Sabtu, 16 Februari 2013

Kontroversi Kurikulum 2013


Kontroversi Kurikulum 2013
Arbai  Pendidik, Mahasiswa Penerima Beasiswa S2 Kemendiknas di MM UGM, Program Manajemen Kepengawasan Kependidikan
SUARA KARYA, 15 Februari 2013


Perubahan kurikulum pada 2013 ini sedikit banyak membawa "kegalauan" bagi sebagian masyarakat dan pendidik. Adanya pro dan kontra dalam menyikapi perubahan kurikulum ini merupakan cerminan dari dinamika pikiran masyarakat yang jamak. Pun demikian tampaknya Kemendikbud mempunyai keputusan final bahwa Kurikulum 2013 tetap dilaksanakan pada awal Tahun Ajaran Baru 2013/2014. Alasannya, yang paling santer kita dengar adalah karena tuntutan zaman.

Sejak Indonesia merdeka, sudah 10 kali perubahan kurikulum dilakukan oleh Kemendikbud, sejak Rencana Pembelajaran tahun 1947 hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan tahun 2006. Apabila jadi dilaksanakan, Kurikulum 2013 adalah yang ke-11 kalinya. Apabila kita rata-ratakan maka setiap 6 atau 7 tahun terjadi pergantian kurikulum. Mungkin ini hanya terjadi di Indonesia saja.

Memasuki era reformasi - yang melahirkan kebebasan luar biasa -, euforia pada pengelolaan pendidikan pun tak tertahankan. Sehingga, lahirlah dua buah kurikulum, tahun 2004 dan tahun 2006. Pada masa ini, arah tujuan kurikulum kurang jelas, karena semua dianggap penting sebagaimana kita lihat begitu banyaknya mata pelajaran yang dibebankan kepada anak.

Tidak mengherankan, tas anak-anak sekolah penuh dengan buku-buku. Syarat beban, begitulah tepatnya.

Disebutkan dalam Kurikulum 2013 ini bahwa sistem penilaian akan menekankan pada proses belajar anak. Pun demikian tidak pada sistem ujian nasional (UN). Ada sesuatu yang aneh bin ajaib, kurikulum berubah. UN masih tetap dijadikan "dewa" oleh Kemendikbud. Oleh karenanya, tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa kurikulum sebelumnya dan yang akan datang sebetulnya masih memiliki nafas yang sama, adanya ujian yang terstandarisasi, yaitu UN.

Kebijakan masih mempertahankan angka-angka dalam menentukan kelulusan seorang anak adalah parameter semu untuk mengukur keberhasilan seorang anak. Nyatanya, anak-anak yang memiliki nilai ujian nasional belum tentu mampu masuk dan menembus perguruan tinggi. Kenyataan pahit lainnya yang harus kita terima adalah anak-anak kita masih memiliki kompotensi rendah bila dibandingkan negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia.

Kontroversi selanjutnya adalah penghapusan pelajaran TIK (teknologi komputer) untuk tingkat SMP, dengan alasan TIK diintegrasikan pada seluruh mata pelajaran. Asumsi dasar bahwa para guru di lapangan sudah menguasai kemampuan TIk semua, hal ini sedikit keliru. Sebagaimana tes Ujian Kompetensi Guru (UKG) online yang baru-baru ini dilaksanakan menunjukan bahwa tidak semua guru melek TI (teknologi informasi). Keluhan dalam UKG yang paling banyak kita dengar adalah guru masih tidak paham menggunakan teknologi alias gaptek (gagap teknologi). Tapi, mengapa ini diabaikan begitu saja?

Lalu, kontroversi lainnya terkait pengabaian pelajaran Bahasa Inggris pada anak SD. Ini terasa asing dan bertolak belakang dengan tuntutan masa depan. Padahal, era persaingan ke depan semakin ketat, membutuhkan anak yang mampu menguasai bahasa asing.

Kalaupun Bahasa Inggris dikhawatirkan akan menyebabkan berkurangnya kecintaan anak terhadap bahasa ibunya ataupun Bahasa Indonesia, tentunya harus disertai dengan alasan yang ilmiah dan didasarkan pada hasil penelitian. Kita tidak boleh bertindak berdasarkan suatu asumsi.

Banyak hal yang harus dicermati dalam kurikulum baru ini. Salah satunya masalah UN. Sudah seharusnya pendidikan yang terjebak kepada angka-angka tidak lagi dipertahankan. UN tidak mengarahkan anak untuk menjadi seorang pemikir. Anak-anak dibiasakan dengan soal pilihan yang jawabannya sudah tersedia. Soal seperti itu membatasi anak untuk bebas dalam menuangkan apa yang ada dalam pikirannya. 

Sehingga, anak-anak menjadi kaku, ujung-ujungnya berimbas terhadap rendahnya daya nalar mereka dan kemampuan berpikir analitisnya. Mengapa kita tidak mencoba menekankan pada pembelajaran yang memfokuskan kemampuan anak untuk berpikir tingkat tinggi dan kasmaran terhadap pengetahuan? (Baca: Kasmaran Berilmu Pengetahuan)

UN boleh saja dilaksanakan, namun bukan jadi patokan satu-satunya dalam menentukan kelulusan anak. Hanya untuk mengukur secara nasional kemampuan semua peserta didik pada tiap-tiap jenjangnya, sehingga pemerintah dapat melihat peta kemampuan lulusan di berbagai daerah, dapat mengetahui kekurangan maupun kelebihan, dan kesenjangan lain yang mungkin masih bisa terlihat dari hasil yang didapatkan dari kegiatan ini. Kemudian, hasilnya digunakan untuk membenahi segala kekurangan atau kesenjangan yang ada agar setiap daerah bisa memiliki delapan standar nasional pendidikan yang sama.

Kompotensi guru tidak boleh diabaikan. Tak dapat dipungkuri, hasil UKA dan UKG baru-baru ini menunjukkan bahwa guru-guru kita masih rendah pada kompotensi pedagogis dan profesionalnya. Hal ini tidak boleh luput dari perhatian. Dalam kurikulum baru, guru masih tetap tokoh utama yang akan memainkan perannya di lapangan. Oleh karena itu, perbaikan kemampuan guru harus seiring sejalan dengan perubahan kurikulum.

Akhirnya marilah kita kembalikan pendidikan kepada makna sebenarnya. Seperti apa yang dikatakan oleh Paulo Freire yang menekankan bahwa pendidikan seharusnya merupakan a practice of freedom atau praktik pembebasan, di mana secara sederhana dapat diartikan bahwa pendidikan dapat memberikan nilai-nilai yang membebaskan manusia dari belenggu ketidakadilan. Atau dengan kata lain pendidikan tidak harus mengungkung anak dengan suatu sistem yang baku. Anak harus diberikan "kebebasan" untuk menggali potensi dirinya. Harapannya perubahan kurikulum kali ini benar-benar bermakna dan membawa perubahan pada wajah pendidikan Indonesia. Semoga. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar