Jumat, 22 Februari 2013

Menampakkan Wajah Tuhan di Bumi


Menampakkan Wajah Tuhan di Bumi
Ibnu Djarir Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 21 Februari 2013


"Agama telah mengajarkan sifat-sifat mulia sehingga orang beragama semestinya mempunyai akhlak mulia"

JUDUL artikel ini adalah imbauan Kol Drs H Bahrum Rangkuti dalam salah satu pidatonya, semasa menjabat Kepala Pusat Rohani Islam ALRI, yang intinya supaya bangsa kita memiliki akhlak mulia sebagaimana akhlak Tuhan, dan dalam pergaulan sosial menunjukkan sikap kasih sayang kepada sesama manusia. Bukankah Tuhan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang?

Sungguh tepat menyebarluaskan imbauan tersebut sekarang ini tatkala kita melihat kenyataan dalam masyarakat bukan wajah Tuhan yang tampak di bumi melainkan wajah setan, yang ditandai oleh kemerebakan kejahatan dan kemaksiatan. Banyak orang, termasuk para pemimpin nasional berpendapat bahwa sekarang ini kita memasuki zaman edan.

Dalam dialog nasional bertajuk ’’Kepemimpinan Nasional Menuju Penguatan Kedaulatan Bangsa’’ di Bandung, tokoh nasional yang tengah mencalonkan diri sebagai presiden, Prabowo Subianto menyatakan, korupsi di negara kita sudah gila-gilaan. Sekarang ini zaman edan (merdeka.com, 02/02/13 ).

Warga Indonesia yang hidup dalam tiga zaman hingga mengalami sendiri dan melihat kehidupan masyarakat pada zaman penjajahan Belanda, Jepang, dan zaman republik, meliputi era Orde Lama, Orde Baru, dan reformasi, pasti mengakui bahwa pada masa sekarang ini kejahatan dan kemaksiatan mengalami peningkatan luar biasa.

Terbukti, hampir semua lapisan masyarakat korupsi, dalam beragam wujud. Pelakunya dari kalangan sipil, militer, polisi, pejabat eksekutif, legislatif, hingga yudikatif. Bahkan tak sedikit pejabat instansi yang bertugas pokok membina masyarakat dalam bidang pendidikan dan keagamaan tak luput dari perbuatan korupsi.

Masyarakat pun banyak mengkritik wakil rakyat karena korupsi terkait lembaga legislatif justru paling besar. Apakah wakil rakyat yang terhormat itu merasa malu dengan perbuatan mereka yang tak terpuji itu dan tergerak memperbaiki diri? Realitasnya, kemerebakan korupsi di lembaga legislatif tak dapat dimungkiri. Bahkan baru-baru ini anggota DPR, sekaligus pimpinan parpol yang bersemboyan bersih, peduli, dan Islami, ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.   

Sebuah lembaga survei menyatakan Indonesia merupakan negara paling korup di antara 16 negara di kawasan Asia Pasifik. Di samping korupsi, sekarang merebak kejahatan lain, seperti perampokan, prostitusi, perjudian, pemerkosaan, penggunaan dan perdagangan narkoba, terorisme, dan lain-lain.

Religiositas

Kemerebakan kejahatan dan kemaksiatan disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain tidak adanya tindakan  tegas dari aparat penegak hukum terhadap pelaku; sanksi hukum yang ringan; keterpaksaan; ada kesempatan; pengaruh gaya hidup hedonis, dan kemelemahan religiositas.

Artikel ini akan membahas kemelemahan religiositas mengingat bangsa Indonesia dikenal sebagai bangsa religius, dan mayoritas beragama Islam. Karena kemelemahan religiositas, maka banyak orang, yang meskipun memiliki pengetahuan tinggi tentang agama, mereka tidak mengamalkannya. Orang yang memiliki religiositas kuat berarti selalu mengamalkan segenap dimensi religiositas itu, yang meliputi keyakinan agama; pengetahuan agama; praktik agama (ritual);  pengalaman agama; dan konsekuensi atau buah dari empat dimensi tersebut berupa perilaku religius, termasuk moralitas.
Selain itu, ada segolongan orang yang masih minim pengetahuan agamanya. Mereka mengaku beragama (having religion) tetapi tidak atau belum mengamalkan ajaran agama. Mereka ini sejatinya belum termasuk beragama (being religious) dalam arti sesungguhnya.

Persoalan itu menjadi tugas para mubalig/ guru agama untuk mendakwahi mereka lewat cara arif dan bijak supaya bisa menjadi umat beragama yang kaffah (sepenuhnya). Tugas dakwah berlangsung sepanjang masa selama masih ada manusia di bumi. Terlebih Alquran menyebutkan bahwa sampai hari kiamat pun setan selalu mendekati manusia untuk menggoda supaya melanggar larangan-larangan agama.

Wajah Tuhan

Kata wajah Tuhan adalah merupakan kiasan, yang maksudnya memancarkan sifat-sifat mulia. Kebalikannya adalah wajah setan yang memancarkan sifat-sifat kebinatangan.  Menurut ajaran Islam, Allah mempunyai sifat-sifat jalal dan kamal, yakni kebesaran dan kesempurnaan, seperti Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Pengampun, Maha Suci, Maha Bijaksana, Maha Adil, Maha Besar, Maha Kuasa, dan sebagainya.

Manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak mungkin bisa memiliki sifat-sifat Tuhan. Tetapi sifat-sifat Tuhan itu bisa menjadi inspirasi agar manusia memiliki sifat-sifat mulia dan menjauhi sifat-sifat jahat, sebagaimana sifat-sifat setan.

Agama mengajarkan sifat-sifat mulia sehingga orang yang beragama mestinya berakhlak mulia. Kenyataannya masih banyak orang yang belum memahami ajaran agama. Banyak pula orang yang mendalami dan mengetahui ajaran agama, namun tidak mengamalkan. Fenomena inilah yang kita jumpai pada masa yang sering disebut zaman edan.

Fenomena kontradiksi antara ajaran agama dan pengamalannya  mendapat kritik dari  pujangga Ronggowarsito (1802-1873) dalam Serat Joko Lodang (Sinom) yang terjemahan Indonesianya kurang lebih sebagai berikut,

’’Orang alim, alim pulasan. Mengaku alim padahal berbuat maksiat. Madat, madon (melacur), minum, main (berjudi). Kaji-kaji (para haji) dengan serban dan kethu (peci-Red) putih tak ada artinya. Orang perempuan tidak punya rasa malu, karena pengaruh harta benda’’.

Kritik yang bersifat membangun tersebut harus kita terima dengan lapang dada sebagai bahan introspeksi supaya kita ikhlas kembali kepada ajaran agama yang benar, dan mengamalkannya dengan sungguh-sungguh, lahir dan batin. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar