Kamis, 28 Februari 2013

Memudarnya Partai Islam


Memudarnya Partai Islam
Salahuddin Wahid Pengasuh Pesantren Tebuireng
KOMPAS, 28 Februari 2013


Sejak 1945, banyak ormas Islam tergabung dalam Partai Masyumi. Pada 1952, Nahdlatul Ulama beralih dari ormas Islam menjadi partai Islam.

Partai Syarikat Islam Indonesia melanjutkan kiprah politik Syarikat Islam yang didirikan HOS Tjokroaminoto. Pada Pemilu 1955, kekuatan politik partai Islam berkisar pada angka 43 persen. Masyumi menjadi partai terbesar kedua, sedangkan Partai NU menjadi partai ketiga.

Pada Pemilu 1971, kekuatan politik partai Islam menurun. Hanya Partai NU yang lumayan suaranya. Golkar mendapat sekitar 62 persen suara. Pada 1973, partai-partai Islam didorong bergabung ke Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Partai-partai non-Islam didorong bergabung ke Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Pemenang pemilu 1977-1997 adalah Golkar karena didukung pemerintah dengan berbagai cara. Pemenang kedua, PPP, jauh dari perolehan suara Golkar.

Pemilu 1999 adalah pemilu kedua terbaik sepanjang sejarah Indonesia. Dari 48 peserta pemilu, terdapat belasan partai Islam atau berbasis massa Islam. Yang menjadi pemenang adalah PDI-P (sekitar 34 persen). Kedua, Partai Golkar (sekitar 21 persen). Ketiga, PKB (sekitar 12 persen). Keempat, PPP (sekitar 10 persen). Kelima, PAN (sekitar 7 persen).

PKB didirikan oleh tokoh-tokoh utama NU. Struktur NU di banyak tempat mendukung PKB. Namun, sejumlah tokoh NU, terutama di daerah, bergabung dengan PPP, Golkar, dan partai kecil yang didirikan tokoh-tokoh NU. Jelas, dukungan struktur NU itu mendongkrak perolehan suara PKB. PAN didirikan Amien Rais, Ketua Umum PP Muhammadiyah yang baru saja mengundurkan diri. Banyak tokoh Muhammadiyah yang aktif di PAN. Saat itu, PAN identik Muhammadiyah.

Pemenang Pemilu 2004 adalah Golkar. Perolehan suara PDI-P menurun belasan persen. Perolehan PKS meningkat secara mencolok. Sementara perolehan PKB, PPP, dan PAN sedikit turun. Muncul pendatang baru yang tiba-tiba melejit, Partai Demokrat, yang mengandalkan ketokohan SBY.

Pasca-2004, sebagian tokoh PKB mendirikan Partai Kebangkitan Nasional Ulama dan sebagian tokoh PAN mendirikan Partai Matahari Bangsa. Kedua partai itu tak memperoleh kursi di DPR. PKB terbelah menjadi kubu Muhaimin dan kubu Gus Dur. Maka, perolehan suara PKB pada 2009 anjlok sekitar 50 persen dibanding 2004. Suara PPP juga anjlok. PKS tetap bertahan. Partai Demokrat meroket menjadi pemenang pertama. Golkar dan PDI-P menjadi pemenang kedua dan ketiga. Muncul partai baru yang bukan partai Islam, yaitu Partai Gerindra dan Partai Hanura. Belakangan sejumlah survei menunjukkan partai Islam dan berbasis massa Islam mengalami penurunan. PKS mengalami pukulan akibat ditangkapnya Presiden PKS dengan tuduhan suap terkait impor daging sapi. Tentu ada pertanyaan, mengapa partai Islam atau berbasis massa Islam makin menurun perolehan suaranya? Menurut Komaruddin Hidayat, partai Islam akan menerima sanksi lebih berat dibanding bukan partai Islam jika tokohnya korupsi.

Jaringan Ormas Islam

Kita perlu melakukan pendekatan berbeda, yaitu melalui aspek keterkaitan ormas Islam/tokohnya terhadap parpol Islam atau berbasis massa Islam. Juga pendekatan melalui aspek mencairnya politik aliran sejak 1973 hingga kini.

Pada Pemilu 1955, semua ormas Islam mendukung partai-partai Islam. Muhammadiyah dan semua organisasi afiliasinya mendukung Partai Masyumi. HMI dan PII juga begitu. Karena ormas NU menjadi parpol, semua organisasi afiliasinya mendukung Partai NU. Pada Pemilu 1971, sudah ada ormas Islam yang mendukung Golkar, yaitu GUPPI. Setelah itu, sejumlah tokoh pesantren di Jawa Timur bergabung dengan Golkar. Kemudian tokoh-tokoh HMI, PII, Muhammadiyah banyak yang menjadi aktivis Golkar termasuk di daerah.

Pada Muktamar 1984, NU menerima asas Pancasila dan menyatakan akan menjaga jarak yang sama terhadap semua parpol yang ada. Maka, banyak tokoh NU yang menjadi aktivis Golkar. Bahkan, Gus Dur juga menjadi anggota MPR dari FKP. Tokoh-tokoh ormas Islam yang dulu aktif di Golkar hampir semua tetap berkiprah di Partai Golkar. Perubahan sikap NU yang dulu memperjuangkan negara berdasar Islam dan kini menerima asas Pancasila, membawa perubahan mendasar dalam diri anak-anak muda NU. Perubahan yang sama mungkin juga terjadi di dalam Muhammadiyah dan ormas Islam lain.

Ketika Aburizal Bakrie menjadi Ketua Umum DPP Partai Golkar, terlihat peran tokoh HMI dalam DPP Partai Golkar mulai menurun, tetapi di tingkat daerah jaringan mereka masih cukup kuat. Anas Urbaningrum mampu meraih posisi Ketua Umum DPP Partai Demokrat. Itu bisa dicapai berkat kemampuan jaringan alumni HMI menyusun kekuatan di dalam struktur Partai Demokrat. Badai politik yang menerjang Anas tidak mengurangi kekuatan jaringan HMI di dalam Demokrat. Alumni PMII juga ada di Golkar dan Partai Demokrat, tetapi tidak sekuat alumni HMI.

Kekuatan jaringan tokoh ormas Islam di Partai Golkar, Partai Demokrat, dan Partai Hanura merupakan daya tarik bagi pemilih dari kalangan Islam. Kini, sudah cukup banyak alumni HMI dan PMII dan aktivis NU yang masuk ke dalam PDI-P melalui Baitul Muslimin Indonesia.

Aliran Islam

Saat pembahasan RUU Perkawinan (1973) terjadi penolakan kuat terhadap sejumlah pasal dalam RUU itu. Visi kenegarawanan Pak Harto membuat Golkar dan ABRI menerima usul perubahan dari PPP, yang membuat UU Perkawinan jadi UU pertama yang menerima ketentuan syariat Islam yang partikular. Hanya PDI yang menolak. Peristiwa yang sama terulang saat DPR menerima UU Peradilan Agama. Golkar, ABRI, dan PPP menerima UU itu, sedangkan PDI menolak.

Pengalaman di atas menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat bahwa Golkar ternyata tak anti-Islam seperti terlihat pada Pemilu 1971. Saat itu, pemerintah dan Golkar memang gigih melawan partai-partai Islam yang belum menerima asas Pancasila. Pengalaman membuktikan, Golkar selalu memihak kalangan Islam dalam pembahasan UU yang mengandung pasal-pasal yang menimbulkan pro-kontra kuat terkait masalah keagamaan. Misalnya, UU Sisdiknas dan UU Pornografi. Kalau mau ditarik ke awal, Partai Demokrat dan Partai Hanura tak banyak berbeda ideologinya dengan Golkar. Mungkin Gerindra dan Nasdem juga demikian. Jadi tidak ada garis batas atau pembeda yang tegas antara Partai Golkar dan turunannya dengan partai-partai Islam dan partai berbasis massa Islam dalam masalah hubungan agama dan negara.

Jadi, berdasar dua aspek itu—jaringan ormas Islam dan kemiripan dalam visi hubungan agama dan negara antara partai-partai tengah dengan partai Islam dan partai berbasis massa Islam—dapat dipahami bahwa sebagian besar pemilih dari ormas Islam memilih partai-partai tengah itu. Partai Islam akan mempunyai nilai lebih di mata pemilih bila mampu mengambil prakarsa dan mewujudkan UU dan kebijakan yang islami dalam masalah ekonomi, dalam pengertian lebih memperhatikan pemerataan daripada pertumbuhan. Juga kalau berhasil mengegolkan kebijakan dalam memperluas akses kepada masyarakat dalam memperoleh pendanaan untuk usaha. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar