Selasa, 12 Februari 2013

Melawan dalam Sunyi?


Melawan dalam Sunyi?
Gun Gun Heryanto ;   Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute,
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta
SINDO, 12 Februari 2013


Reaksi cepat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memimpin penataan, penertiban, dan pembersihan Partai Demokrat mulai diimplementasikan. 

Selang dua hari setelah pengumuman delapan poin solusi penyelamatan Demokrat, SBY tancap gas dengan mengumpulkan 33 DPD se-Indonesia di Puri Cikeas, Bogor (10/2). Sulit menghindari tafsir politis menyangkut momentum serta relasi kuasa antara SBY dan Anas dalam sejumlah tindakan, ucapan, dan kebijakan SBY terkait penandatanganan pakta integritas tersebut. 

Konteks Politis 

Pakta integritas menjadi prioritas SBY di awal misi penyelamatan karena memiliki makna strategis ke dalam dan ke luar partai. Untuk internal partai, menjadi sebuah prosedur penting bagi SBY dalam melihat, menilai, memetakan loyalitas elite Demokrat seluruh Indonesia di tengah situasi krisis. Lebih spesifik lagi, tentu SBY selaku ketua majelis tinggi partai punya kepentingan memastikan bahwa dirinya benar-benar berada di puncak hierarki otoritas partai baik secara de jure maupun de facto. 

SBY pasti tidak ingin dipersepsikan hanya pandai berwacana dengan delapan poin solusi penyelamatan sehingga dia merealisasikan pertemuan sesegera mungkin. Menariknya, kenapa penandatanganan justru dimulai dari pengurus 33 DPD dulu daripada DPP? Sekali lagi, konteks tak bias kita nafikan, bahwa selama ini Anas merupakan sosok ketua umum yang sangat rajin turun ke bawah. 

Berbagai inisiasi program dan penguatan jaringan Anas di struktur kepengurusan daerah berdenyut,bahkan kian memperlihatkan eksistensinya yang kian menguat. Jejaring politik Anas di daerah tak bisa dianggap sebelah mata. Wajar jika SBY mulai menyisir peta kekuatan dan memulainya dari daerah. Dengan demikian, pakta integritas bukan semata soal substansi yang memang seluruh poinnya bagus, melainkan juga soal prosedur penguasaan. SBY sadar benar mengenai dampak psikopolitis dari pengondisian melalui pembubuhan tanda tangan yang merepresentasikan konsensus langsung tersebut. 

SBY juga mengelola kepastian guna memudahkan evaluasi serta pengendalian para elite Demokrat di daerah. Wajar, jika kita melihat kondisi ini menciptakan batasan afiliatif. Menurut Dennis Gouran dalam The Signs of Cognitive (1998) batasan afiliatif berarti bahwa anggota kelompok lebih memilih untuk menahan diri daripada mengambil risiko ditolak atau disisihkan. 

Jika melihat dari sudut genealogi politik Partai Demokrat, tampak jelas posisi SBY hingga kini masih menjadi figur utama dan struktur kepartaian berada dalam afiliasi terhadap pengaruh itu. Efek ke luar partai, penandatanganan pakta integritas yang diliput media massa tentu menjadi pesan bahwa Demokrat sedang serius berbenah. 

Sejumlah poin misalnya soal menjaga kinerja dan integritas untuk menyejahterakan bangsa, melayani masyarakat dengan adil dan tidak diskriminatif, memperkuat persatuan dan mengembangkan toleransi, patuh pada konstitusi dan hukum, mencegah dan menghindari korupsi, bersedia mundur dari jabatan di partai jika tersangka, menyerahkan data kekayaan dan lain-lain menjadi ekspresi simbolik bahwa ada kemauan untuk memperbaiki diri. 

Tentu substansinya patut kita apresiasi, tetapi sebenarnya ini modus yang biasa digunakan dalam manajemen isu di saat krisis. Saat seseorang atau institusi dihajar isu atau persepsi negatif, maka biasanya mereka memalingkan perhatian pada ekspresi simbolik lain yang menunjukkan sisi positif. Hal ini juga dilakukan Partai Keadilan Sejahtera(PKS), saat mencuat kasus Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), maka Presiden Baru PKS, Anis Matta, mengatakan bahwa mereka akan melakukan pertobatan nasional. 

Hanya soal pilihan pendekatan saja yang membedakan strategi Demokrat dengan PKS. Jika PKS menggunakan pendekatan simbolik keagamaan, Demokrat lebih teknis operasional, yakni pakta integritas. Tujuan akhirnya kurang lebih sama, yaitu membangun persepsi positif publik atas institusi mereka. Terlebih momentumnya berada di tengah rivalitas antarkekuatan jelang Pemilu 2014.

Posisi Anas 

Dalam konstelasi politik internal Demokrat saat ini, posisi Anas memang sangat riskan. Akankah Anas selamat dari jerat kasus hukum? Kini hanya itu yang menjadi celah telak bagi faksi non-Anas untuk menjatuhkan dia dari posisinya sebagai nakhoda partai. Faktanya, hingga sekarang belum ada satu kasus pun yang disangkakan kepada Anas. 

Dengan begitu, SBY juga tak bisa serta-merta menggunakan strategi “perang terbuka” dengan melengserkan Anas karena belum cukup alasan adanya pelanggaran konstitusi partai. SBY tentu berhitung cermat jika cara frontal yang ditempuh yakni melengserkan Anas sebelum ada kejelasan status hukumnya, maka justru kondisinya bisa berbalik menghantam SBY.Bisa dipahami jika mekanisme “perang terbuka” tak dipilih untuk menghindari zero sum game atau kalah jadi arang, menang jadi abu. 

SBY mengambil cara aman, dengan mengerangkeng Anas dalam poin-poin solusi penyelamatan partai. Yang paling menohok tentu poin yang menyatakan segala keputusan, kebijakan, dan tindakan partai ditentukan dan dijalankan oleh Majelis Tinggi Partai Demokrat. SBY sebagai ketua majelis tinggi akan mengambil keputusan dan arahan yang penting serta strategis. SBY juga mempersilakan Anas untuk fokus pada kasus hukum yang dikaitkan kepadanya.

Senyatanya, ini merupakan bentuk korporatisme politik ala SBY yang memosisikan Anas sebagai komandan tanpa tongkat komando! Jika melihat gaya komunikasi politik Anas yang selalu tampil terjaga, cool, dan jarang menunjukkan agresivitas verbal, kemungkinan besar Anas tak akan membuka ruang konflik terbuka di ruang publik. Yang jelas, saat ini posisi Anas belum habis di Demokrat, meskipun delegitimasi terhadapnya sangat intensif dilakukan oleh para elite Demokrat lain. 

Bahkan sangat mungkin Anas melawan dalam sunyi. Artinya, Anas tak membuka polemik entah itu terhadap poin-poin solusi yang dikemukakan SBY pada Jumat (8/2) maupun terhadap pakta integritas yang dorong untuk ditandatangani 22 ketua DPD se-Indonesia. Sangat mungkin Anas “melawan” atau lebih tepatnya mengembangkan kontestasi dengan cara soft. Di satu sisi dia meminta melalui berbagai media massa untuk tak dihadap-hadapkan dengan SBY, di sisi lain juga Anas tetap turun ke bawah mempertahankan dan menyolidkan jejaring yang sudah dia miliki selama ini. 

Secara kebetulan atau tidak, Sabtu (9/2) Anas tetap melakukan aktivitas kepartaian di DPC Partai Demokrat Lebak, Banten, Sabtu (9/2). Bisa jadi, ini juga bukan terakhir kalinya Anas turun ke struktur partai di daerah. Meski posisi Anas kian terancam, tidak tertutup kemungkinan dia melawan meski dengan caranya sendiri yakni, operasi sunyi! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar