Rabu, 27 Februari 2013

Memberdayakan RRI dan TVRI Adalah Keharusan


Memberdayakan RRI dan TVRI Adalah Keharusan
Amir Effendi Siregar Anggota Dewan Pers (2003-2006);
Ketua Dewan Pimpinan Serikat Perusahaan Pers (SPS) Pusat, dan Ketua Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2MEDIA)
KORAN TEMPO, 27 Februari 2013


Saat ini di Dewan Perwakilan Rakyat sedang dibahas secara intensif Rancangan Undang-Undang Radio Televisi Republik Indonesia (RTRI) yang merupakan gabungan RUU untuk RRI dan TVRI. RUU RTRI ini akan mendampingi RUU Penyiaran, yang merupakan induknya. Dalam RUU Penyiaran yang baru disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut tentang RTRI disusun oleh undang-undang secara terpisah dan tersendiri. Kita berharap pada akhir tahun ini akan lahir UU Penyiaran dan UU RTRI yang baru.
Selama ini RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik tidak mendapat perhatian yang layak. Beberapa pihak melihat persoalan ini secara pragmatis dan sederhana, yaitu kurangnya perhatian negara dalam membantu secara finansial RRI ataupun TVRI. Seharusnya RRI dan TVRI diberi bantuan cukup besar, misalnya Rp 2-5 triliun per tahun. Selanjutnya langkah pembenahan manajemen dan sumber daya manusia dilakukan.
Saya mencoba melihat persoalan ini dari sisi pandang yang lain. Pertama kali yang harus dilakukan adalah mencari jawaban yang bersifat fundamental. Mengapa pada zaman reformasi selama belasan tahun ini pihak legislatif, eksekutif, dan regulator tidak memberi perhatian yang layak kepada RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik?
Sebagian besar kalangan legislatif, eksekutif, ataupun regulator penyiaran, terutama Kementerian Komunikasi dan Informatika, tidak atau kurang memahami posisi, peran, dan fungsi lembaga penyiaran publik, atau bahkan tidak peduli. Hal itu tecermin dari beberapa kali perubahan status TVRI, yaitu menjadi perusahaan jawatan, kemudian menjadi perseroan terbatas, barulah kemudian menjadi lembaga penyiaran publik. Sayangnya, pesan UU Penyiaran tidak dilanjutkan dengan pemahaman yang memadai tentang penyiaran publik. Bahkan, pada 14 Desember 2009, Wakil Presiden, dalam sambutan pada ulang tahun ke-72 Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, mengatakan, untuk mengimbangi media massa di luar pemerintah, unit-unit media massa pemerintah, yaitu Antara, RRI, TVRI, diminta bersinergi. Implisit dalam pernyataan ini, TVRI diminta menjadi corong pemerintah. Sebenarnya lembaga penyiaran publik tidak boleh menjadi corong pemerintah dan harus independen. Ketidakpahaman akan posisi ini juga dinyatakan oleh beberapa pejabat negara yang mengatakan bagaimana mungkin TVRI bisa independen bila biayanya berasal dari pemerintah. 
Banyak pihak tidak memahami posisi dan peranan lembaga penyiaran publik, seperti RRI dan TVRI. Untuk itu, perlunya mengutip rumusan yang disampaikan oleh World Radio and Television Council pada 2002 yang mengatakan Lembaga Penyiaran Publik (Public Service Broadcasting) bukanlah lembaga komersial dan bukan lembaga yang dikontrol oleh pemerintah. Ia adalah lembaga independen milik publik. Alasan utama kehadirannya (raison d'etre) adalah melayani publik, berbicara kepada setiap warga negara, menawarkan dan memberikan akses agar terjadi partisipasi publik dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, membangun dan memajukan pengetahuan, memperluas cakrawala berpikir, serta memberdayakan masyarakat untuk bisa mengerti posisi dirinya dengan lebih mengerti tentang dunia dan kehidupan sekitarnya (Banerjee, 2006). Contoh lembaga penyiaran publik ini antara lain British Broadcasting Corporation di Inggris, Nippon Hoso Kyokai di Jepang, dan Australian Broadcasting Corporation di Australia. 
Di samping itu, tidak ada pemahaman bahwa lembaga penyiaran publik adalah institusi penting dalam sistem penyiaran yang demokratis yang harus dijamin dan diberdayakan di samping lembaga penyiaran swasta dan komunitas. Pemerintah dan regulator, khususnya Kementerian Komunikasi, terjebak dan larut dalam liberalisasi berlebihan. Pasar dibiarkan bergerak liar tanpa kontrol. Seolah undang-undangnya multitafsir, padahal yang sebenarnya-menurut Mahkamah Konstitusi (MK)-tidak multitafsir, serta membiarkan penguasaan berlebihan dan konsentrasi lembaga penyiaran swasta berada di tangan segelintir orang. Inilah yang disebut oleh MK sebagai masalah implementasi norma. Artinya, norma yang tidak dijalankan. Penguasaan berlebihan ini harus dihentikan. 
Digitalisasi penyiaran sebenarnya diharapkan akan memecah konsentrasi dan memberi peluang kepada banyak pihak untuk terlibat dalam penyiaran. Namun, ternyata, izin Lembaga Penyiaran Penyelenggara Penyiaran Multipleksing (LPPPM) diberikan kepada lembaga penyiaran yang sudah mempunyai IPP. Itu berarti diberikan kepada lembaga penyiaran swasta yang existing, yang berarti juga mengukuhkan konsentrasi dan pemusatan kepemilikan. 
Sebagaimana diketahui, untuk beberapa zona, pemenang LPPPM adalah lembaga penyiaran yang existing. Kompas TV atau Tempo TV jangan berharap menjadi LPPPM karena belum memiliki IPP. Seharusnya dibuka terlebih dulu kesempatan kepada semua pihak untuk memperoleh izin penyelenggaraan penyiaran digital kepada setiap badan hukum, barulah kemudian dipilih dan diseleksi siapa yang menjadi LPPPM sebagaimana terjadi di banyak negara demokrasi. Atau pengelola LPPM ini diberikan kepada badan usaha milik negara atau swasta yang independen terhadap lembaga penyiaran. Harus ada independensi dan keadilan dalam pengelolaan LPPPM.
Lebih dari itu, lembaga penyiaran publik hanya memiliki satu di antara enam kanal yang tersedia pada tiap zona yang berjumlah 15. Sementara lima kanal lainnya diberikan kepada pihak swasta. Ini berarti lebih kecil dari 20 persen. Bukankah ini liberalisasi berlebihan?
Pemerintah belum cukup siap menyelenggarakan penyiaran digital. Hal itu terlihat dari maju-mundurnya pelaksanaan seleksi dan pengumuman. Banyak sekali terjadi aksi protes dari hampir semua pemangku kepentingan, antara lain DPR, LSM, Asosiasi Televisi Lokal, Asosiasi Televisi Jaringan, bahkan dari beberapa lembaga penyiaran swasta sendiri. Namun pemerintah tampaknya tidak peduli. 
Inilah masalah utamanya, banyak pihak tidak mengerti dan tidak peduli bagaimana membangun sebuah sistem penyiaran yang demokratis, termasuk memberdayakan RRI dan TVRI, yang merupakan penyiaran publik. Bila ada komitmen, dana seharusnya bukan masalah, bisa Rp 2 triliun atau Rp 5 triliun, tergantung perencanaannya. Biaya diperoleh dari APBN, atau cara lain yang sah, termasuk iuran. Untuk RRI dan TVRI, biayanya harus ditanggung oleh negara, tidak mungkin mencari sendiri dan mandiri sebagaimana lembaga komersial. Peranan dan fungsi lembaga penyiaran publik berbeda dengan swasta, meskipun semuanya harus untuk kepentingan publik karena mempergunakan frekuensi milik publik. Yang satu bersifat non- komersial, sedangkan lainnya bersifat komersial. 
Tentu saja langkah berikutnya adalah melakukan audit dan evaluasi total terhadap peralatan dan sumber daya manusia. Kita sekarang tak bisa menyebutkan angka. Audit dan evaluasi total ini harus dilakukan oleh sebuah badan independen. 
Untuk itulah, dalam undang-undang baru tentang RTRI nanti, harus dinyatakan secara jelas dan terperinci soal peran, fungsi, dan tugasnya. Kemudian, dalam pasal transisi disebutkan dan diperintahkan oleh undang-undang agar audit dan evaluasi total dilakukan oleh pimpinan RTRI melalui sebuah lembaga independen sehingga bisa efektif dan efisien. Memberdayakan RRI dan TVRI sebagai lembaga penyiaran publik adalah keharusan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar