Jumat, 08 Februari 2013

Mempermudah Pecat PNS Ngah-ngoh


Mempermudah Pecat PNS Ngah-ngoh
Sigit Sud  ;    Pegawai Negeri Sipil di Pemkab Purworejo
JAWA POS, 08 Februari 2013


KINERJA pegawai negeri sipil (PNS) menjadi sorotan khusus dalam Jati Diri Jawa Pos, Imbal Kerja Remunerasi (30/1). Di antara sekian aspek, ada satu yang menggelitik penulis yang kebetulan sebagai PNS, yakni soal pemecatan PNS en-ge-en-ge alias ngah-ngoh alias tidak mampu. Istilah itu dipinjam dari Prof Mardiasmo, ketua BPKP sekaligus ketua Tim Quality Assurance (TQA).

Secara administratif, memang tidak mudah memecat seseorang dari kedudukannya sebagai PNS, apalagi parameternya hanya pada kinerja. Aturan hukumnya rumit. Mulai UU Nomor 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, PP Nomor 4/1966 tentang Pemberhentian atau Pemberhentian Sementara PNS, PP Nomor 32/1979 ten­tang Pemberhentian PNS, hingga PP Nomor 53/2010 tentang Disiplin PNS.

Salah satu poin krusial dalam aturan-aturan tersebut adalah bahwa pemecatan atau pemberhentian tidak dengan hormat terhadap seorang PNS hanya bisa dilakukan apabila melakukan pelanggaran berat. Sedangkan, pelanggaran lain, meskipun dari kacamata umum termasuk fatal, hanya dikenai sanksi-sanksi administratif, seperti penundaan kenaikan pangkat dan sejenisnya. 

Dengan posisi yang begitu kukuh, para PNS cenderung sangat percaya diri. Bagi mereka, begitu mendapat SK pengangkatan, seolah-olah profesi itu akan terus disandangnya sampai pensiun. 

Hal itu sangat berbeda dengan pencopotan seorang PNS dari jabatan struktural. Terhadap jabatan struktural tersebut, kepala daerah bisa sewaktu-waktu mencopot seorang pejabat. Baik karena dianggap tidak mampu, tidak kompeten, maupun tidak loyal, atau bahkan apabila tidak ada alasan pencopotan sekalipun. Seorang kepala dinas yang sebenarnya sangat cakap bisa saja dicopot oleh bupati hanya karena dianggap berbeda haluan politik dengan sang bupati. 

Dalam kaitannya dengan PNS ngah-ngoh, memang tidak dimungkiri adanya sebagian PNS yang tidak memiliki kemampuan memadai untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Setidaknya ada empat hal yang melatarbelakangi PNS yang masuk kategori tidak mampu itu. 

Pertama, alasan kesehatan. Alasan itu sangat manusiawi dan acap lebih bisa diterima karena tidak ada seorang pun yang menginginkan dirinya sakit. Meski demikian, tetap ada aturan mengenai mekanisme bagi PNS yang sakit. Mulai izin dokter, cuti sakit, hingga mengundurkan diri atau pensiun dini apabila menderita penyakit permanen. Maka, sebaiknya bersikap tahu diri dan tidak memaksakan diri untuk tetap menjadi PNS.

Kedua, ketidaksesuaian disiplin ilmu yang dimiliki dengan instansinya. Misalnya, seorang PNS berlatar belakang pendidikan hukum, namun ditempatkan di instansi teknis, seperti dinas pekerjaan umum. Namun, alasan itu tidak sepenuhnya bisa diterima karena pada instansi-instansi teknis sekalipun, tetap ada pekerjaan-pekerjaan administrasi dan sejenisnya yang bisa dikerjakan oleh yang bukan ahlinya. Sepanjang mau belajar dan kreatif, pasti ada pekerjaan yang bisa dilakukan. 

Ketiga, tidak memiliki motivasi bekerja. PNS seperti itu biasanya lahir dari orang-orang yang memiliki aji mumpung. Sebenarnya, dia sama sekali tidak berminat menjadi PNS, namun karena tidak ada pekerjaan lain, profesi PNS pun dijalaninya. Atau sebaliknya, dia memiliki pekerjaan lain yang jauh lebih menjanjikan sehingga profesi PNS itu hanya digunakan sebagai penambah status atau sekadar "ban serep".

Keempat, seratus persen ngah-ngoh. Adakah PNS yang seperti itu? Ternyata, banyak jumlahnya. Proses rekrutmen yang hanya dilakukan dengan tes tertulis memungkinkan masuknya PNS seperti itu. Ketika mengerjakan soal ujian, PNS jenis ini sebenarnya hanya mengerjakan secara untung-untungan. Karena soal-soal biasanya berbentuk multiple choice (pilihan ganda), dengan cara menghitung kancing baju, dia sudah bisa menulis jawaban. Namun, karena banyak jawaban untung-untungan tersebut yang ternyata benar, loloslah dia sebagai PNS. 

Keberadaan empat PNS jenis itu jelas merugikan keuangan negara. Sebab, gaji yang dibayarkan tidak sesuai dengan output yang semestinya dihasilkan. Namun, ternyata ada dampak yang lebih dari itu, yakni pengaruhnya terhadap lingkungan kerja. Rekan-rekan di tempat kerjanya sedikit banyak tentu terpengaruh. 

Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan wacana untuk mengubah mekanisme pemberhentian PNS menjadi lebih mudah. Dengan mempermudah mekanisme pemberhentian itu, PNS akan berpikir dua kali untuk bersikap seenaknya sendiri. Di sisi lain, kinerja birokrasi secara keseluruhan akan meningkat karena aparatur yang tidak kompeten semakin berkurang. 

Hal itu mungkin tidak populis bagi sebagian PNS, terlebih yang sudah memiliki persepsi bahwa PNS adalah pegawai abadi. Mereka tentu akan terusik apabila aturan pemecatan atau pemberhentian PNS dipermudah. Namun, aparatur yang bermental seperti itu memang sudah saatnya dieliminasi agar kinerja birokrasi bisa berjalan secara optimal. Upaya Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi mempermudah pemberhentian PNS yang tak kompeten, termasuk lewat pensiun dini, layak diapresiasi. 

Para PNS, terutama yang memiliki kinerja dan komitmen yang tinggi dalam bekerja, tentu tidak akan keberatan. Apalagi sesungguhnya PNS jenis itu sering merasa jengah menghadapi berbagai tudingan miring terkait dengan kinerja PNS akibat sorotan kepada mereka yang tak kompeten. Sebab, mereka merasa sudah bekerja secara optimal, namun masih saja terkena imbas dari tudingan-tudingan negatif yang dialamatkan kepada PNS.

Jadi, mau memecat PNS ngah-ngoh? Siapa takut!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar