Kamis, 07 Februari 2013

Korupsi dan Beban Teologis


Korupsi dan Beban Teologis
Gunarto  ;   Guru Besar Program Doktor Ilmu Hukum Fakultas Hukum,
Wakil Rektor II Unissula Semarang
SUARA MERDEKA, 05 Februari 2013


BERITA keterlibatan Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Luthfi Hasan Ishaaq dalam suap impor daging sapi mengguncang jagat politik Tanah Air. Partai berslogan bersih dan jujur serta menerapkan prinsip dakwah itu seakan-akan tak kuasa lagi membendung kemerebakan korupsi. Kasus ini seperti menjadi penegas bahwa hampir semua partai tidak memiliki imunitas dalam membentengi diri dari jerat korupsi.
Bagi partai dakwah itu, kasus suap impor daging sapi itu melengkapi cerita buruk yang juga melibatkan kader partai tersebut, setelah sebelumnya Misbakhun terjerat kasus LC fiktif senilai Rp 200 miliar dan Arifianto yang terekam kamera wartawan lagi menikmati video porno saat persidangan di gedung DPR.

Secara arkeologis, PKS merupakan partai baru yang lahir setelah reformasi. Partai itu dibidani kekuatan intelektual berbasis kampus dengan menempatkan ideologi Islam sebagai asas. Kekuatan ini berpadu dengan kelompok pembaharuan Islam lain yang cenderung puritan. Basisnya adalah masyarakat perkotaan rasional dan kelompok mahasiswa yang ingin menempatkan ideologi Islam sebagai basis politik demokrasi. Karena itu, keberadaan mereka seringkali dikaitkan dengan kekuatan Islam internasional, seperti Ikhwanul Muslimin.

Pada Pemilu 2009, pemilu pertama setelah reformasi, partai itu kurang mendapatkan respons dari pasar politik sehingga tak lolos electoral threshold waktu itu. Tetapi dengan semangat dakwah dan pembangunan basis kaderisasi yang kuat, partai itu berkembang menjadi kekuatan politik yang cukup seksi; partai tengah yang sering menjadi rebutan koalisi.

Nilai Primordial

Keberadaan PKS punya makna yang besar dalam dua konteks. Pertama; penegasan mereka sebagai partai bersih dan jujur seakan menemukan konteksnya di tengah kesuburan korupsi di ladang birokrasi, yudikatif, dan partai politik. Seakan-akan oasis, menghadirkan perilaku yang menjanjikan. Mereka juga hadir di tengah masyarakat saat terjadi musibah sosial. Jadi, mereka memberi kesan bersih dan peduli terhadap persoalan sosial di tengah masyarakat.

Kedua; sebagai partai berbasis Islam, PKS mampu menerjemahkan diri sebagai wahana tepercaya kelompok Islam modern di perkotaan dan kampus. Sebagaimana dilontarkan oleh intelektual Islam Hassan Hanafi dari Maroko, di tengah hantaman modernisme yang begitu kuat, kecenderungan masyarakat untuk kembali pada nilai-nilai primordial juga makin kuat.

Memang ada partai lain bernuansa Islam seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tetapi mereka dipandang tidak memberi ekspektasi menjanjikan. Generasi muslim baru di perkotaan ini lebih bercorak rasional, fundamental, dan progresif karena mereka tumbuh dalam kultur modernitas kota-kota baru di Indonesia.

Jadi, saat ini eksistensi mereka telah memiliki segmentasi politik yang jelas yang berbasis pada kekuatan islam perkotaan itu. Hanya, ketika telah menjadi sebuah partai yang mapan, mereka dihadapkan pada berbagai persoalan internal layaknya partai pada umumnya, mengelola pembiayaan, tuntutan perbesaran konstituen, dan pembinaan internal agar kualitas kader benar-benar bisa menjaga citra sebagai partai dakwah. 

Dalam kompleksitas persoalan ini, kemunculan kasus Misbakhun, Arifinto, dan kasus suap impor daging yang Luthfi Hasan Ishaaq merupakan ujian terhadap eksistensi mereka sendiri.

Beban Teologis

Sebagai partai politik, sebagaimana ditegaskan oleh Robert Klipgaard bahwa korupsi terjadi jika seseorang sudah memonopoli kekuasaan, punya kemerdekaan untuk bertindak, namun tidak disertai oleh pertanggungjawaban sebagaimana mestinya. Penegasan Klipgaard ini seakan memberi sinyal bahwa korupsi bisa terjadi pada orang atau partai apa saja, termasuk partai yang selama ini menegaskan diri bersih dan jujur sekalipun.  

Karena korupsi menjadi sebuah ancaman kekuasaan, jika PKS ingin konsisten dengan label partai dakwah maka harus mampu membuat garis demarkasi tegas antara keberadaan partai politik dan partai dakwah. 

Bila ini  tidak bisa dilakukan maka ia akan kehilangan genuisitas diri yang melekat dengan karakteristik dakwah. Padahal kekuatannya justru terletak di situ. Jika PKS tidak ingin kehilangan basis konstituen dan tetap memberikan ekspektasi luas dalam kontribusinya kepada bangsa dan negara dalam membentuk penyelenggaraan pemerintahan yang bersih, setidak-tidaknya ada empat jalan keluar yang harus dilakukan.  

Pertama; PKS harus melakukan pembersihan internal dari kader-kadernya yang tergoda hedonisme dan kesenangan materi. Pembersihan sebagai wujud konkret dari partai bersih yang selama ini menjadi brand image.

Kedua; harus melakukan konsolidasi internal untuk melawan konspirasi kaum fobia Islam. Kelompok fobia Islam akan menerapkan segala cara untuk melemahkan basis fundamental PKS semisal meruntuhkan citra bersihnya.

Sebab, konsolidasi internal yang baik, akan disertai dengan konsolidasi eksternal untuk mempertahankan marwah dan wibawa partai di depan masyarakat umum untuk mengembalikan citra yang ternoda.

Ketiga; PKS harus bisa menjadikan momentum kasus yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq itu sebagai kesempatan untuk lompatan politik sehingga makin menguatkan basis fundamental. Jika partai bisa mengelola dengan baik momentum itu justru bisa makin menambah kekuatan partai pada masa mendatang.

Keempat; terkait dengan kultur masyarakat Indonesia yang pragmatis, perlu pendidikan politik supaya publik bisa melihat lebih jernih fenomena korupsi yang melibatkan Presiden PKS  sehingga masyarakat bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi dengan melihat latar belakang dan kepentingan politik yang mengitarinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar