Sabtu, 02 Februari 2013

Mendamba Pencerahan Bangsa


Mendamba Pencerahan Bangsa
L Murbandono Hs ;  Peminat dan Pengamat Peradaban,
Tinggal di Banyubiru Kabupaten Senmarang
SUARA MERDEKA, 01 Februari 2013



HARI-HARI ini kita disuguhi berbagai pernyataan pembelaan yang tak masuk akal menyangkut vonis seorang koruptor kakap dan hak khusus pemberlakuan proses hukum yang dinikmati seorang anak menteri. 

Dua kasus pelecehan akal sehat yang melukai perasaan keadilan umum itu hanya bagian kecil dari banyak wujud peradaban taraf rendah yang mendominasi banyak sektor kehidupan di negara kita. Transformasi kultural menjadi lebih baik dan lebih benar yang mendasar dan berdampak nasional nyaris tidak terjadi karena keberhasilan pop culture menjajah Indonesia. Beberapa soal kunci pop culture adalah globalisasi, hedonitas, uang, popularitas, "sukses", dan kemeudaran peradaban literasi karena dominasi budaya-budaya dangkal. 

Jadi, sejak RI merdeka sampai saat ini, pelaksanaan tata negara dan tata bangsa ini berlangsung dengan sikap "pertukangan", yaitu strategi kebudayaan berkelanjutan tidak pernah menjadi sikap hidup rata-rata individu penguasa. (Jauh sebelum Masehi, sejumlah negara di Eropa purba memberlakukan aturan main: pemimpin negara hanya bisa dijabat filsuf yang dianggap sanggup hidup kontemplatif-altruistik demi kepentingan publik dan merdeka dari kepentingan pribadi).

Itu semua terjadi sebagai akibat langsung tiga bencana dasar; Pertama, banyak sektor kehidupan di negara kita tidak mengalami pencerahan karena mekanisme politik dalam banyak kasus tidak mampu "menebus dosa masa silam". Kedua; secara hakiki pelaksanaan tata negara membiarkan salah kaprah merajalela nyaris di semua bidang kehidupan. Ketiga; dua butir malapetaka itu terjadi karena individu-individu "pemimpin" ber-MQ (moral quotient, kecerdasan moral) taraf rendah. 

Penimba manfaat dan sekaligus biang tiga bencana itu adalah penganut tata politik "hitlerisme ala Indonesia" (1 Oktober 1965 sampai 21 Mei 1998). Keberlanjutan isme ini masih ada, muncul dengan aneka topeng, kekayaan penganut isme ini limpah-ruah, membuat negara kita menjadi macam sekarang. Inilah bahaya laten Indonesia sesungguhnya. 

Soal sekarang, pencerahan dan salah kaprah itu apa? Pencerahan dalam artikel ini terutama menyangkut tiga hal. Pertama; ungkapan pemimpin (kata-kata, sikap dan perbuatan) yang benar dan baik sehingga menulari individu dan kelompok sekitar untuk berkata, bersikap, bertindak serupa dan menindaklanjuti pesan-pesan dalam kata-sikap-tindakan yang benar dan baik tersebut.

Kepekaan Objektif

Kedua; cara pengungkapan  bisa positif, normatif, negatif, sarkastis, simbolik, main-main, dan lain-lain, dan tetap berdampak positif-produktif bagi masyarakat. Ketiga; dua butir pencerahan itu akan terjadi jika tersedia akal budi taraf tinggi pada semua pihak yang antara lain ditandai dengan sikap objektif dan kreatif. 

Namun, dinamika transformasi psikososial itu nyaris tidak terjadi, atau berjalan sangat lambat. Pencerahan menjadi "pencerahan" sebab dimonopoli kaum kaya raya dan sirkuit kekuasaan tertentu yang bekerja sama dengan "hitlerisme". Publik sukar mendapat akses dan kerja sama culas itu melumpuhkan kantung-kantung pemikiran progresif di universitas, media dan pusat-pusat ilmu pengetahuan sebagai sumber-sumber pengolah pencerahan. 

Maka, dalam sikon objektif macam itu, seluruh komponen bangsa hendaknya terus mengasah kepekaan objektif yang bukan hanya kritis terhadap fakta sosial kiprah kekuasaan yang belum beres, melainkan juga mampu menangkap momentum penggulir menuju pencerahan. Paling sedikit kita bisa meneladan tiga momentum. Pertama; zaman pergerakan nasional saat lahir, banyak partai dan organisasi. Kedua; momentum dalam Sumpah Pemuda. Ketiga; momentum vakum kekuasaan dalam 17 Agustus 1945. Di samping itu, kita juga hendaknya belajar dari kegagalan menangkap momentum pada "reformasi" 21 Mei 1998. 

Setelah 21 Mei 1998, negara kita tidak mengalami perubahan mendasar yang berarti. Sinergi mafioso menggiring tidak sedikit elite bangsa berkibar-kibar dengan bendera pop culture yang ujungnya hanya memperpanjang kemapanan sisa-sisa kekuasaan buruk dari masa lalu. Maka salah kaprah tetap terbiarkan merajalela di seluruh Indonesia. Padahal, salah satu asas terpenting pencerahan adalah memberantas salah kaprah. 

Salah kaprah adalah segala hal salah tapi dianggap benar karena bodoh atau demi kepentingan tertentu. Ini berjumlah banyak sekali dan terjadi nyaris pada semua sektor kehidupan. Cukup dengan akal sehat kita bisa bisa menyusun daftar amat panjang salah kaprah dalam sospolekbudhankam kita. Jika disusun dalam butir-butir lepas, jumlahnya banyak sekali. Siapa di antara pemimpin kita yang telah menyusun daftar salah kaprah tersebut?
Akhirnya, apa pun kita semua mencintai Tanah Air dan mendambakan Pencerahan yang merdeka dari salah kaprah di negara kita benar-benar menjadi kenyataan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar