KEMELUT yang terjadi di antara 13 komisioner Komisi
Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM) mendapatkan perhatian sangat luas
dari publik. Kemelut yang terjadi sejak sekitar dua bulan lalu telah
menjerumuskan Komnas HAM ke konflik internal yang tidak produktif, tidak
perlu, dan bisa mengancam masa depan penegakan HAM.
Tidak hanya kalangan lembaga swadaya masyarakat yang gerah atas
kemelut yang terjadi. Para mantan komisioner Komnas HAM dari berbagai
generasi juga menyatakan keprihatinan dan kegalauan mereka karena kemelut
semakin menjauhkan Komnas HAM dari mandat dan khitah yang di dan khitah
yang di emban. Sebagai mantan komisioner yang telah berperan membangun
Komnas HAM, kerisauan mereka sangat beralasan dan wajib dihormati. Hal itu
disebabkan kemelut yang terjadi tidak menyangkut masalah substansial sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi Komnas HAM sebagai lembaga negara independen
yang mempunyai misi untuk menciptakan suasana kondusif dalam penegakan HAM.
Akibat kemelut yang berkepanjangan dan tidak ada sikap kompromi di
antara komisioner, ratusan staf Komnas HAM di kantor pusat Jakarta dan enam
kantor perwakilan di Maluku, Papua, Aceh, Sumatra Barat, Kalimantan Barat,
dan Sulawesi Tengah memutuskan untuk menyatakan sikap dan keprihatinan
mereka. Para staf menolak perubahan isi tata tertib, di antaranya tentang
keputusan masa jabatan pimpinan Kom nas HAM yang hanya menjabat selama
setahun. Hal itu akan mengganggu kinerja Kom nas HAM d a n mereka
memutuskan mogok untuk melayani kepentingan komisioner.
Kemelut yang melibatkan banyak pihak mendorong Komisi III
DPR--sebagai pihak yang memilih komisioner Komnas HAM--mengambil tanggung
jawab dan prakarsa untuk menyelesaikannya. Beberapa anggota Komisi III dari
berbagai partai politik menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kepada
publik karena telah salah memilih komisioner yang menurut bahasa mereka
`haus akan kekuasaan'.
Untuk itu, Komisi III mem berikan waktu sampai engan sekitar 10 Maret
menda tang agar Ko m n a s H A M bisa menyelesaikan kemelut secara
internal. Jika tidak, Komisi III akan memfasilitasi proses pemilihan
pimpinan sesuai dengan tata tertib yang lama. Hal itu tentu tidak
diinginkan karena menyangkut independensi Komnas HAM.
Karena itu, komisioner harus mampu membuktikan bisa menyelesaikan kemelut
secara elegan.
Pendapat saya, kemelut yang terjadi itu berkembang semakin kompleks
dan akut karena dari awal ketika benih konflik muncul, tidak ada per hatian
dan penanganan segera dan partisipatif. Malahan, konflik dibiarkan
berkembang karena masukan dan aspirasi dari pihak internal dan eksternal
Komnas HAM, yang meminta supaya keputusan untuk mempersingkat masa pimpinan
dikaji kembali secara terbuka dan partisipatif, kurang diperhatikan.
Situasi semakin meruncing ketika aktor-aktor lain mulai melibatkan diri dengan
ke pentingan masingmasing.
Awal mu masih mismengapa lanya terius, k e p u tusan sidang paripurna
Komnas HAM pada akhir November 2012 yang menetapkan jabatan pimpinan selama
2,5 tahun dianulir hanya dalam tempo sekitar satu bulan menjadi hanya
setahun? Motivasi dan dasar atas perubahan putusan tersebut belum dijawab
secara gamblang, logis, dan transparan oleh para komisioner yang promasa
jabatan pimpinan selama setahun.
Dalam forum dialog dengan ratusan staf Komnas HAM pada 8 Februari
yang lalu, hanya disebutkan alasan untuk membangun sistem dan melakukan
reformasi birokrasi.
Pertanyaannya, sistem apa yang bisa dibangun dan dilaksanakan dalam periode
hanya setahun, apa indikator, output, dan outcome yang hendak dicapai?
Jangan sampai Komnas HAM dijadikan sebagai bahan percobaan sistem yang
belum ada rujukan keberhasilannya.
Alasan lain ialah mengimplementasikan prinsip kolektif kolegial dalam
bentuk pemberian kesempatan yang sama kepada semua anggota untuk menjadi
pimpinan. Alasan itu tidak bisa diterima karena menjadi pimpinan harus
mempunyai kapasitas dan kapabilitas, baik secara manajemen dan substansial.
Lebih lanjut, kenapa perdebatan tentang prinsip kolektif kolegial baru
muncul kemudian ketika pimpinan sudah terpilih melalui mekanisme yang demokratis?
Kolektif kolegial berarti bekerja bersama-sama dalam tujuan yang sejalan,
yang dilakukan dalam bentuk proses pengambilan keputusan dan kebijakan
harus melalui keputusan bersama. Semua anggota sama. Semua anggot Komnas
HAM mempunyai posisi yang se tara dan tidak bisa mengintervensi satu sama
lain (primus inter pares).
Kemudian, jika alasannya untuk mereformasi birokrasi, apa korelasi
dan urgensi masa jabatan pimpinan selama setahun dengan reformasi
birokrasi? Reformasi birokrasi membutuhkan kepemimpinan yang baik dan
stabil untuk mendukung dan menjamin proses-proses perbaikan dan peningkatan
kualitas pelayanan terhadap publik secara transparan, akuntabel, dan
optimal. Dengan masa jabatan pimpinan setahun, itu dipastikan akan
menimbulkan manajemen organisasi yang labil dan model kepemimpinan akan
terpengaruh oleh style dan model yang melekat pada perorangan.
Dalam tempo
setahun, waktu akan habis untuk melakukan penyesuaian dan konsolidasi
internal, daripada menjalankan core business Komnas HAM, di antaranya
menangani sekitar 5.000 pengaduan pelanggaran HAM yang diterima setiap
tahunnya.
Kemelut tersebut tidak bisa dibiarkan berlarut-larut tanpa ada
solusi. Para pihak, khususnya komisioner yang berbeda pendapat dan
pandangan, serta jajaran sekretariat jenderal yang sangat berperan dalam
mendukung dan melaksanakan fungsi-fungsi Komnas HAM, harus mengadakan
dialog secara terbuka dan berorientasi pada kepentingan publik. Sikap kaku
dan posisi untuk tidak mau berkompromi akan menimbulkan masalah ikutan yang
semakin ruwet, di antaranya kemungkinan muncul boikot dan gerakan
delegitimasi dari berbagai lembaga negara, lembaga nonpemerintah, dan
kelompokkelompok masyarakat. Pada akhirnya, yang bersorak-sorai ialah para
pelanggar H A M d a n p a r a korban pelanggaran HAM akan menangis karena
salah satu lembaga yang menjadi benteng keadilan berada di `ujung tanduk'.
Ke-13 komisioner Komnas HAM yang berlatar belakang berbeda-beda
(plural) bukan menjadi alasan untuk dipermasalahkan. Keberagaman tersebut
justru merupakan potensi yang menyimpan kekuatan jika dikelola dengan baik
dan didukung model kepemimpinan yang partisipatif dan akuntabel. Prinsip
kolektif kolegial bertujuan agar ada sinergi potensi dan kekuatan
antarkomisioner dan bisa saling mengisi kekurangan dan kelemahan satu sama
lain sehingga dihasilkan keputusan dan kebijakan yang mempunyai legitimasi
kuat dan berkelanjutan.
Publik masih menaruh harapan agar terjadi rekonsiliasi
antarkomisioner demi pulihnya kepercayaan publik terhadap Komnas HAM dan
integritas komisioner sebagai pejabat publik yang direkomendasikan dan
didukung publik (baik perorangan maupun lembaga). Apalagi, ajang pemilu dan
pilpres pada 2014 semakin dekat. Peran Komnas HAM dalam masa itu amat
dibutuhkan untuk mendorong proses transisi demokrasi yang berlandaskan pada
HAM dan turut menjamin bahwa siapa pun yang terpilih sebagai pemimpin
Republik mendatang harus bersih dari catatan pelanggaran HAM dan
berkomitmen pada penegakan HAM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar