Sabtu, 23 Februari 2013

Menduniakan Islam Indonesia


Menduniakan Islam Indonesia
Andar Nubowo Mahasiswa S-3 EHESS Paris Prancis
REPUBLIKA, 22 Februari 2013


Citra Islam di forum internasional, terutama negara Barat, hingga kini masih memprihatinkan. Hampir saban hari, deskripsi dan visualisasi tentang Islam meramaikan media massa, internet, maupun elektronik. 

Sayangnya, Islam dijabarkan sebagai agama terbelakang, kolot, tertutup, anti- kemajuan dan ilmu pengetahuan. Opini Islam yang peyoratif dan jauh dari spirit "dialog antarperadaban" itu sedikit banyak mendapatkan pembenaran dari problem intoleransi, radikalisme, dan terorisme di negara-negara Muslim dalam dasawarsa terakhir. 
Citra buruk tentang Islam tersebut sejatinya menjadi peluang bagi kaum Muslimin Indonesia untuk mengenalkan dan menduniakan "Islam Indonesia" ke dunia internasional. Sayangnya, masih terdapat pandangan yang menyamakan Islam Indonesia dengan Islam yang berkembang di Timur Tengah atau kawasan lainnya.

Islam ramah Islam Indonesia adalah jenis Islam yang lahir dari persenyawaan prinsip-prinsip universal Islam dengan lokalitas keindonesiaan. Islam Indonesia mengurai masalah bukan menambah. Islam Indonesia bercirikan religiositas yang ramah dan rahmah bagi semesta, manusia dan lingkungan sekitar.

Islam Indonesia dapat terlihat pada individu dan kelompok. Pada tataran jamaah, Islam Indonesia termanifestasi dalam organisasi massa Islam yang berhasil memanusiakan insan Indonesia. 

Organisasi ini tumbuh dan berkembang dalam rahim kultur Indonesia. Ia tidak silau dan tidak merasa rendah diri dengan ormas atau paham Islam di negara tetangganya. Ia mempunyai karya khas yang bisa ditawarkan. Muhammadiyah (berdiri 18 November 1912) dan Nahdlatul Ulama (berdiri 31 Januari 1926) dapat disebut sebagai representasi sejati genre Islam Indonesia ini.

Sayang, ciri ramah dan rahmah jenis Islam ini makin berkurang peminatnya. Islam Indonesia dianggap tidak murni, terlalu akomodatif, dan "sinkretik". Karena itulah, propaganda neofundamentalisme, salafisme, integrisme, dan khilafatisme yang datang dari kawasan lain terasa lebih menggairahkan di banding ajakan santun, damai, toleran, dan terbuka yang dilantunkan Islam Indonesia.

Andree Feillard, peneliti CNRS Prancis, mengatakan, Islam di Indonesia jauh lebih lembut, toleran, dan terbuka daripada corak Islam di kawasan Timur Tengah atau Maghribian. Selama 1993-1995, Latifah Ben Mansour (2002), misalnya, mencatat 60 kasus pembunuhan terhadap jurnalis, profesor, politikus, seniman yang melawan totalitarianisme atas nama Islam yang dilakukan Islam integris Front Islamique du Salut (FIS). 

Di Sudan, Mesir, Irak, dan Arab Saudi, perbedaan pandangan dalam beragama dan berkeyakinan juga tak kalah memunculkan konflik, pertumpahan darah, persekusi, pengucilan, dan bahkan peperangan. Kultur padang pasir yang ganas, kerontang, dan penuh kekerasan, seperti galib terjadi di kawasan Timur Tengah dan Maghribian tentu saja kontras dengan kultur nusantara yang gemah ripah loh jinawi

Tumbuhan kaktus tak mungkin cocok dibudidayakan di ladang gembur dan subur. Jika pun tumbuh, pasti melalui rekayasa genetika. Dan, setiap rekayasa genetika pasti menjumbuhkan patologi dan mengundang bahaya tak terperikan.

Di tengah hiruk-pikur arus globalisasi yang turut mendorong fenomena mondialisasi Islam, masyarakat Muslim Indonesia di luar negeri, baik yang bekerja maupun belajar, sebenarnya adalah agen yang sangat tepat dalam menawarkan Islam yang damai dan santun. Selain Muslim yang bekerja atau mahasiswa, peran diplomat-diplomat indonesia dalam mengampanyekan Islam Indonesia juga sangat strategis. 

Amin Abdullah, rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berkali-kali meng usulkan agar para diplomat Indonesia yang bertugas di luar negeri dibekali pengetahuan tentang wajah Islam Indonesia yang antikekerasan, humanis, dan santun. Hal ini mengingat, perwakilan Indonesia di luar negeri adalah jendela Indonesia yang sangat menentukan dalam membangun citra Indonesia dan masyarakatnya. 

Jika sekarang ini para diplomat lebih menekankan aspek ekonomi, politik, dan budaya maka pengenalan terhadap Islam yang santun, damai, dan antikekerasan perlu digalakkan mengingat Indonesia tidak bisa dilepaskan dari komposisi penduduknya yang mayoritas Muslim. 

Kampanye Islam khas Indonesia ini adalah alternatif di antara bentuk dan corak Islam yang datang dari Timur Tengah, Asia Tengah, atau kawasan Maghribian.
Sayang, model Islam yang terakhir inilah yang memenangkan kontestasi Islam di Barat saat ini. Islam jenis ini berhasil menarik generasi muda yang tinggal di pusat-pusat peradaban Barat. Mereka adalah generasi yang tersingkir dari modernitas. Selain karena problem sosial, ekonomi, kultur, dan politik, sebagaimana diungkap Olivier Roy dalam Islam Mondialise (2002), mereka adalah orang yang pengetahuan agamanya sangat minim. Bagi mereka, sambung Roy, le retour religieux, kembali kepada agama (Islam), adalah manifestasi dari pembentukan kembali identitas keagamaan.

Begitu juga dengan para perantau Muslim Indonesia. Untuk menemukan identitas religiusnya, mereka membanjiri pertemuan-pertemuan agama. Majelis taklim yang diorganisasi oleh masyarakat Muslim Indonesia, idealnya, adalah wahana yang tepat untuk menggerakkan kampanye Islam Indonesia yang santun dan cinta damai. Akan tetapi, pada level faktual, banyak perkumpulan keagamaan tersebut yang beralih fungsi atau dialihfungsikan sebagai perjumpaan (point de rencontre) dan persemaian ideologi Islam yang keras berlabel spirit integrisme, salafi sme, neofundamentalisme, serta khilafatisme. 

Tidak mengherankan lagi, ketika tak sedikit perantau Muslim Indonesia yang kembali ke Tanah Air malah aktif memburamkan agama Islam dengan paham Islam yang "marah" bukan Islam yang ramah. Amrozi cs adalah contoh yang tepat Muslim rantau yang mengimpor budaya kekerasan dari negara lain begitu tiba di negeri sendiri. Padahal, jika rasa percaya diri mereka besar, mereka akan dengan bangga menunjukkan kepada masyarakat dunia bahwa Islam (Indonesia) itu ramah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar