Rabu, 27 Februari 2013

Menelisik Eufemisme Anas


Menelisik Eufemisme Anas
Suyatno Dosen FISIP Universitas Terbuka,
Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM
MEDIA INDONESIA, 26 Februari 2013

PERNYATAAN mundur Anas Urbaningrum dari jabatan Ketua Umum Partai Demokrat dan tanggapan partainya telah memunculkan berbagai analisis. Hal itu karena bahasa lebih halus dan bersayap jika dibandingkan dengan kondisi sebenarnya dikenal dengan eufemisme dipakai. Kata-kata yang digunakan bisa mengundang sejumlah interpretasi atau penafsiran. Satu kata bisa memiliki lebih dari satu makna. Tujuannya tak lain ingin mempertahankan bahwa dirinya sendiri benar dan pihak lainlah yang salah.

Pada pendekatan bahasa dalam politik, hal itu wajar. Bahasa dalam politik adalah salah satu alat untuk mempertahankan kekuasaan, sedangkan fenomena sosial tidak independen dan sarat akan interpretasi. Hal itulah yang dengan sadar digunakan oleh para pengguna pelembut an bahasa.

Begitulah Anas dalam menyampaikan keterangan resmi kepada wartawan di Kantor DPP Partai Demokrat, Jakarta, Sabtu (23/2). Mantan anggota KPU itu menyatakan mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Partai Demokrat sehari setelah menyandang status tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Hamba lang dengan eufemisme.

Ada sejumlah penggalan bahasa berupa kata, istilah, atau potongan kalimat yang bisa dipilih termasuk dalam konteks eufemisme dipakai dalam pernyataan Anas. Diawali pernyataan ‘lewat proses hukum yang adil dan objektif dan transparan, kebenaran dan keadilan bisa saya dapatkan’. Makna yang dapat ditangkap pada kalimat keenam itu ingin menyatakan bahwa proses hukum telah diintervensi. KPK menetapkan Anas sebagai tersangka secara tidak adil dan tidak transparan. Proses penetapannya tendensius, penuh dengan misteri dan tidak murni untuk menegakkan keadilan. Ungkapan itu merupakan awal bahwa penetapannya sebagai tersangka oleh KPK berdasarkan proses hukum yang tidak independen.

Pernyataan itu dilanjutkan dengan kalimat yang lebih menjelaskan penyataan di atas. Eufe misme pada bagian tersebut dapat ditangkap dengan dihilangkannya subjek (pelaku) dari perlakuan yang dirasakan Anas. ‘Kebenaran dan keadilan akan muncul mengalahkan fitnah dan rekayasa, sekuat apa pun dibangun, sehebat apa pun itu dibangun, serapi apa pun itu dijalankan’.

‘Saya baru mulai berpikir saya akan punya status hukum di KPK ketika ada semacam desakan agar KPK segera memperjelas status hukum saya. Kalau benar, katakan benar; kalau salah, katakan salah’. Pelembutan bahasa diterapkan dalam bagian itu dengan mengutip kalimat yang sebelumnya pernah dikemukakan kepada publik oleh pihak lain. Masyarakat tentu masih sangat ingat dengan pernyataan itu, yang dilakukan oleh siapa dan dalam konteks seperti apa.

Alasan Sikap

Asal muasal posisi Anas dirasakan tidak berasal dari sumber yang seharusnya. Status tersangka seharusnya berasal dari proses hukum yang dijalankan oleh KPK. Akan tetapi, ia ingin mengatakan kepada publik bahwa yang terjadi tidaklah demikian. Cara itu dilakukan dengan memilih kalimat `ketika ada desakan seperti itu, saya baru mulai berpikir janganjangan, saya menjadi yakin, saya menjadi tersangka setelah saya dipersilakan untuk lebih fokus berkonsentrasi menghadapi masalah hukum di KPK'.
Itu satu rangkaian peristiwa yang utuh. Sama sekali terkait dengan sangat erat. Itulah faktanya, itulah rangkaian kejadiannya. Penegasan tersebut dilakukan Anas untuk meyakinkan kepada khalayak pendengarnya secara halus, tetapi ingin menegaskannya. 

Rangkaian logis didesakkan seolah sebuah kebenaran dengan tanpa embel-embel bahwa itu pemahaman pribadi. Seakan meminta persetujuan pada audiens merupakan kebenaran yang mudah untuk dirunut.

Seolah ingin membuka tabir yang selama ini bergelayut, mantan anggota KPU itu pun berupaya mengurai runutan sejarah ke beradaannya di Demokrat. Kalimatnya bertutur, ‘tetapi inti dari kongres itu ibarat bayi yang lahir, Anas adalah bayi yang lahir tidak diharapkan’.

Asal muasal beliau disikapi seperti sekarang merupakan proses yang panjang dan sebab yang mendalam. Bukan lagi berasal dari tingkah lakunya sesudah terpilih sebagai ketua umum. Sikap diperoleh lebih kepada kesalahan sedari awal. Bukan dari dalam dirinya, melainkan situasi dan kondisi luar diri yang melingkupinya.

Sikap dan keyakinan diri yang kuat ingin ditonjolkan oleh sosok yang satu ini. ‘Meskipun saya yakin posisi tersangka itu lebih karena faktor nonhukum, saya punya standar etik pribadi’. Itulah prinsip yang akan dipesankan secara kuat kepada publik. Ia mundur bukan takut oleh desakan dan ancaman, melainkan lebih pada etika pribadinya, meski konsistensi dan konsekuensi sikap seperti itu harus dibuktikan lebih lanjut.

Standar itu mengatakan, ‘kalau saya punya status hukum sebagai tersangka, saya akan berhenti sebagai Ketua Umum Partai Demokrat’. ‘Ini bukan soal jabatan atau posisi, ini soal standar etik’. Begitu kalimat sambungan yang mempertegas alasan kemundurannya. Harapannya tentu sejarah akan mencatat pernah ada ketua umum partai yang secara kesatria mundur karena alasan etika dirinya.

Sikap Balasan

Bagaimana balasan yang akan diberikan Anas atas perlakuan yang ia dapatkan? Hal itu dapat diinterpretasikan dari sejumlah pernyataan Anas ke depan. Diawali dengan ungkapan `ketika melepas, tentu tidak punya kewenangan organisatoris karena saya sudah lepas. Tetapi saya menjaminkan satu hal, yaitu ketulusan persahabatan dan persaudaraan'. Untuk meredam agar tidak ada reaksi yang ekstrem dari partainya, Anas berupaya untuk menetralisasinya. Ia menawarkan resolusi yang lunak. Tindakan balasan yang lebih keras bahkan kasar coba dihindari.

Namun, ada peringatan kehati-hatian yang disampaikan dengan bersayap. `Hari-hari ini dan ke depan, akan diuji pula bagaimana etika Partai Demokrat. Partai yang etikanya yang etikanya bersih, cerdas, dan santun'. Hal itu seolah ingin menguji kebenaran perlakuan terhadap sang mantan ketua umum itu. Atau, bahkan ada semacam tantangan kebenaran etika berhadapan dengan sekadar upaya menyingkirkan seorang Anas. Bisa juga itu menunjukkan bahwa ia pun bisa mengungkap kelemahan dan kesalahan yang terjadi di tubuh partai berlambang Mercy tersebut.

Lagi-lagi tonjokan itu diredam dengan melemahkan urat permusuhan dengan kalimat lanjutannya. `Tetapi yang paling penting saya garis bawahi, bahwa tidak ada kemarahan dan kebencian. Kemarahan dan kebencian itu jauh dari rumus politik yang saya anut, dan mudah-mudahan juga dianut siapa pun kader-kader Partai Demokrat'. Ajakan itu ingin mengusap pukulan pernyataan yang baru saja dilontarkan.

Akan tetapi, isyarat lontaran kartu truf kembali dilemparkan. `Di atas segalanya, saya ingin menyatakan barangkali ada yang berpikir bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Barangkali ada yang meramalkan dan menyimpulkan ini adalah akhir dari segala nya. Hari ini, saya nyatakan ini baru permulaan. Hari ini saya nyatakan ini baru sebuah awal langkah langkah besar. Hari ini saya nyatakan ini baru halaman pertama'. Banyak lontaran yang bersifat multitafsir dikemukakan ke publik. Kemudian diredam lagi dengan alasan penutup `tentu untuk kebaikan kita bersama'.

`Saya akan melepas jaket biru kebesaran dan saya akan menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Selamat berjuang kader-kader Demokrat di seluruh Indonesia, berjuang sesuai pilihan yang merdeka'.

Eufemisme ditutup dengan ajakan kepada para simpatisannya keluar dan memilih secara bebas sikap politiknya dengan kalimat di atas. Bahasa memang sangat penting dalam berpolitik dan bermanuver. Mulutmu memang harimaumu!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar