Jumat, 01 Februari 2013

Membangun Ketahanan terhadap Banjir


Membangun Ketahanan terhadap Banjir
Teddy Lesmana ; Peneliti Pusat Penelitian Ekonomi LIPI
MEDIA INDONESIA, 31 Januari 2013



BANJIR kembali melanda Jakarta beberapa waktu yang lalu dan sempat melumpuhkan berbagai aktivitas masyarakat, bahkan memakan korban jiwa yang tidak sedikit. Banjir tersebut juga memaksa ribuan orang mengungsi dari rumah-rumah mereka.

Sebenarnya, di era milenium ini, banjir besar yang melanda Jakarta bukan terjadi kali ini saja. Kita tentu masih ingat banjir yang juga sempat melumpuhkan Jakarta pada 2002 dan 2007. Meski demikian, sebenarnya, banjir bisa dikatakan hampir setiap tahun terjadi di Jakarta dengan taraf dan intensitas yang berbeda.

Sejatinya bencana banjir itu juga bukan persoalan unik yang dihadapi Jakarta saja. Berbagai kota di dunia yang juga dikelilingi sungai-sungai seperti Bangkok, Brisbane, New Orleans, Guandong, Dresden, dan Taipei juga pernah dihantam banjir meski mereka telah memiliki infrastruktur pengendali banjir yang memadai, seperti tanggul, dam, dan kanal-kanal.

Lalu, bagaimanakah seharusnya kita menyikapi fenomena banjir yang terjadi hampir di setiap musim penghujan tersebut? Apa saja yang harus dilakukan untuk membangun ketahanan terhadap banjir yang telah menjadi bagian dari kehidupan kita tersebut?

Secara topografis Jakarta memang terletak di dataran rendah yang juga menjadi daerah hilir berbagai aliran sungai yang mengalir melintasi Jakarta sebelum akhirnya menuju laut. Jakarta juga berdekatan dengan daerah pegunungan di Bogor yang sejak beberapa dekade terakhir juga dipadati pembangunan kawa
san perumahan dan vila yang selama ini memang kurang memperhatikan aspek keseimbangan ekologis. Pembukaan dan penggundulan di kawasan hutan yang semestinya bisa menjadi kawasan penahan air pun tak terkontrol.

Upaya untuk mengatasi persoalan banjir di Jakarta pun sebenarnya bukan hal yang baru. Di masa pemerintah kolonial pun sudah dilakukan pembangunan kanal dan pintu air untuk mengatasi dan mengantisipasi banjir. Belanda merancang kanalkanal tersebut seperti di kota-kota di negerinya. Namun, pembangunan kanal untuk menghadapi banjir tersebut juga tidak sepenuhnya berhasil mengingat secara topografis Jakarta berada di daerah dataran rendah dengan tekanan gravitasi untuk membantu cepatnya arus air sangatlah rendah.

Kondisi Jakarta yang secara natural dilintasi sungai dan berada di dataran rendah tersebut tentunya merupakan suatu keniscayaan yang tak dapat dimungkiri. Untuk itu, penyikapan terhadap banjir seyogianya tidak ditempatkan dalam konteks melawan terhadap banjir (against the floods), tetapi bagaimana seharusnya Jakarta mampu hidup dengan banjir (living with the floods). Untuk itu, diperlukan suatu ketahanan masyarakat dan pemerintah kota.

Ketahanan kota terhadap banjir didefi nisikan sebagai kapasitas suatu kota untuk menoleransi banjir dan memiliki kemampuan untuk mereorganisasi jika keru sakan fisik dan gangguan sosial-ekonomi terjadi. Itu termasuk kemampuan untuk mencegah jatuhnya korban jiwa dan cedera. Singkatnya, kota tersebut mampu mempertahankan kondisi sosial ekonominya pascabanjir (Liao, 2012). Ketahanan suatu kota terhadap banjir tersebut diukur dari kemampuan kota tersebut untuk menahan dampak akibat banjir sampai pada ambang batasnya dan mampu mengatasi kondisi yang tidak diinginkan.

Ada dua argumen kunci mengenai perlunya membangun ketahanan masyarakat terhadap banjir. Pertama, ketahanan berasal dari kemampuan untuk beradaptasi terhadap perubahan, ketidakpastian, dan kejutan (Folke, 2003). Menghadapkan manusia dan alam sebagai dua bagian yang terpisahkan dengan memaksa secara top down akan menghilangkan ketahanan masyarakat terhadap bencana banjir itu sendiri. Artinya, jika upaya mengatasi banjir hanya difokuskan dengan upaya fisik seperti membangun infrastruktur dan membangun fungsi sosial ekonomi kemasyarakatan yang dipaksakan, hanya akan mengurangi daya tahan masyarakat terhadap bencana. Harus ada perubahan paradigma manajemen bencana dari safety against floods menjadi safety at floods.

Kedua, dalam membangun ketahanan masyarakat, pembangunan secara gradual dan perubahan dinamis sesuai dengan kondisi yang dihadapi merupakan dua aspek yang saling melengkapi. Jika belajar dari gangguan terhadap ekosistem, ketahanan akan muncul dari proses pembelajaran dari gangguan atau kejutan yang dialami. Dengan demikian, bencana banjir bisa dianggap sebagai agen untuk mendorong terbangunnya ketahanan. Pengalaman dari bencana yang dialami menciptakan kesempatan bagi pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk menyesuaikan struktur internal mereka, untuk membangun pengetahuan dan strategi menghadapi banjir yang dapat diakumulasi sepanjang waktu (Folke, 2006).

Ketahanan terhadap banjir tersebut bisa diwujudkan dengan terciptanya kota yang mampu mengorganisasikan diri. Masyarakat dan aparatur kota tersebut dapat bergerak cepat untuk meminimalkan kerusakan dan korban ketika bencana banjir terjadi. Ketahanan tersebut juga dapat terwujud dengan terbangunnya kemampuan adaptif. Kemampuan untuk belajar dan membuat penyesuaian perilaku, kelembagaan, dan kekuatan fisikal untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik sekiranya bencana terjadi lagi. Dengan demikian, ketika banjir terjadi, telah ada standard operating procedure dan koordinasi yang jelas dari berbagai pihak baik internal pemerintah daerah maupun elemen-elemen masyarakat.

Hal yang juga tak kalah pentingnya ialah edukasi terhadap masyarakat secara terusmenerus untuk menanamkan kesadaran untuk menghargai lingkungan sebagai bagian dari ekosistem kehidupan yang tidak terpisahkan. Hidup bersama banjir bukanlah suatu kepasrahan, melainkan penyikapan bahwa kondisi itu merupakan alat pembelajaran agar tidak perlu lagi timbul korban dan kerusakan yang tidak diinginkan. Hidup bersama banjir bukanlah suatu kepasrahan, melainkan penyikapan bahwa kondisi itu merupakan alat pembelajaran.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar