Kamis, 14 Februari 2013

KUR Belum Sentuh Nelayan


KUR Belum Sentuh Nelayan
Yonvitner  Peneliti Senior PKSPL-IPB 
REPUBLIKA, 11 Februari 2013


Berdasarkan data FAO dalam dokumen TDA BobLME (2012), jumlah penduduk miskin wilayah pesisir Indonesia sebesar 33,7 juta jiwa atau mencapai 13 persen dari penduduk miskin pesisir dunia setelah India (27 persen). Mungkin karena kemiskinan yang tidak berujung tersebut, tiba-tiba presiden berkunjung ke kampung nelayan di Teluk Naga. Dalam kunjungan ini, Presiden mendorong nelayan memanfaatkan fasilitas pemerintah melalui KUR. 

Melalui KUR, predikat miskin yang terus menempel pada nelayan segera menjauh. Rendahnya penyerapan KUR oleh nelayan sudah terjadi sejak lama karena tidak tersosialisasi dan kesulitan mengakses akibat tidak adanya jaminan yang bernilai ekonomi sepadan dengan pinjaman. Rendahnya penyerapan KUR pada nelayan bukan tanpa sebab. 

Setidaknya, ada tiga hal pokok yang mendasar, yaitu suku bunga KUR yang oleh nelayan masih dianggap tinggi, penjaminan kredit atas aset nelayan yang belum diterima oleh perbankan, dan mekanisme yang rigiddan tidak menoleransi perilaku usaha perikanan.
Pada tingkat nelayan, suku bunga KUR mencapai 12 persen, walaupun tahun ini ditetapkan 11,4 persen per tahun. Nelayan penangkap dibebani bunga lebih tinggi dari nelayan pengolahan yang suku bunga KUR-nya tujuh persen per tahun. Tidak adil memang jika dibandingkan dengan tengkulak yang memberi kredit rekanan dengan bunga mencapai 10 persen per peminjaman. Kredit kepada tengkulak tidak dengan agunan dan penalti, tapi berbunga lebih tinggi juga banyak diminati nelayan.

Nelayan dengan tengkulak umumnya memainkan hubungan patron-klien dalam hasil tangkapan. Sementara, untuk KUR nelayan, bank penyalur kredit meminta nelayan secara konsisten untuk melakukan pembayaran. Padahal, karakteristik ikan hasil tangkapan nelayan berfluktuasi setiap bulannya. Karena alasan ini, tengkulak lebih disukai walaupun terlihat lebih besar bunga yang dikenakan. 

Di sini, seharusnya pemerintah berperan dengan menurunkan bunga kredit KUR kepada nelayan. Bahkan, skema pembiayaan usaha penangkapan harus didesain menurut pola tangkapan nelayan. Fakta ini belum dipahami perbankan sampai saat ini. Perbankan melihat, masyarakat nelayan dan petani sebagai alat untuk mencari keuntungan perbankan tanpa peduli kesejahteraan dan dinamika hidup nelayan. 

Dalam hal penjaminan aset untuk kredit KUR, sampai saat ini perbankan belum bisa menerima kapal atau alat tangkap sebagai agunan kredit. Pihak bank selalu meminta nelayan yang mau menjaminkan rumahnya. Nelayan ABK yang memiliki komposisi besar umumnya memiliki rumah yang tidak layak dipinjamkan dan semipermanen. 

Peran pemerintah di sini seharusnya adalah menjadi penjamin kepada perbankan. Pemerintah daerah atau departemen teknis seharusnya berani memberikan jaminan kepada perbankan, misalnya, dalam bentuk surat berharga pemerintah sehingga nelayan dapat mengakses kredit. Dengan kondisi ini, nelayan masih akan ke sulit an untuk menambah permodalan dari KUR.

Mekanisme perkreditan yang diberlakukan bank saat ini masih rigid dan tidak toleran terhadap nelayan. Secara alamiah, karakter nelayan berbeda dengan petani pembudidaya atau perkebunan. Dalam konsep bank, dana pinjaman harus dikembalikan setiap bulan pada batas waktu yang di sepakati. Sementara, usaha perikanan tangkap sangat bergantung kepada alam. Nelayan maksimal mampu melakukan penangkapan selama de lapan bulan dalam setahun. Empat bulan berikutnya adalah musim kurang ikan. Akibatnya, pada bulan-bulan seperti ini nelayan tidak akan mampu melakukan pembayaran pinjaman. Sementara, bank akan responsif jika tidak terjadi penunggakan atau penundaan pembayaran.

Tingginya tingkat ketidakpastian berusaha menjadi dasar bekerjanya bank untuk tidak terlalu eksplosif dalam memasarkan KUR kepada nelayan. Kalau serius ingin mengurangi angka kemiskinan nelayan dengan mendorong peningkatan usaha melalui KUR, sebaiknya pemerintah harus menurunkan suku bunga dibawah 10 persen atau bahkan mencapai lima persen agar tidak terlalu membebani nelayan. Pemerintah tidak seharusnya mencari keuntungan atas nelayan (rakyatnya), tapi malah harus membantu nelayan. 

Selain itu, pemerintah harus mampu menjadi penjamin KUR nelayan. Dalam hal ini harus ada intervensi lebih kuat pemerintah terhadap sektor keuangan negara agar tidak membebani masyarakat. Jika terjadi sesuatu hal, pemerintah dapat mengambil alih sistem KUR kepada nelayan. Berikutnya, pemerintah harus menyertakan pertimbangan iklim usaha atas kredit usaha.

Pemerintah harus mengaplikasikan pemahamannya atas sumber daya yang menjadi objek usaha masyarakat. Melalui tiga langkah di atas, diharapkan kesejahteraan nelayan akan lebih meningkat. Penurunan angka kemiskinan nelayan pada 2006 yang mencapai 35 juta jiwa (Rokmin Dahuri, 2006) menjadi 33,7 juta jiwa saat ini belum menjadi pencapaian luar biasa. 

Untuk itu, agar jumlah nelayan miskin dapat ditekan perlu upaya dan peran lebih dari pemerintah, baik melalui sektor keuangan sampai pada tatanan operasional. Kesediaan pemerintah untuk menurunkan suku bunga KUR dan intervensi dalam proses penjaminan usaha dapat menjadi poin awal untuk terus menurunkan angka kemiskinan menjadi lebih rendah dari 30 juta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar