Rabu, 13 Februari 2013

Mendewasakan Demokrasi


Mendewasakan Demokrasi
Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
SINDO, 13 Februari 2013


Pada suatu pagi saat matahari belum lagi menampakkan cahayanya, saya menyempatkan berjalan ke pasar tradisional yang tidak jauh dari rumah.

Bapak penjual sayur langganan saya menyapa hangat. Dia berceloteh tentang acara TV yang ditontonnya semalam. Menarik bahwa ia kini rela untuk tidak tidur demi menonton sejumlah acara berita dan debat di TV terkait politik. Maklum jam kerja dia sebagai pedagang sayur dimulai pada tengah malam. Dari TV, ia memuaskan rasa ingin tahu tentang politisi dan partai, mengapa harga daging sapi mahal, dan lain-lain. 

Saya tersenyum. Kebiasaan bapak ini untuk menonton berita dan talkshow politik juga membuatnya ingin berdiskusi politik dengan saya karena ia pernah memergoki saya muncul di TV sebagai pengamat politik ekonomi. Kejadian tadi relevan untuk diangkat dalam analisis hari ini karena kegelisahan yang dialami pedagang tadi pasti dapat dirasakan bapak dan ibu juga. Maklum, makin ramai saja berita di media massa seputar kolusi, korupsi, dan gonjang-ganjing politik dalam tubuh partai politik.Bagi sebagian orang,ada rasa kecewa.

Seperti pedagang sayur tadi, ia menceritakan kekesalannya karena partai yang ia pilih dalam pemilu lalu ternyata (dalam bahasa dia) telah berkhianat terhadap rakyat. Ia menyayangkan perilaku politisi yang semata ingin menumpuk harta dan melanggar hukum, padahal para pemilihnya masih banyak yang hidup miskin atau serba paspasan. Ada buku menarik, karya Larry Diamond (2008) berjudul The Spirit of Democracy. Buku itu menceritakan jatuh bangunnya berbagai negara di seluruh penjuru dunia ketika menjalankan demokrasi. 

Tidak ada proses demokrasi yang mudah atau sekali jadi.Berikut cerita dari buku tersebut. India misalnya, negara Asia yang termasuk negara demokrasi tertua di benua Asia ini, pernah mengalami keterpurukan dalam praktik demokrasinya. Sebagian dari Anda masih ingat tokoh perempuan India bernama Indira Gandhi, putri dari tokoh revolusi Jawaharlal Nehru yang sangat akrab dengan Presiden Soekarno. 

Pada Juni 1975, Perdana Menteri Indira Gandhi merespons keputusan Mahkamah Tinggi India yang membatalkan pemilihannya sebagai anggota parlemen dan menskors dia sebagai politisi selama enam tahun. Alih-alih menerima dengan lapang dada, Indira memutuskan untuk menghentikan demokrasi konstitusional yang dibangun ayahnya selama 30 tahun. Ia menuding telah terjadi konspirasi untuk mengganggu jalannya pembangunan ekonomi dan tatanan kestabilan politik. Indira mengumandangkan kondisi darurat dan memberlakukan dekrit.

Penduduk dibuat merasa tercekam dan ketakutan. Rangkaian penangkapan, sensor, dan penangkapan terjadi setelah itu. Indira termasuk dihormati dalam sejarah India, tetapi ia akhirnya dibunuh pada 31 Oktober 1984 karena ihwal yang dianggap sangat menyinggung sekelompok masyarakat India. Filipina, negara tetangga dekat, juga sempat tak kalah terpuruk. Presiden Gloria Macapagal-Arroyo, mantan presiden yang kini mendekam di tahanan, adalah anak presiden pertama Filipina. Ia seorang ekonom, teknokrat, punya suami pengusaha.

Filipina seakan kejatuhan durian utuh ketika ia terpilih sebagai presiden. Namun,rupanya ia kesal sekali ketika sejumlah ide-ide reformasinya diblok terus oleh parlemen. Pada Mei 2004 ia berupaya untuk bisa maju lagi sebagai presiden dan dengan sangat bersemangat menghadapi lawan politik yang dianggap underdog, Fernando Poe Jr. Gloria menangguk dukungan lewat membagi-bagikan uang kepada pemilih dengan segala cara yang muncul di benaknya, termasuk membagi-bagikan asuransi kesehatan gratis bagi rakyat miskin. 

Sejumlah kekerasan politik terdeteksi juga selama masa itu, ada setidaknya 150 nyawa wartawan yang melayang selama liputan kampanye pemilu. Penghitungan suara dihantui tudingan kecurangan penghitungan suara. Meskipun akhirnya Gloria terpilih lagi, dan ironisnya Fernando Poe Jr meninggal karena stroke beberapa bulan kemudian, kekuasaan Gloria terguncang karena beredarnya rekaman suara Gloria yang mengindikasikan bahwa beliau menyalahgunakan kekuasaannya demi mengintervensi penghitungan suara. Walhasil, kepercayaan publik terhadap Gloria rontok.

Tak satu pun teriakan Gloria sesudah itu yang digubris publik sampai akhirnya ia dituntut karena sejumlah tuduhan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Roh Moo Hyun di Korea Selatan mengalami ironisme serupa. Prestasinya sampai naik sebagai politisi sungguh luar biasa. Apalagi ia datang dari keluarga miskin. Banyak hal dilakukannya secara autodidak. Ia dikenal sebagai aktivis pembela HAM. Ia menang sebagai presiden dengan margin suara tipis, namun popularitasnya sangat tinggi. Buntutnya, ia disingkirkan melalui impeachment (pemakzulan) oleh parlemen. 

Hal ini belum pernah terjadi di Korea Selatan. Roh berusaha untuk berbeda dari presiden sebelumnya, Kim Dae Jung, dengan berani keluar dari pakem-pakem lembaga demokrasi. Misalnya, ia berencana memindahkan ibu kota dari Seoul,membatasi sirkulasi media massa yang dinilai beraliran konservatif, dan melakukan referendum. Selama memimpin, Roh dikenal selalu berseberangan dengan Partai Konservatif Grand National Party.

Kemelut tersebut berujung dengan terbentuknya faksi-faksi politik di tubuh partainya yang mencoba mengganjal pemakzulan Roh. Toh, manuver-manuver tadi gagal. Roh dituding menerima suap dan menjadi bulan-bulanan media massa. Pascapemakzulan, Roh mengakhiri hidupnya secara tragis dengan bunuh diri melompat dari tebing pada 23 Mei 2009. Kisah ketiga tokoh tadi menarik karena semuanya samasama sempat dianggap sebagai ”sang harapan” bagi negerinya. 

Tapi, mereka terpeleset hancur karena tak sanggup menahan diri untuk tidak melawan arus demokrasi di negaranya. Diamond mengingatkan bahwa sekali suatu negara berdemokrasi, ada spirit (roh) yang telanjur hidup dalam hati dan benak masyarakat. Roh itu antara lain adalah roh penerimaan terhadap keberagaman dalam masyarakat (pluralisme). Amartya Sen mengutip bahwa agama Hindu di India punya toleransi yang luar biasa karena antargolongan di agama tersebut bisa bebas saling beradu argumen. 

Selain itu, Diamond juga mengutip Sydney Hook, seorang filsuf politik, yang mengatakan bahwa demokrasi hidup karena ”rasa tidak percaya yang cerdas pada pemimpin, rasa skeptis yang keras kepala, tetapi tidak buta….terhadap apa pun (atau siapa pun) yang berupaya sekadar memperluas kekuasaan.” Dari sini saya makin yakin demokrasi di Indonesia sesungguhnya sedang tumbuh lebih dewasa. Memang dari segi distribusi ekonomi, Indonesia belum punya pencapaian luar biasa untuk memperluas kesempatan pendidikan atau menutup kesenjangan ekonomi antar kelompok masyarakat. 

Ihwal ini yang selalu dikritisi oleh sejumlah pengamat sebagai hambatan bagi Indonesia berdemokrasi. Tetapi, kita jangan lupa bahwa pendewasaan demokrasi tidak selalu lewat jalur formal. Sang penjual sayur yang saya ceritakan tadi mendewasakan dirinya dengan merelakan diri tidak tidur demi mencari informasi seputar politik. Ia yang tidak pernah bicara politik kini tahu apa itu sistem pemilu dan apa indikasi korupsi.Ini semua bekal yang baik bagi pendewasaan demokrasi. 

Selain itu, jangan lupa, walaupun politik aliran hidup di negeri ini, roh bangsa ini adalah roh kerukunan antaragama dan antaretnis. Negara ini menghormati hari besar semua agama dan kepercayaan. Tidak ada negara lain yang semeriah itu memberi hari libur pada warganya. Para politisi di Indonesia semoga mawas diri dengan berkaca dari pengalaman jatuhbangun demokrasi di negara lain. Siapa pun dia, dari partai mana pun, atau di jabatan apa pun, hendaknya ikut menjadi dewasa dengan proses demokrasi di negeri ini. 

Skeptisnya masyarakat, ketidakpercayaan pada pemimpin, tudingan ini dan itu,bahkan oposisi yang kejam, adalah bumbu penguat demokrasi. Dari situ para pemilih memilah siapa yang berhak diberi kepercayaan dalam lima tahun mendatang sebagai pemimpin negeri ini. Kita semua sedang membangun mutu demokrasi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar