Kamis, 14 Februari 2013

Mengatasi Konflik Sosial di Indonesia


Mengatasi Konflik Sosial di Indonesia
Bawono Kumoro  Peneliti Politik The Habibie Center
SINAR HARAPAN, 13 Februari 2013


Kelahiran era reformasi telah berhasil membuka keran kebebasan di sejumlah bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Di masa lalu, kebebasan menjadi barang sangat mahal di republik ini akibat berada di bawah cengkeraman rezim otoriter Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.

Namun, terbukanya keran kebebasan itu ternyata tidak otomatis selalu membawa dampak positif semata, melainkan juga diiringi dengan kemunculan berbagai konflik sosial di masyarakat.

Konflik sosial seakan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari kehidupan berbangsa dan bernegara di era reformasi. Alih-alih mengalami penurunan, jumlah konflik sosial di Indonesia justru memperlihatkan tren kenaikan dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri, jumlah konflik sosial di Indonesia pada 2010 berjumlah 93 kasus, meskipun sempat menurun pada 2011 menjadi 77 kasus. Namun, kemudian jumlah konflik sosial kembali meningkat tajam menjadi 89 kasus hingga akhir Agustus 2012.

Bahkan, menurut data Kementerian Sosial terdapat 189 titik rawan konflik sosial di Indonesia. Konflik sosial itu tersebar hampir di seluruh daerah di Indonesia. Di awal reformasi, konflik terkait isu keagamaan dan isu etnisitas mendominasi konflik kekerasan di Indonesia, namun ada pula konflik yang bersifat politis seperti isu separatisme yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam dan Papua.

Saat ini, konflik tidak hanya menunjukkan peningkatan insiden terkait sengketa tanah, namun perselisihan juga semakin marak ketika menyentuh persoalan identitas antara dua kelompok yang berbeda.

Sulit dimungkiri konflik-konflik sosial itu merupakan buah dari watak kekuasaan masa lalu yang cenderung militeristik, sentralistik, dan hegemonik.

Watak kekuasaan seperti itu telah menggerus kemerdekaan sebagian kelompok masyarakat untuk mengaktualisasikan diri dalam ranah sosial, ekonomi, politik, dan kultural. Akibat dari hal itu mereka tidak dapat mencapai tingkat kesejahteraan hidup secara baik. Lebih lanjut, rasa frustasi sosial pun akan sulit dihindarkan.

Kasus konflik sosial di Sidomulyo (Lampung), Mesuji (Lampung), Jayapura (Papua), Timika (Papua), Sumbawa (Nusa Tenggara Barat), dan daerah-daerah lain dapat dilihat sebagai bentuk pengejawantahan rasa frustasi sosial tersebut. Konflik sosial di daerah-daerah itu kemudian memunculkan kerusuhan massa, sikap saling menghasut, caci maki, pembunuhan, pemerkosaan, pembakaran, perampasan, dan pengusiran di tingkat akar rumput.

Jika dibiarkan dalam jangka panjang, berbagai bentuk kekerasan itu akan terinstitusionalisasi dan dianggap sebagai sebuah perilaku wajar sehingga melahirkan lingkaran setan kekerasan.

Masing-masing pihak yang terlibat di dalam konflik sosial akan mengidentifikasikan diri mereka sebagai korban. Identifikasi ini akan memunculkan sikap untuk saling balas dendam melalui jalur kekerasan juga jika ada kesempatan terbuka.

Untuk itu diperlukan kepekaan dan kesigapan dari pemerintah daerah maupun aparat penegak hukum setempat. Sikap itu dapat mencegah konflik sosial berada dalam situasi berlarut-larut penuh ketidakpastian.

Dalam kaitan itu, tepat jika kemudian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menginstruksikan kepada seluruh kepala daerah dan jajaran Kepolisian Republik Indonesia untuk menjadi garda terdepan dalam mencegah atau mengatasi gangguan keamanan di daerah masing-masing.

Ketentuan itu tertuang dalam Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Keamanan sebagaimana disampaikan Presiden SBY saat membuka Rapat Kerja Pemerintah tahun 2013, di Jakarta Convention Center, Senin (28/1).

Berkelanjutan

Pemegang kunci perdamaian sesungguhnya terletak pada pemangku kebijakan di tingkat lokal, baik itu pemerintah daerah maupun aparat keamanan setempat, karena mereka yang paling dekat dengan masyarakat, yang hidup berdampingan dengan masyarakat, dan paling pertama yang mendengarkan suara masyarakat.

Selain itu, presiden juga meminta para pemimpin dan aparat penegak hukum di daerah untuk tidak terburu-buru menganggap sebuah konflik sosial telah selesai setelah mengadakan pertemuan dan penandatanganan perjanjian perdamaian dengan pihak-pihak terkait.

Sikap seperti itu merupakan sikap meremehkan (underestimate) keadaan yang dapat menjadi bom waktu. Penyelesaian konflik sosial tidak cukup hanya dengan melakukan pertemuan atau penandatanganan perjanjian perdamaian. Pertemuan dan perjanjian perdamaian cenderung menafikan penyelesaian akar masalah konflik sosial yang terjadi.

Tidak sedikit contoh ketidaksuksesan upaya perdamaian yang diinisiasi melalui pertemuan dan perjanjian perdamaian. Sebagai contoh, kasus sengketa batas desa di Maluku, pemerintah daerah, dan aparat keamanan memfasilitasi pembangunan tugu perdamaian pascabentrokan tahun 2005, tapi konflik berulang kembali.
Padahal, penanganan konflik sosial memerlukan upaya berkelanjutan untuk membangun persepsi dan cara pandang baru dari kelompok masyarakat yang berkonflik.

Senada dengan itu, dalam berbagai kesempatan Menteri Sosial Salim Segaf Al Jufri berulang kali mengatakan pentingnya deteksi dini konflik sosial sehingga perlu dibangun sistem mulai dari pencegahan, manajemen konflik, sampai dengan pascakonflik. Deteksi dini konflik sosial itu, antara lain melakukan pemetaan daerah rawan konflik sosial, penyediaan alat informasi, komunikasi, dan mobilisasi untuk penanganan konflik sosial.

Di samping itu, dibutuhkan juga langkah konkret dari jajaran pemerintah daerah dan aparat keamanan untuk saling berkoordinasi menjaga daerah masing-masing. Mereka merupakan pihak paling tahu denyut nadi kehidupan masyarakat dan dinamika sosial setempat ketimbang pemerintah pusat. Pelibatan tokoh adat juga menjadi penting mengingat mereka merupakan opinion leader di lingkungan bersangkutan.

Para kepala daerah dan pemimpin aparat penegak hukum bekerja sama dengan tokoh adat di tingkat kabupaten/kota harus bersikap lebih sensitif terhadap situasi di daerah mereka masing-masing. Deteksi dini dinilai ampuh untuk mencegah terjadinya konflik sosial. Jadi, para kepala daerah, pemimpin aparat penegak hukum, dan tokoh adat di tingkat kabupaten/kota harus berdiri paling depan dalam penanganan konflik sosial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar