sampah dalam air sungai, baik yang melintas di Jakarta maupun kota-kita lain di Indonesia. Belum lagi harus memperhitungkan sampah-sampah yang tidak bisa membusuk semisal plastik yang kini lebih mendominasi sampah di sungai. Untuk satu kali banjir saja, berapa banyak sedimen dan sampah yang mengendap di dalam deep tunnel. Hal ini akan menjadi tugas yang sangat berat untuk membersihkan gorong-gorong itu dengan  keharusan mengeluarkan semua endapan dan sampah ke permukaan tanah.

Belum lagi proses pembusukan dari kotoran dan sampah yang masuk ke gorong-gorong raksasa tersebut yang berisiko menghasilkan berbagai gas dan zat yang membahayakan kehidupan manusia. Bukan mustahil deep tunnel bisa menjadi disease tunnel atau garbage tunnel, bahkan menjadi sumber penyakit. Kita punya catatan tentang ledakan di Chicago Deep Tunnel, akibat akumulasi gas dalam gorong-gorong besar itu yang kemudian terkondensasi dengan tekanan sangat tinggi hingga akhirnya meledak.

Tanpa mengecilartikan gagasan itu, kita perlu mengapresiasinya mengingat banjir besar di Ibu Kota memang mengingatkan semua pihak untuk bersama-sama mencari solusi. Termasuk permintaan Jokowi kepada Bappenas untuk mempecepat pembangunan tanggul laut raksasa di Teluk Jakarta (running text MetroTV, 24/01/13). Gagasan itu tampaknya terinspirasi oleh dam di Negeri Belanda yang menutup satu wilayah teluk di Laut Utara menjadi satu danau besar yang disebut ijzelmeer.

Namun ada beberapa hal penting untuk dipertimbangkan dalam membangun tanggul laut raksasa, yang diharapkan selain bisa mengatasi banjir juga dapat menjadi reservoir air tawar. Pertama; kondisi hidrologi Jakarta dengan curah hujan yang tinggi berbeda dari Negeri Belanda atau negara nontropis yang lain. Belum lagi rembesan air laut (seepage) lewat dasar dam dan efek penurunan tanah terhadap stabilitas konstruksi dam akan menjadi problem berat dan mahal untuk penanggulangannya.

Pertanyaannya adalah siapkah kita menghadapi segala risiko dan konsekuensi dari pembuatan deep tunnel? Tentu rencana besar itu masih butuh kajian yang lebih komprehensif karena besar volume sedimen dan sampah yang masuk ke gorong-gorong raksasa tersebut akan mengakibatkan biaya perawatan/ pemeliharaan yang sangat tinggi. Padahal tanpa perawatan/pemeliharaan intensif, sebaik apa pun proyek itu hanya akan menjadi simalakama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar