Rabu, 06 Februari 2013

Kriminalisasi Swasta dan Pencegahan Korupsi


Kriminalisasi Swasta dan Pencegahan Korupsi
Bambang Soesatyo ;  Wakil Ketua Umum Kadin
Bidang Hukum dan Hubungan Antar Lembaga
SUARA KARYA, 05 Februari 2013


Berdasarkan laporan The World Justice Project tahun 2012, Indonesia menempati peringkat terendah di Asia Pasifik (14/14) dan urutan ke-86 dari 97 negara di dunia, sehubungan dengan ketidakhadiran korupsi dalam pemerintahan (absence of corruption). Kesejahteraan masyarakat yang kurang, minimnya gaji dan pendapatan PNS, serta mentalitas 'ingin cepat kaya tanpa kerja keras' menjadi motif utama berkembangnya tindak pidana korupsi.

Upaya konkrit KPK dalam pemberantasan korupsi diharapkan mampu menciptakan efek jera bagi para koruptor. Tetapi, harus diwaspadai bahwa penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak malah mencerdikkan para koruptor untuk menyiasati teknik-teknik korupsi agar lolos dari jerat hukum. Secara umum, modus tindak pidana korupsi terdiri dari tiga jenis.

Pertama, penyalahgunaan anggaran. Hal ini terkait dengan penyelewengan wewenang di mana banyak pejabat publik di daerah, dalam mengelola APBD seolah-olah dana pribadi. Karena mudahnya pembuktian atas penyelewengan ini, maka modus penyalahgunaan anggaran telah banyak ditinggalkan.

Kedua, penggelembungan (mark-up) anggaran terhadap proyek-proyek pengadaan yang menggunakan anggaran negara. Hal ini tentu sangat berisiko mengingat standar dan proses pelelangan yang semakin baik. Hadirnya layanan pengadaan secara elektronik (LPSE) atau yang dikenal dengan e-procurement di era keterbukaan informasi publik saat ini terbukti mampu mempersempit ruang untuk melakukan kerja sama terselubung. Kalapun lolos dalam proses pelelangan, dalam banyak kasus konspirasi terbongkar pada saat pemeriksaan anggaran di mana pengadaan barang tidak sesuai dengan nilai anggaran yang dialokasikan.

Ketiga, pemberian perizinan dan pungutan-pungutan liar yang dikenakan kepada pihak swasta atau pengusaha. Karena tidak hadirnya anggaran negara dalam praktik korupsi ini, sistem yang mendukung pembuktian terbilang minim. Tindak korupsi di sini lebih kepada penyalahgunaan wewenang, yang pada banyak kasus dibuktikan sebagai ekses dari kebijakan otonomi daerah (otda).

Pelaksanaan otda di era reformasi ini bak 'pedang bermata dua'. Di satu sisi, otda diterapkan dengan harapan wilayah-wilayah di Indonesia memiliki otonomi untuk mengembangkan ekonomi daerahnya demi kesejahteraan penduduk. Di sisi lain, otda ternyata berkembang menjadi pundi-pundi uang bagi koruptor. Kekuasaan yang sangat besar membuat orang berlomba-lomba mengejar posisi strategis untuk menjadi kepala daerah. Akibatnya, banyak di antara kepala daerah tidak kompeten dan tidak bertanggung jawab pada publik.

Biaya politik untuk pemenangan pemilukada tentu saja berat untuk ditanggung secara individual. Konsekuensinya, hal ini menjadi excess luggage bagi kepala daerah terpilih. Cara singkat untuk membayar hutang politik ini adalah dengan menyalahgunakan wewenang dan mandat politiknya. Dalam banyak kasus, pengusaha dijadikan target pemerasan. Posisi pengusaha berada pada situasi yang serba salah. Di satu sisi pengusaha didorong untuk memajukan iklim investasi namun di sisi lain terperangkap oleh sistem yang tidak mendukung.

Ambil contoh, kasus hukum yang menimpa Siti Hartati Murdaya, pengusaha yang membuka lahan kelapa sawit di Kabupaten Buol sejak pertengahan 1990-an. Konon, ketika terjadi tindakan anarki di wilayah tersebut pada bulan September 2010 dan Mei 2012 yang berdampak pada terhentinya operasi perkebunan sawit, kerusuhan hanya mempan diatasi setelah perusahaan membayar pungli pada oknum setempat yang mengklaim mampu mengendalikan warga. Pungli terpaksa dipenuhi karena perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar jika terhenti operasinya.

Namun, hal itu dianggap sebagai penyuapan, padahal kemungkinan adanya praktik pemerasan bisa saja terjadi. Dalam hal ini, negara justru tidak bisa menjaga keamanan wilayahnya dan pebisnis dijadikan sapi perah oleh kepala daerah. Situasi dilematis seperti ini bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha pada umumnya. Tentunya pengusaha bisa takut berinvestasi ke daerah terpencil karena tidak adanya ketidakpastian hukum.

Contoh lainnya, kasus-kasus tuduhan penyalahgunaan pita frekuensi 2.1 GHz untuk penyelenggaraan Internet 3G oleh PT Indosat Tbk dan anak usaha PT Indosat Mega Media (IM2). Dalam kasus ini, gugatan yang diajukan tersebut tidak memiliki rasional yang tepat. Kerja sama yang berlangsung antara Indosat dan IM2 tidak melanggar aturan yang ada dan lazim diterapkan di industri internet. Tercatat lebih dari 280 penyelenggara jasa internet (ISP) melakukan kerja sama serupa dengan Indosat-IM2.

Ironisnya, pemerintah (Kemenkominfo) dan industri telah menyuarakan fakta yang ada, jauh sebelum kasus ini ditangani oleh Pengadilan Tipikor. Bahkan sepuluh asosiasi yang terkait dengan industri telekomunikasi dan informatika di Indonesia telah mengimbau Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengkaji ulang kasus IM2.

Sepertinya wibawa peradilan di Indonesia sedang diuji oleh beberapa kasus yang memiliki tema serupa: kriminalisasi swasta dan pemberantasan korupsi. Disharmonisasi antara semangat pemberantasan korupsi dan penyalahgunaan wewenang yang melibatkan pihak swasta menciptakan ketidakadilan hukum dan memposisikan investor pada dilema buah simalakama. Dalam hal ini diperlukan kejelian dan kebijaksanaan sistem peradilan, khususnya Tipikor.

Persyaratan yuridis dan due process of law sebagai wujud kewenangan penegakan hukum seharusnya menjadi substansi proses persidangan. Hakim semestinya tidak memiliki tekanan dalam membuat keputusan seadil-adilnya.

Dalam kasus pihak swasta menjadi korban atau terkriminalisasi akibat sistem, misalnya, jerat hukuman perlu dipertimbangkan secara matang. Hal ini demi ketegasan dan tegaknya keadilan di ranah tindak pidana korupsi, yang bisa berpengaruh terhadap membaiknya iklim investasi di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar