“Buruk muka cermin dibelah”. Itulah kata-kata yang kiranya pas
untuk para elite politik Partai Keadilan Sejahtera atau PKS.
Bukannya melakukan
introspeksi, bertobat, meminta maaf kepada konstituen PKS, dan mengambil
hikmah dari kasus yang mendera mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq
(LHI), malah sebaliknya mengambinghitamkan pihak lain.
Itulah reaksi awal yang
diperlihatkan oleh elite PKS atas kasus yang melilit mereka. Ibarat muka
PKS yang rusak, malah cermin yang dibanting-banting. Presiden PKS yang
baru, Bung Anis Matta, dengan lantang dan berapi-api berpidato menuding
adanya konspirasi besar di balik penangkapan LHI oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) dalam kasus suap daging sapi impor untuk menjatuhkan harkat
dan martabat, serta citra dan wibawa PKS.
Anis membakar semangat
para kader PKS untuk ofensif terhadap pihak-pihak yang berkonspirasi
menjatuhkan PKS. Bahkan kaum zionis dan Amerika juga diseret-seret oleh
elite PKS sebagai pihak-pihak yang, mereka duga, terlibat dalam konspirasi
besar menjatuhkan PKS. Ini lantaran beberapa hari sebelum terjadi
penangkapan LHI, ada pertemuan antara Duta Besar Amerika untuk Indonesia
Scot Marciel dengan pemimpin KPK untuk membahas strategi pemberantasan
korupsi.
Ketua Fraksi PKS Hidayat
Nur Wahid pun menduga mungkin ada konspirasi kelompok zionis yang ingin
menjatuhkan PKS. Reaksi PKS seperti itu bisa saja ditafsirkan sebagai
konspirasi antara KPK dengan zionis dan Amerika untuk menjatuhkan PKS.
Coba bayangkan betapa
PKS menganggap dirinya begitu bersih dan hebat sehingga sampai-sampai dia
berpikir dibutuhkan konspirasi tingkat tinggi yang melibatkan zionis dan
Amerika untuk bisa menjatuhkan PKS dalam rangka pertarungan politik pada
pemilu 2014.
“Disapikambinghitamkan”
Selama ini, publik
disuguhi kesan bahwa PKS selalu tampil sebagai partai dakwah yang paling
agamais, paling kenal Tuhan, paling bermoral, dan bersih dari dosa-dosa
korupsi. Publik dibikin berdecak kagum manakala menyaksikan PKS mengerahkan
puluhan ribu massanya membuat jalan-jalan protokol di Jakarta menjadi putih
laksana ditaburi kapas, ketika massa PKS mendemo kaum zionis dan Yahudi
saat terjadi konflik antara Palestina dan Israel.
Memang ada sebagian
kalangan muslim menganggap zionis, Israel, dan Yahudi sebagai makhluk kafir
dan golongan thagut yang diharamkan hidup di muka bumi ini. Mereka
seakan-akan tahu persis bahwa Tuhan hanya mengizinkan mereka untuk hidup di
dunia, sedangkan yang lain tidak.
Maka, saya tidak merasa
heran dan terkejut ketika mendengar para elite PKS menyeret-nyeret zionis
ke dalam pusaran kasus mereka.
Sebagai makhluk yang
dianggap haram hidup di muka bumi ini, golongan zionis memang sangat empuk,
seempuk daging sapi, untuk “disapikambinghitamkan” sebagai penyebab segala
ketidakberesan di Indonesia dan bahkan di dunia, sebagaimana dapat kita
baca dalam buku-buku yang ditulis dengan nada sangat antizionis,
anti-Israel, dan anti-Yahudi.
Seolah-olah segala
ketidakberesan di muka bumi ini disebabkan semata-mata oleh zionis,
sementara Islam, Kristen, dan kaum beragama lainnya putih seperti malaikat,
tidak pernah mengenal apalagi berbuat dosa dan kesalahan sepanjang sejarah
dunia ini.
Menurut saya, terlalu
naif, konyol, dan merupakan suatu logika yang jongkok kalau menyimpulkan
ada konspirasi kelompok zionis untuk menjatuhkan PKS hanya berdasarkan
fakta pertemuan antara KPK dan Dubes Amerika untuk Indonesia Scot Marciel.
Padahal dari berita media massa tentang pertemuan itu, tidak tersurat
ataupun tersirat kesimpulan untuk menjatuhkan PKS dengan menciduk LHI dalam
kasus suap daging sapi impor.
Apalagi kasus, yang oleh
majalah Tempo, disebut “daging sapi berjanggut” ini bukan kasus yang
ujuk-ujuk, melainkan kasus lama yang sudah dibongkar oleh Tempo (misalnya
Juni 2011).
Dalam proses pantauan,
penyelidikan, dan penyidikan oleh KPK akhirnya ditemukan dua alat bukti
yang cukup untuk menahan mantan Presiden PKS dalam kasus “daging sapi
berjanggut” itu. Jadi, tidak ada urusannya dengan kaum zionis. Masa oknum
PKS yang korup, kok zionis atau Amerika yang “dikambingsapihitamkan”? Ini
tidak fair, naif, dan logika yang jongkok.
Malah PKS harus malu
karena dengan klaim sebagai partai dakwah yang bersih dan putih, dia
ternyata gagal membersihkan dirinya sendiri dari dosa-dosa korupsi. Membaca
laporan investigasi Tempo, kita jadi paham betapa jelas intervensi
tokoh-tokoh pentolan PKS dalam penentuan kuota impor daging sapi. Bahkan
bukan hanya PKS yang gagal dalam hal dakwah. Lebih jauh, maraknya korupsi
di Indonesia merupakan butki kegagalan dakwah oleh para elite dari semua
agama di Indonesia terhadap umatnya, termasuk umat yang politikus dan
birokrat.
Indonesia adalah bangsa
yang dengan angkuh membanggakan diri sebagai bangsa paling beragama di
dunia ini, tetapi hak-hak Tuhan pun dikorupsi oleh politikus maupun pejabat
birokrat (dalam kasus haji dan Alquran di Kementerian Agama). Juga, dalam
Sepuluh Perintah Tuhan (ajaran Kristen), jelas Tuhan melarang mencuri,
tetapi ada politikus dan birokrat Kristen dengan tanpa malu-malu dan takut
kepada Tuhan kemudian mencuri uang yang menjadi hak rakyat.
Hasil curian para
politikus yang agamais itu kemudian didermakan dan atau diamalkan kembali
kepada rakyat pada waktu reses ataupun kampanye pemilu, supaya politikus
bandit dan politikus busuk itu dipilih lagi dalam pemilu berikutnya.
Pilar Korupsi
Berbagai kasus koruspi
yang melibatkan para politikus di PKS, Partai Demokrat, Partai Golkar, PDI
Perjuangan, PPP, PAN, dan PKB, baik yang sudah divonis maupun yang masih
dalam proses pantauan, penyelidikan, penyidikan, dan persidangan tampaknya
telah menjungkirbalikkan teori tentang partai politik sebagai pilar
demokrasi.
Selama 15 tahun
reformasi, partai-partai politik di Indonesia sudah berubah menjadi pilar
korupsi. Inilah “prestasi” paling signifikan dari reformasi politik, yang
dibangga-banggakan oleh para politikus di Senayan.
Mereka telah merusak
tatanan demokrasi Pancasila yang tidak mengenal partai politik sebagai
pilar korupsi. Ini sama dengan pengkhianatan nyata oleh rezim reformasi
terhadap Pancasila yang merupakan dasar negara, tetapi telah diubah menjadi
pilar bangsa, yang kini sudah menjadi “proyek” MPR. Mudah-mudahan dalam
pelaksanaan proyek itu tidak ada godaan untuk melakukan korupsi.
Coba Anda bayangkan, apa
jadinya Republik ini ke depan kalau partai-partai yang sudah menjadi pilar
korupsi itu kembali berkuasa setelah Pemilu 2014? Apa pula jadinya kalau
pemilu presiden 2014 akan menghasilkan seorang presiden yang bersemboyan,
misalnya, “Katakan tidak kepada Korupsi”, tetapi lemah dalam praktik hukum
pemberantasan korupsi sehingga yang terjadi adalah “Lanjutkan Korupsi!?”
Saya tidak bisa membayangkan Republik ini akan selamat, kalau ditopang oleh
partai-partai politik sebagai pilar korupsi. So pasti pilar itu akan
keropos dan cepat atau lambat Republik ini akan runtuh.
Lantas apa solusinya?
Sebagai rakyat jelata, saya serahkan kepada sesama rakyat, sang pemilik
kedaulatan pada pemilu 2014 untuk dengan bebas menggunakan hak politiknya.
Saya juga tidak menganjurkan orang untuk golput.
Terserah padamu, mau
pilih partai yang menjadi pilar korupsi atau apa. Yang jelas, hasil yang
akan kita dapat hanyalah partai dan pemimpin yang minus malu. Mau tidak
mau, ya terima saja dengan segala konsekuensinya yang akan terjadi, karena
bagaimanapun negara ini harus tetap jalan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar