Senin, 04 Februari 2013

Mencari Dokter Lain


Mencari Dokter Lain
M Sobary ;   Esais, Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia
SINDO, 04 Februari 2013



Amang Rahman, almarhum, seorang pelukis yang hidupnya diwarnai humor-humor segar, kadang satiris. Dia menceritakan kekonyolannya kepada saya. Pada suatu hari, ketika merasa tidak enak badan, dia datang kepada seorang dokter. 

Dia diperiksa dengan teliti, sesuai standar pemeriksaan para dokter di mana pun. “Tarik napas,” kata dokter, dan seniman ini melakukan yang diperintahkan kepadanya. Dokter mendengarkan detak jantungnya dengan seksama. “Saudara merokok?” “Sekarang tidak dok.” “Oh, bagus,” kata dokter yang merasa agak lega. “Kapan Saudara mulai merokok?” “Sejak kecil dok.” “Dan sudah berapa lama berhenti?” “Belum berhenti dok” “Lho, tadi Saudara bilang sudah tidak merokok?” “Tadi saya bilang, sekarang tidak. Soalnya Anda sedang memeriksa saya.”

Dokter kelihatan jengkel. Lalu dengan tegas diperintahkannya seniman itu berhenti merokok. Benar-benar berhenti, bukan hanya karena sedang diperiksa dokter. “Saudara harus berhenti merokok. Kalau tidak, cari dokter lain. Mengerti?” “Mengerti dok.” “Apa?” “Mencari dokter lain.” Geledek menyambar di ruang praktik dokter di suatu sudut di Kota Surabaya.

Amang menceritakan lebih lanjut— hal yang tak ada hubungannya dengan perintah dokter tadi— bahwa dia merokok karena dia ingin merokok. Begitu dulu, ketika masih kecil, dia mulai. Begitu juga sekarang. Merokok bukan dianggap tindakan suci. Tapi, dia tak mau disuruh menghentikan tindakan itu. Tidak, dia tidak kecanduan. Dia tidak tergantung pada rokok. Dia juga tidak merokok secara serius atau berlebihan. 

Dia bilang, dia itu hanya perokok biasa. Dibanding seorang yang dikenalnya, orang yang sudah berusia di atas delapan puluh lima tahun, yang juga merokok sejak kecil, dan tiap hari dia menghabiskan lebih sepuluh batang rokok, dan sehat, dia—Amang pribadi— bukan kategori perokok hebat. Amang pasti membuat para dokter tidak senang. 

Tetapi, dilihat dari segi lain, apa yang dikatakan seniman itu, yang tidak berpretensi apa pun, yang sekadar menjelaskan sebuah fakta, dan itu fakta yang bisa terjadi pada banyak orang, di banyak tempat, kelihatannya memang merupakan sebuah pertanyaan terbuka yang harus diberikan jawaban yang jelas, tegas, dan serbaeksak oleh dunia kedokteran. 

Apa sebab ada orang tidak merokok, tapi terkena penyakit jantung? Rata-rata, jawabnya, dia menjadi perokok pasif, atau terkena akibat buruk dari perokok keras kepala yang membuat orang lain menderita. Tapi mengapa, orang yang disebut Amang tadi, yang sejak kecil merokok, dan pada usia di atas delapan puluh lima tahun tetap merokok, tapi sehat walafiat? Dan di mana-mana, jenis orang seperti itu banyak. 

Jantungnya berdenyut normal, dan bersih, sehat, sedang orang yang lain, bukan perokok, bahkan dia antirokok, tapi jantungnya parah, dan menjadi “orang sakit” bertahun-tahun, dan apa ini harus disebut sakit karena rokok? Demi kebenaran ilmiah, mengapa bangsa Indian, yang menggunakan tembakau sebagai obat, tidak diteliti oleh dunia kedokteran, untuk mempertegas: obat apa? Jika ada rasa penasaran akademik yang tinggi mengenai manfaat tembakau, mengapa tak dilakukan penelitian secara terbuka dan serius. 

Termasuk untuk kemudian menyimpulkan—jika memang benar secara ilmiah— bahwa bangsa Indian itu omong kosong. Juga harus diteliti, banyak orang tua—generasi dulu— yang masih hidup, yang saban hari makan sirih dan menggunakan “susur”, tembakau, sebagai pasangan serasi, yang membuat gigi mereka sangat kuat dan mata mereka sangat tajam, seperti—-dalam metafora— mata rajawali? Harus dijelaskan, tembakau mengandung apa, dan memberi kontribusi apa dalam kesehatan gigi dan mata—rajawali— tadi? 

Dunia ilmu tidak boleh bohong. Ihwal penting yang harus diteliti demi kemajuan ilmu pengetahuan ini hendaknya diteliti. Orang Dayak, orang Bali, orang Jawa, orang Sunda, orang Sasak—dan masih banyak lagi—laki-laki maupun perempuan, sehat-sehat karena sirih dan tembakau. Apa sebabnya? Atau, apa tembakau dan sirih bukan penyebabnya? Jika bukan, katakanlah hal itu dengan benar, dan jujur, berdasarkan suatu penelitian ilmiah. 

Rokok disebut penyebab kanker, sakit jantung, impotensi, dan bermacam-macam gangguan penyakit berbahaya. Ini diumumkan, dan dijadikan bagian dari pembentukan sebuah peradaban. Maka, melihat pentingnya efek itu, hendaklah yang dikatakan itu disertai bukti nyata, hasil riset mutakhir, oleh “the authorized hands”, dan bukan omongannya orang mabuk, yang tak bisa dipertanggungjawabkan. 

Seorang laki-laki tua, merokok, dan seorang laki-laki tua lainnya makan sirih, memakai “susur” tembakau, dan seharusnya pasti terkena radiasi tembakau, tapi mengapa para kakek tua itu masih bisa membuahi para istri mereka yang jauh lebih muda, dan para istri itu melahirkan bayi-bayi yang sehat dan cerdas? Mengapa kedua kakek itu tidak impoten? Mengapa para istri mereka tidak terganggu? Jumlah kakek-kakek macam itu di seluruh Nusantara tak terhitung banyaknya. 

Mereka membuktikan, tembakau, tanaman yang benihnya semula diciptakan Tuhan, dengan berkah, mengapa difitnah seperti itu, dan tanpa disertai bukti empiris? Relakah kita melihat suatu rekayasa penciptaan peradaban, yang didukung dunia ilmu, tapi tidak disertai bukti? Dan apa kata dunia kedokteran ketika penelitian bertahun-tahun tentang tembakau, yang menyembuhkan kanker getah bening? Pasiennya justru seorang ketua Ikatan Dokter Indonesia di Kota Malang.

Apa penghargaan dunia ilmu, terutama kedokteran, atas kontribusi yang terus menerus dikembangkan tanpa henti oleh Dr Gretha Zahar dan Prof Dr Sutiman B Sumitro? Apa keduanya, yang memiliki bukti ilmiah itu, lebih rendah dari peringatan bahaya rokok yang tak disertai bukti itu? Orang akan bilang mustahil bahwa di dalam tembakau yang mengandung banyak unsur penyakit bisa menjadi obat? Gadung yang gatal, dan beracun, bisa digoreng “kemripik”, segar dan enak, karena ada kemampuan kita meluruhkan radikal bebas di dalamnya. 

Kenapa tak ada yang mengatakan mustahil gadung bisa dimakan? Tapi, mengapa orang-orang yang fanatik dengan suatu sikap, tidak bisa belajar rendah hati, untuk menghormati temuan ilmiah orang lain? Kalau gadung beracun, tidak mustahil dimakan, mengapa tembakau dianggap mustahil untuk menjadi obat? Demi kebenaran ilmiah, artinya demi menghormati pemilik agung kebenaran final, diperlukan klarifikasi. 

Harus ada keberanian untuk mengakui bahwa orang lain mungkin saja benar dan kita mungkin saja salah, juga para dokter. Harus berani mengatakan apa adanya, sebelum terlalu banyak pasien berkata: mencari dokter lain, seperti pelukis Amang Rahman di atas.

1 komentar:

  1. Yang namanya pembela petani tembakau dan perokok, maka apa pun dicari dalih untuk mebelanya. Itulah kang Sobary.

    BalasHapus