Rabu, 13 Februari 2013

Mahasiswa Baru Pertaruhan PTN


Mahasiswa Baru Pertaruhan PTN
Budi Santosa ;   Guru Besar dan Ketua Jurusan Teknik Industri ITS
JAWA POS, 13 Februari 2013


BERBEDA dengan sistem tahun lalu, tahun ini para dosen PTN harus siap menerima, mengajar, serta mendidik mahasiswa yang minimal 50 persen masuk lewat jalur bebas tes, yaitu seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNM PTN). Syaratnya adalah nilai ujian nasional (unas) dan rapor SMA serta prestasi khusus di bidang akademik atau olahraga dan seni. Mereka ini bahkan bebas biaya pendaftaran karena ditanggung pemerintah. 

Tahun lalu PTN harus menerima minimal 60 persen mahasiswa melalui jalur tes. Sebaliknya, tahun ini maksimal sisanya 50 persen harus masuk lewat seleksi bersama masuk PTN (SBM PTN) dan seleksi mandiri di PTN. 

Tentu saja itu membawa konsekuensi baru bagi PTN. Yang paling dikhawatirkan tentu saja kualitas mahasiswa yang diterima tanpa tes itu. Dengan minimal 50 persen mahasiswa baru harus diterima lewat jalur tanpa tes, kita harus siap menerima akibat dari penjaminan mutu di SMA dan penyelenggaraan unas. Kami para dosen PTN mengharapkan adanya jaminan mutu yang memadai untuk evaluasi siswa SMA dan pelaksanaan unas. Jika syarat kualitas tersebut tidak terpenuhi, PTN yang akan menanggung akibatnya. Karena itu, sistem penerimaan mahasiswa baru tersebut benar-benar menjadi pertaruhan bagi PTN.

Selama ini penyelanggaraan uanas selalu menyisakan cerita kurang sedap. Baik berupa adanya soal bocor, guru memberi siswa akses menyontek, maupun diknas memberikan target kepada sekolah. Cerita tersebut tentu saja membuat kita para dosen di PTN merasa ciut nyali, bisakah mutu mahasiswa yang masuk lewat jalur tanpa tes itu dijamin?

Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) dalam hal ini berani bertaruh bahwa langkah mengintegrasikan unas dan SNM PTN harus dimulai. Bahwa di sana sini masih terjadi kekurangan dalam pelaksanaan UN harus diakui. Yang terpenting, dengan aturan ini, pelaksanaan unas harus diperbaiki sehingga nilai unas bisa dipertanggungjawabkan secara akademik dan memang mewakili kemampuan siswa. Jika pelaksanaan unas sudah bagus, berikutnya adalah kualitas nilai evaluasi yang diberikan sekolah di rapor.

Nilai rapor selama ini menjadi wewenang guru kelas. Guru harus cukup objektif memberikan nilai dan ada standar yang jelas untuk pemberian nilai ini. Sering kita dengar sekolah merekayasa nilai rapor karena akan menjadi pertimbangan masuk PTN. Nilai-nilai cenderung akan ditinggikan. Hal ini tentu memprihatinkan kami yang akan mendidik mereka di tahap berikutnya.

Kepercayaan diknas dengan aturan baru hendaknya disikapi secara tepat oleh guru dan kepala sekolah di SMA. Biarkan murid mendapat nilai yang wajar sehingga nilai tersebut memang mewakili kemampuannya.

Untuk menjaga objektivitas, PTN juga akan mempertimbangkan kualitas sekolah. Artinya, nilai 8 dari satu SMA tidak bernilai sama dengan 8 dari sekolah lain. Pemerintah punya ukuran tersendiri mengenai kualitas SMA. Ada bobot tersendiri mengenai asal sekolah. Bobot tersebut akan didasarkan kepada sejarah atau rekam jejak sekolah itu dalam unas maupun SNM PTN sebelumnya.

Bagaimana siswa dari sekolah yang belum punya reputasi? Jika siswa-siswa pintar berasal dari sekolah yang belum punya sejarah bagus di uans maupun SNM PTN, bagaimana nasibnya? Siswa tersebut mungkin akan sulit masuk PTN lewat jalur SNM PTN. Mereka harus membuktikan kemampuannya lewat SBM PTN. Mereka harus mengikuti tes. Saya kira itu jalan tengah yang bagus dari pemerintah. Yang penting tetap dijaga agar jalur tes tetap ada. Jadi, bibit unggul dari sekolah yang ''tidak unggul'' tetap punya peluang masuk PTN.

Dari sistem baru penerimaan mahasiswa itu yang penting harus disadari adalah peran sekolah dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama menjaga kejujuran dan objektivitas dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah maupun unas. Jangan berpikir sempit dan jangka pendek untuk hanya mementingkan anak didik di sekolahnya tanpa menghiraukan kualitas hasil pendidikan secara keseluruhan. 

Bagaimanapun, anak-anak itu yang nanti memegang masa depan bangsa. Kejujuran tersebut yang akan menghasilkan kondisi ''memang yang berkualitaslah yang pantas masuk PN lewat jalur tanpa tes''. Ketidakjujuran, selain akan menyusahkan PTN penerima, bakal menyusahkan para siswa sendiri. Jangan sampai para siswa harus menanggung beban berat karena sejatinya mereka tidak pantas masuk di suatu jurusan di PTN.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar