Sabtu, 02 Februari 2013

Korupsi di Lingkungan Parlemen


Korupsi di Lingkungan Parlemen
Marwan Mas ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
SINDO, 02 Februari 2013

  
Berita ditetapkannya tersangka suap Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK pada Kamis (31/1) terkait pengurusan proyek impor daging sapi, begitu mengagetkan publik. 

Betapa tidak, PKS merupakan salah satu partai politik (parpol) yang selama ini selalu mendengungkan tagline “bersih dan jujur”. Tanpa bermaksud mengabaikan asas praduga tak bersalah karena harus dibuktikan di pengadilan, kejadian itu akan semakin membuat rakyat gamang. Siapa lagi yang dipercaya bebas dari godaan korupsi di negeri ini. 

Sesaat setelah empat orang tertangkap tangan yang diduga akan menyerahkan uang Rp1 miliar, Luthfi dijemput dan dibawa oleh tim penyidik ke gedung KPK. Bahkan, penyidik melakukan penggeledahan di ruangan Luthfi di kantor PKS. KPK juga menyegel Kantor Dirjen Peternakan Kementerian Pertanian. Menurut Juru Bicara KPK Johan Budi, KPK sudah menemukan bukti permulaan yang cukup (dua alat bukti) sehingga yang bersangkutan dijadikan tersangka.

 Langkah cepat KPK patut diapresiasi, meski masih bisa diperdebatkan soal prosedur penjemputan dengan surat panggilan yang tidak didahului pemanggilan pertama, tetapi langsung dijemput yang biasanya dilakukan jika yang dipanggil tidak hadir selama dua kali panggilan tanpa alasan yang dibenarkan undang-undang. Itu sebabnya penasihat hukum Luthfi menuding KPK pilih kasih, karena ada elite politik lain yang sampai kini belum dijemput. 

Tertangkap Tangan 

Boleh jadi KPK berpikiran, tindakan cepat dilakukan lantaran terkait dengan tertangkap tangan. Ada empat kriteria tertangkap tangan (Pasal 1 butir-14 KUHAP). Pertama, dilakukan pada saat sedang melakukan tindak pidana. Kedua, pelaku ditemukan segera setelah beberapa saat tindak pidana dilakukan. Ketiga, pelaku ditemukan sesaat kemudian karena diserukan oleh khalayak ramai bahwa dialah pelakunya. Keempat, ditemukan sesaat kemudian benda yang digunakan melakukan atau hasil dari tindak pidana yang dilakukannya. 

Keistimewaan tertangkap tangan menurut Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penangkapan dan penyitaan hasil kejahatan boleh dilakukan tanpa surat perintah penangkapan. Bahkan, bisa dilakukan oleh siapa saja yang melihatnya, tetapi setelah penangkapan harus segera menyerahkannya kepada penyidik, atau penyidik pembantu terdekat. 

Langkah cepat KPK tentu sudah dipertimbangkan matang, paling tidak agar alat bukti atau barang bukti terkait kasus tidak raib. KPK menjerat dua tersangka dengan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi, dan Pasal 13 UU Nomor 31/1999. 

Kedua pasal tersebut melarang bagi seseorang menjanjikan atau memberi sesuatu atau hadiah kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya yang diberi berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,...atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya. Sedangkan terhadap Luthfi dan Fathanah, KPK menerapkan Pasal 12 huruf a dan huruf b, Pasal 5 ayat (2), juncto Pasal 11 UU Nomor 20/2001.

Ketiga pasal ini pada intinya melarang pegawai negeri atau penyelenggara negara menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga pemberian itu untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya. Pasal ini selalu diterapkan KPK terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang diduga menerima suap. 

Resep Mujarab 

Langkah cepat KPK bisa dijadikan sebagai salah satu resep mujarab untuk mengurai kompleksitas meluasnya praktik korupsi di negeri ini.KPK ingin mencoba melepaskan diri dari kritikan bahwa pemberantasan korupsi tak lebih dari sekadar wacana lantaran banyaknya kasus korupsi yang tidak sampai ke ruang pengadilan. 

Resep lain yang berkembang di ruang publik, adalah pentingnya hukuman minimal lima tahun, hukuman mati, pembuktian terbalik, hingga pemiskinan koruptor. Jika aspirasi yang berkembang di masyarakat tidak disambut oleh pembuat undangundang dengan memperkuat pemberantasan korupsi, perang terhadap korupsi tidak akan pernah kita menangkan. Realitas yang terjadi, ibarat mati satu tumbuh seribu lantaran tidak memiliki efek penjeraan. 

Indikatornya dapat dilihat pada catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pada semester pertama 2012, terjadi 285 kasus korupsi dengan 597 tersangka dan kerugian Rp1,22 triliun. Jumlah itu meningkat pada semester berikutnya sebesar 436 kasus, dengan rincian 1.053 tersangka dan kerugian Rp2,1 triliun. Mustahil peningkatan kasus korupsi bisa dituntaskan jika tidak ada resep mujarab, apalagi jika penegakan hukum berorientasi pada kekuasaan dan jauh dari substansi keadilan. 

Dapat dilihat pada wacana yang justru dikembangkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidato memperingati Hari Antikorupsi dan HAM sedunia di Istana Negara akhir tahun lalu, bahwa pejabat yang terjerat korupsi karena ketidakpahaman bahwa yang dilakukannya korupsi, maka negara wajib memberikan perlindungan. Termasuk memberikan hak-hak istimewa saat proses hukum, seperti hukuman ringan dan saat menjalani hukuman diberi fasilitas ruang tahanan layaknya hotel berbintang, bahkan diberi remisi. 

Kondisi itu tidak akan membuat koruptor jera, malah calon koruptor yang antre di berbagai instansi tidak akan takut mewujudkan niatnya. Bagi anggota parlemen seharusnya jadi panutan selaku pembuat hukum dan pengawas pelaksanaan undang-undang. Para terdakwa korupsi harus dibebani membuktikan harta yang dimiliknya diperoleh secara halal, termasuk upaya pemiskinan koruptor. 

Tetapi resep mujarab ini terkesan pemanis dan retorika untuk sekadar menyenangkan hati. Penegak hukum tidak boleh hanya jadi terompet undang-undang, sebab ketentuan dalam undang-undang punya semangat dan nilai-nilai substansial yang harus digerakkan. 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar