Jumat, 08 Februari 2013

Menggagas Nasib Anas


Menggagas Nasib Anas
Flo K Sapto W  ;    Praktisi Pemasaran,
Dosen Tamu di Magister Management FE-UNS
KORAN TEMPO, 08 Februari 2013


AM boleh saja dianggap gagal sebagai Menpora atau Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Namun, dengan sikapnya itu, AM punya reputasi yang baik karena tidak gagal sebagai manusia Indonesia. AM telah berani mengaku salah dan bertanggung jawab.
Jero Wacik, dalam konferensi pers di rumahnya, Minggu (3 Februari), menyatakan bahwa Anas Urbaningrum turut menyumbang kemerosotan citra Partai Demokrat. Pada kesempatan itu, Jero Wacik sekaligus menyatakan alangkah bagusnya jika Anas berinisiatif mengundurkan diri (Koran Tempo, 4 Februari). Lebih jauh, Wacik juga memberikan tiga teori pemikiran hierarki. Pertama, kepentingan negara. Kedua, kepentingan partai. Ketiga, kepentingan pribadi (Detiknews, 4 Februari). Implementasinya, kepentingan partai harus dinomorduakan setelah kepentingan negara. Demikian seterusnya, kepentingan partai harus didahulukan daripada kepentingan pribadi. Konkretnya, jika ada kader Partai Demokrat yang merasa menjadi batu sandungan partai karena menjadi bulan-bulanan media terkait dengan kasus Hambalang, dia harus mengalah demi soliditas partai. 
Pernyataan Jero Wacik tersebut cukup memanaskan atmosfer di awal tahun politik ini, walaupun isu ini sebetulnya sudah bukan materi baru lagi. Keberadaan beberapa faksi di lingkup internal Partai Demokrat terkait dengan Anas sudah ada seiring pengakuan Nazaruddin. Anas juga dikabarkan memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan SBY. Pada akhir 2012 kabar tak sedap ini sudah mengemuka (21 Desember). Sedikit-banyak SBY kecewa terhadap track record Partai Demokrat (PD) yang kian tersendat elektabilitasnya. 
Patut diduga, mundurnya Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Alifian Mallarangeng dan pemecatan Ruhut Sitompul menjadi sebagian dari akumulasi tarik-menarik kepentingan di kalangan internal. Padahal jauh hari sebelumnya, SBY sudah mengimbau kepada kader PD yang terlibat korupsi untuk mengundurkan diri. Sampai saat ini publik menangkap sinyal kuat itu masih mengarah ke Anas Urbaningrum. Bagi Anas, hal ini nyaris menjadi tuduhan sosial yang menurunkan reputasinya. Reputasi--menurut Mason dalam What Image Do You Project yang dimuat dalam Management Review (1993; 82)-suka-tidak suka adalah persepsi publik, melalui media, terhadap reputasi seseorang. Secara logika, seseorang yang terus-menerus menjadi pemberitaan negatif sudah akan terganggu kinerjanya. Gencarnya pemberitaan media dengan sendirinya juga akan mendorong Anas Urbaningrum (AU) menarik diri. 
Secara teoretis--meski fakta di lapangan bisa sebaliknya--hal ini juga akan berpengaruh terhadap respons jajaran struktural di kelembagaan tempatnya selama ini ditinggikan. Minimal telah berpotensi memerosotkan rasa hormat dan kepatuhan dari bawahan. Dengan demikian, kepemimpinannya menjadi tidak lagi efektif. Maka, di dalam bingkai sportivitas, pengunduran diri Menpora Andi Mallarangeng (AM) justru layak diapresiasi. Sekaligus menjadi tamparan bagi pihak-pihak tertentu yang selama ini masih mencoba dengan keras "menyelamatkan" posisi AU. Semakin jelas bahwa apa pun skenario yang sudah pernah dijalankan--dan mungkin juga masih akan dipaksakan untuk dijalankan lagi--akan kandas. 
Bagaimanapun, pengunduran diri AM justru berhasil memberikan image positif baik bagi PD maupun AM sendiri. Publik telah menempatkan AM dengan sebuah reputasi tertentu. AM boleh saja dianggap gagal sebagai Menpora atau Sekretaris Dewan Pembina Partai Demokrat. Namun, dengan sikapnya itu, AM punya reputasi yang baik karena tidak gagal sebagai manusia Indonesia. AM telah berani mengaku salah dan bertanggung jawab. Lalu, bagaimana selanjutnya dengan Anas Urbaningrum, yang telah tercederai oleh dugaan-dugaan meluas, apakah akan mengambil keputusan serupa ataukah tetap berusaha menyelamatkan reputasinya dengan segala upaya? 
Partai Demokrat, sebagai partai yang di AD/ART-nya beretika bersih, santun, dan cerdas, mempunyai struktur organisasi yang menarik. Struktur tertinggi memang ada pada Majelis Tinggi. Secara ex-officio, Ketua Majelis Tinggi adalah Ketua Dewan Pembina (SBY). Uniknya, Wakil Majelis Tinggi ex-officio adalah Ketua Umum DPP (AU). Anggota Majelis Tinggi lainnya diangkat dan ditetapkan oleh Ketua Majelis Tinggi (SBY). Demikian juga Dewan Kehormatan, yang secara struktural sejajar dengan Dewan Pimpinan Pusat (DPP/AU), ketua dan wakilnya ex officio adalah SBY dan AU. Hanya Dewan Pembina yang secara struktural juga sejajar dengan DPP (AU)--mekanismenya tidak mensyaratkan keberadaan AU. Artinya, apa pun keputusan strategis-yang terkait dengan AU--akan dengan sendirinya juga melibatkan pertimbangan dari AU. Dengan demikian, posisi AU secara struktural formal memang sangat sulit digoyang. 
Sebaliknya, mekanisme melalui kongres luar biasa (KLB) yang mempunyai wewenang sama dengan kongres (bab IX, pasal 100, angka 2) juga masih akan melibatkan peran AU sebagai Wakil Ketua Majelis Tinggi (ibid, angka 3, huruf a). Bahkan, di dalam KLB, hal itu juga sekaligus akan menjadi pertaruhan sensitif. Sebab, ketentuan pengajuan KLB dari dua pertiga DPD dan setengah DPC (ibid, huruf b) akan menunjukkan konfigurasi sesungguhnya kekuatan lobi AU dan SBY. 
Asumsinya, secara struktural SBY masih bisa mengkondisikan pengaruhnya di tingkat Majelis Tinggi, DP, maupun DK. Namun belum tentu demikian di tingkatan DPD dan DPC. Muncul kekhawatiran bahwa jika KLB "diserahkan" mekanismenya di level bawah, bisa jadi persyaratan dua pertiga DPD dan setengah DPC tidak akan terpenuhi. Kekhawatiran lebih jauh adalah kemungkinan KLB malah akan bisa dipolitisasi oleh Anas untuk menggulingkan Ketua Majelis Tinggi, DP, dan DK (SBY). Sebab, selain kemungkinan besar Anas bisa mengkondisikan arus bawah (DPD dan DPC), peranannya sebagai penyelenggara KLB juga akan masih bisa mempengaruhi keputusan KLB. Jika ini yang terjadi, sinyalemen yang ada dalam soal friksi di lingkup internal PD selama ini benar adanya: bahwa SBY terpenjara oleh struktur internal PD. 
Mekanisme "paling aman" adalah dengan menyelenggarakan KLB hanya atas permintaan Majelis Tinggi, tanpa perlu menunggu pengajuan dari DPD-DPC. Dengan demikian, sebagai salah satu aset bangsa, PD tidak perlu menanggung risiko politik yang lebih besar dari pembersihan terduga koruptor. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar