Senin, 18 Februari 2013

Manuver Miskin Hasil


Manuver Miskin Hasil
Firman Noor Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI,
Pengajar pada Program Ilmu Politik UI 
SINDO, 18 Februari 2013


Partai Demokrat merupakan satu di antara banyak partai yang saat ini tengah dirundung masalah pelik. Citra partai yang merajai pemilu terakhir demikian terpuruk dan telah cukup menimbulkan kekhawatiran bagi para pengurus dan pendukungnya. 

Beberapa survei terakhir menunjukkan penurunan elektabilitas yang signifikan bagi partai ini. Tidak itu saja, partai ini pun tengah mengidap faksionalisasi yang cukup berat dan hingga kini belum terselesaikan. Sikap elite partai yang cenderung saling serang,saat cobaan demi cobaan menghujam mengindikasikan ada sesuatu yang salah dari pola hubungan antar elite dalam partai berlambang mercyini. 

Strategi Penyelamatan 

Atas dasar itulah, apa yang dilakukan oleh Presiden SBY dalam hari-hari terakhir dapat dilihat sebagai bagian dari kekhawatiran atas nasib Demokrat. Sepulangnya dari ibadah di Tanah Suci, SBY melakukan sejumlah manuver untuk membenahi partainya. Dibuka pertama kali dengan mengundang dewan pembina pada Kamis, yang kemudian disusul dengan majelis tinggi “plus” sehari sesudahnya dan kemudian mengundang pimpinan DPD pada hari Minggu. 

Sebelum kemudian mengeluarkan pakta integritas, SBY telah mencanangkan pengambilalihan partai dan mempersilakan Anas, meski tetap sebagai ketua umum partai, untuk berkonsentrasi atas masalah yang dihadapinya. Meski “masalah” di sini belum jelas benar, mengingat jika kasus korupsi yang dimaksud, Anas hingga saat itu belum menjadi terduga apalagi tersangka. Pun demikian, pengambilalihan itu jelas tidak memiliki landasan konstitusi partai yang kuat. 

Semua peristiwa itu terjadi di Cikeas. Dari tempat yang diambil, SBY ingin menunjukkan atau menegaskan kembali siapa sesungguhnya dirinya dalam partai ini. Dijadikannya Cikeas,dan bukan Kantor DPP Partai Demokrat sebagai tempat pertemuan, pun memperlihatkan bagaimana urusan partai menjadi urusan personal seorang SBY. Sepintas, apa yang diambil terasa signifikan. 

Bagi sebagian kalangan, langkah SBY cukup telah mengunci Anas yang dipandang sebagai sumber masalah, dan dijadikan kambing hitam bagi terus meluncurnya suara demokrat. “Faksi Cikeas”, demikian beberapa kalangan menyebutnya, menggunakan hasil survei dari SMRC, sebagai modal untuk menyerang Anas. Pakta integritas juga dipandang menjadi pembuka atau kanal bagi dikeluarkannya Anas secara elegan. 

Mengingat pada poin kedelapan, terdapat klausul kesediaan untuk mengundurkan diri jika mendapatkan status terduga, tersangka atau terpidana dalam kasus korupsi. Kebetulan pula, tidak lama setelah itu sprindik Anas bocor ke tangan publik. Dari sini, pakta integritas menjadi terlihat demikian relevan. 

Tidak Menunjang Penyelesaian Masalah 

Namun demikian, sebagai bagian dari upaya penyelamatan partai, langkah SBY termasuk adanya pakta integritas seharusnya bekerja lebih lama dan jauh ke depan, dalam makna tidak diabdikan hanya untuk atau dalam rangka menyingkirkan Anas dan kelompoknya saja. Namun, semakin terlihat bahwa langkah-langkah penyelesaian yang ditempuh oleh SBY bersifat tanggung, untuk mengatakan tidak menyelesaikan masalah. 

Hal ini karena pada dasarnya manuver SBY belum menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang ada di partai ini yang mencakup tiga hal yakni: (1) kohesivitas elite yang lemah, (2) persoalan pelembagaan atau pemodernan partai yang tidak kunjung terselesaikan, dan (3) kinerja kader partai yang biasabiasa saja. Ketiganya berpotensi besar memberikan kontribusi negatif pada elektabilitas partai pada Pemilu 2014 dan kelangsungan partai ini. 

Pada soal yang pertama, manuver SBY sama sekali tidak mampu menjembatani faksionalisasi yang ada. Bahkan, terkesan langkah yang didukung penuh Kelompok Cikeas itu justru mengeraskan atau menguatkan perbedaan itu. Kelompok Anas merasa sebagai korban persekutuan buruk yang melibatkan pihak-pihak yang selama ini tidak mau legawa dengan kepemimpinan Anas. Sementara bagi yang menentangnya, Anas dipandang tidak mampu melihat pesan simbolik penyingkirannya. 

Kenyataannya, pascamanuver SBY, masing-masing kubu tetap saja tidak menunjukkan gejala saling mendekat. Dalam soal yang kedua, yakni pelembagaan partai, langkah personal SBY yang kemudian diikuti oleh seluruh jajaran partainya, justru makin menunjukkan kebergantungan yang demikian besar Partai Demokrat pada figur SBY. 

Pengurus, elite, dan kader seolah masuk dalam labirin kebingungan untuk dapat menyelesaikan persoalan tanpa SBY. Sistem pun tidak dapat diharapkan, sehingga diperlukan lagi seorang SBY untuk membenahinya. Padahal, indikator sebuah partai yang terlembaga adalah dihormatinya aturan main dan semakin minimnya ketergantungan partai pada figur. Atau dalam bahasa Huntington: “theprocessby whichorganizations and procedures acquire value and stability”(1968: 394). 

Sayangnya, langkah yang ditempuh oleh SBY secara fundamental mencerminkan sebuah kebimbangan. Di satu sisi, SBY tidak ingin terlihat dengan kentara menabrak konstitusi partai, namun di sisi lain tetap ada kesan kuat ingin menyingkirkan Anas secepatnya. Langkah SBY untuk mengakomodasi dua kepentingan itu berujung pada “pengambilalihan kewenangan” sementara, yang sayangnya pula tidak termaktub dengan jelas aturannya dalam AD/ART partai.

Keputusan yang “semikonstitusional” ini jelas menjadi sebuah preseden negatif bagi partai, terutama dalam hal digunakannya perhitungan strategis individu dan bukan kelembagaan untuk menyelesaikan persoalan internal partai. 

Dan yang terakhir, langkah yang ditempuh tetap tidak bisa memaksimalkan kinerja kaderkader partai, yang justru amat diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas partai. Langkah yang ditempuh oleh SBY juga tidak serta-merta membuka sebuah peluang untuk terjadinya perubahan kepengurusan secara cepat dan terkendali. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar