Sabtu, 23 Februari 2013

Menakar Prospek Jabar Satu


Menakar Prospek Jabar Satu
Satrio Wahono Sosiolog dan Magister Filsafat UI
SINAR HARAPAN, 22 Februari 2013


Menjelang pemilihan umum kepala daerah Jawa Barat (Jabar) pada 24 Februari nanti, situasi politik di tanah Pasundan itu kian panas saja. Wajar, karena Jabar dikenal sebagai barometer politik nasional terpenting kedua sesudah DKI Jakarta. Apalagi, ajang demokrasi Jabar kali ini menyajikan lima pasangan calon.

Beserta para pengusungnya, mereka adalah Dikdik Mulyana–Cecep Thoyib (perseorangan), Irianto Syaifuddin (Yance)–Tatang Farhanul Hakim (Golkar), Yusuf Macan Effendi (Dede Yusuf)–Lex Laksamana (Demokrat, PKB, PAN, Gerindra), Ahmad Heryawan (Aher)–Deddy Mizwar (PKS, PPP, Hanura), dan Rieke Diah Pitaloka–Teten Masduki (PDIP).

Di tengah kelima pasangan calon yang akan berlaga ini, tentu timbul pertanyaan menggelitik: siapa kira-kira yang akan menjadi Jabar Satu nanti?

Sosiologi Emosi

Untuk memprediksi jawabannya, penggunaan sosiologi emosi bisa menjadi pisau analisis. Menurut Clifford Geertz dalam The Interpretation of Cultures (1973), emosi adalah kata kunci untuk memahami tindakan manusia. Sementara tradisi sosiologi mengenal Barbalet, yang mengemukakan dalam Emotion, Social Theory and Social Structure (1998) bahwa pengalaman emosi suatu masyarakat mampu menjelaskan sisi terdalam sebuah tindakan sosial.

Juga, pendekatan sosiologi emosi lebih cocok menjelaskan peristiwa sosial yang beragam di berbagai tempat. Singkatnya, pendekatan sosiologi emosi lebih pas dalam menjelaskan tindakan sosial kontekstual seperti tindakan memilih masyarakat Jawa Barat.

Berpijak pada kerangka di atas, setidaknya ada lima sentimen emosional dalam diri para pemilih yang berguna untuk menebak hasil Pilkada Jabar. Pertama, sentimen tentang rekam jejak, integritas, dan kinerja. Untuk aspek kedua ini, petahana Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf sebagai duet Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat 2008–2013 tentu mampu memetik keunggulan. Ini karena mereka bisa mengklaim segala prestasi di Jabar sebagai hasil jerih payah mereka.

Untungnya pula, tidak banyak catatan hitam mewarnai perjalanan duet ini pada masa pemerintahan mereka. Berbeda dengan di Jakarta ketika Fauzi Bowo begitu banyak mengundang kecaman publik dan media karena prestasinya yang buruk: mulai dari banjir, buruknya transportasi publik, dan lain-lain. Berada di belakang Aher dan Dede dari segi skor aspek ini adalah Rieke yang banyak mendapat panggung media ketika terdapat hiruk-pikuk Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Kedua, sentimen terhadap citra partai politik. Dari segi ini, Dikdik Mulyana punya keunggulan karena kemuakan masyarakat terhadap partai politik. Di sisi lain, Rieke juga naik daun karena PDIP sukses menuai simpati sebagai partai oposisi pro rakyat. Nilai jeblok tentu diraih calon PKS Aher yang partainya baru dibelit korupsi daging sapi.
Juga, Dede Yusuf yang Partai Demokrat tempatnya bernaung guncang oleh kasus korupsi bertubi-tubi. Untungnya, Dede didukung oleh Gerindra yang pamornya juga sedang mentereng sebagai partai oposisi. Lagipula, sentimen kedua ini sifatnya sekunder. Ini karena sudah terbukti party ID alias afiliasi masyarakat terhadap partai ternyata sering tidak sesuai dengan figure ID atau afiliasi masyarakat terhadap sosok pemimpin.

Ketiga, sentimen soal pengalaman di birokrasi daerah. Lagi-lagi, Aher dan Dede Yusuf unggul di sini. Ini karena Aher dan Dede—ditambah wakil Dede, Lex Laksamana yang merupakan mantan sekretaris daerah—bisa menonjolkan pengalaman mereka sebagai petahana. Menyusul Yance yang pernah sukses di birokrasi pada level lebih rendah, yaitu ketika menjabat bupati Indramayu. Ini berbeda dengan pasangan lain di mana tidak ada yang memiliki bekal pengalaman karier birokrasi.

Keempat, sentimen keterkenalan dan citra positif populer karena peran media. Juaranya untuk sentimen ini adalah calon-calon berlatar belakang petahana atau calon-calon berlatar belakang selebritas. Utamanya lagi, pasangan Aher sebagai gubernur dan Deddy Mizwar sebagai pesohor papan atas. Menyusul pasangan Dede Yusuf–Lex.
Rieke tentu mendapatkan keuntungan dari sentimen ini, tapi tidak mampu disokong Teten yang latar belakang LSM-nya membuat Teten praktis hanya dikenal kalangan intelektual (elite). Sementara itu, yang gagal meraup sentimen ini adalah Dikdik Mulyana dan Yance.

Kelima, sentimen terkait nilai-nilai keislaman calon. Meskipun berlatar belakang plural, Jabar tetap saja provinsi yang terkenal religius dan kental warna keislamannya. Maka itu, sentimen ini penting bagi Jabar, dan juaranya di sini adalah pasangan Aher–Deddy Mizwar. Ini karena pasangan tersebutlah yang diusung oleh mayoritas partai Islam “kanan”.

Tambahan lagi, Deddy Mizwar selama ini terkenal sebagai selebritas bercitra bersih yang konsisten membesut film-film Islami yang inspiratif. Menempel pasangan ini adalah Dede–Lex yang diusung dua partai bercorak Islam: PKB dan PAN. Sementara Rieke akan kesulitan memanfaatkan sentimen ini sebagai calon perempuan dari partai “sekuler-nasionalis” seperti PDIP.

Sulit di Atas 30 Persen

Berlandaskan kelima sentimen itu, dengan asumsi pilkada berlangsung dua putaran karena banyaknya calon—sehingga menyulitkan calon mana pun meraih suara 30 persen plus satu yang disyaratkan untuk memenangi pilkada Jabar dalam satu putaran—maka dua pasangan yang akan maju ke putaran kedua adalah Aher–Deddy dan Dede–Lex.
Aher unggul di sentimen calon sipil, rekam jejak, pengalaman birokrasi, keterkenalan, dan nilai-nilai keislaman. Sementara Dede–Lex menempel ketat di peringkat kedua dari sentimen yang sama. Lalu, siapa yang akan menang di putaran kedua? Kita tunggu saja dulu hasil 24 Februari nanti! ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar