Kamis, 07 Februari 2013

Keterwakilan Perempuan


Keterwakilan Perempuan
Dwi Windyastuti  ;   Doktor Ilmu Politik
dan Pengajar Program Magister Ilmu Politik FISIP Unair
KOMPAS, 07 Februari 2013


Perdebatan keterwakilan perempuan pada Pemilu 2014 kembali mencuat ketika Komisi Pemilihan Umum menegaskan, jika keterwakilan perempuan tidak tercapai dalam satu daerah pemilihan, parpol peserta pemilu tidak dapat mengajukan calon pada dapil tersebut (Kompas, 19/1).
Keberatan muncul dari kalangan elite parpol dengan berbagai alasan. Pertama, syarat kuota hanya diberlakukan di tingkat pusat. Kedua, hal itu mendorong kronisme politik. Ketiga, di tingkat lokal, kultur dan tradisi tidak memberikan keleluasaan tampilnya perempuan dalam politik.
Keberatan keterwakilan perempuan dalam pemilu pantas diperdebatkan dalam beberapa aspek. Pertama, sejauh mana pemahaman dan komitmen parpol terhadap kebijakan afirmasi. Kedua, sejauh mana kaderisasi berjalan di parpol sebagai salah satu fungsinya. Ketiga, sejauh mana kronisme politik dalam rekrutmen calon.
Langkah Afirmatif
Tampaknya pemahaman elite partai terhadap kebijakan afirmasi belum menyentuh tataran kesadaran pentingnya keterwakilan perempuan. Elite partai—yang notabene mayoritas laki-laki—melihat keterwakilan perempuan dalam konsepsi zero-sum game. Kehadiran perempuan dalam kontestasi politik akan mengurangi peluang dan kesempatan politiknya dalam pencarian kekuasaan. Kebijakan afirmasi adalah kebijakan diskriminasi positif yang diambil untuk meningkatkan representasi perempuan sebagai kelompok minoritas di area politik karena di sepanjang sejarahnya, perempuan terabaikan di area ini. Pengabaian politik pada kelompok minoritas adalah buruk dalam perspektif komitmen demokrasi.
UU Pemilu menetapkan kuota dengan metode zyper, yakni sekurang-kurangnya satu perempuan dalam tiga calon. Metode ini masih relevan dan diperlukan ketika masyarakat belum sepenuhnya sadar jender. Konstituen pemilu lebih mencari kemudahan dalam pencontrengan dengan mencari nomor urut sehingga keharusan setiap daerah pemilihan menempatkan perempuan dengan metode zyper setidaknya merealisasi kebijakan afirmasi.
Salah satu fungsi partai adalah melakukan kaderisasi anggota, khususnya menyediakan kandidat baik laki-laki maupun perempuan untuk dinominasikan dalam pemilu. Namun, keterbatasan ketersediaan perempuan kader tak berdasar dengan beberapa alasan. Pertama, tak terpenuhinya penyiapan infrastruktur partai sehingga muncul problem keterbatasan perempuan kader. Terpeliharanya tradisi politik yang malestream (berpusat pada arus laki-laki) menghasilkan sedikit perempuan yang direkrut sebagai kader partai. Kedua, rendahnya bangunan jejaring antara organisasi sayap dan parpol. Sangatlah mudah mencari kader bagi partai yang punya basis pemilih NU atau Muhammadiyah ketika partai berjejaring dengan organisasi sayap perempuan seperti Fatayat, Muslimat, dan Aisyiah. Begitu pula partai-partai nasionalis yang di dalamnya memiliki organisasi sayap atau divisi perempuan tidak akan sulit mencari perempuan kandidat.
Ketiga, kelambanan partai mengadopsi kebijakan afirmasi—sudah diberlakukan di dua periode pemilu sebelumnya—sebagai peluang memasukkan perempuan sebagai kader yang siap dalam kontestasi di pemilu. Keempat, kukuhnya budaya patriarki dalam kaderisasi politik. Faktor budaya patriarki menjadi dasar resistensi terhadap inklusi perempuan. Pengalaman politik selalu ditekankan pada calon perempuan, yang belum tentu juga diberlakukan kepada calon laki-laki. Pada satu sisi, minimalnya pengalaman politik perempuan tak disebabkan faktor individual, tetapi sangat ditentukan struktur peluang politiknya. Tuntutan kualifikasi pengalaman politik dalam penominasian perempuan menjadi persyaratan utama. Bagaimana perempuan mendapat pengalaman politik ketika perempuan dihadapkan pada pilihan dikotomis, mengutamakan peran domestik atau peran publik.
Oleh karena rendahnya dukungan keluarga untuk memfasilitasi perempuan menjadi politisi, perempuan cenderung lebih memilih pada kategori peran privat daripada publik. Pilihan itu berimplikasi pada rendahnya pengalaman politik yang kemudian menjadi amunisi bagi parpol untuk pencalonan perempuan. Keterwakilan perempuan ditengarai elite partai sebagai cara baru membangun kronisme politik. Lagi-lagi kehadiran perempuan dalam kandidasi disasar sebagai salah satu pemapanan kronisme politik. Ada beberapa sebab berkembangnya kronisme politik dalam penominasian calon. Pertama, dalam sistem politik patrimonial, penominasian calon ditentukan bos partai. Hegemoni kekuasaan oleh bos partai menjadikan kedekatan, kekeluargaan, dan patronase lebih mengemuka ketimbang pengalaman, kemampuan, dan loyalitas.
Kedua, melanggengkan kekuasaan bos partai melalui hubungan kekeluargaan sehingga rekrutmen terbatas pada ikatan kekerabatan (adik, kakak, suami, istri, atau keponakan). Akan sulit direkrut dalam pencalonan mereka yang tak punya hubungan kekeluargaan. Parpol ibarat glass ceiling bagi perempuan karena sulit menembus dinding maskulinitas lembaga politik dan kultur patriarki. Pada akhirnya, perempuan masuk ke dalam jebakan konstruksi partai, yaitu mengadopsi kebiasaan sosial dari partai dengan menjalin kronisme politik. Konstruksi ini dimanipulasi sedemikian rupa menjadi keberatan terhadap inklusi perempuan dalam politik.
Keberlangsungan Keterwakilan
Keberlangsungan keterwakilan perempuan bisa dijamin dengan beberapa persyaratan penting. Pertama, aspek individual perempuan untuk merealisasi keterwakilan perempuan. Keinginan perempuan ikut seleksi hanya bisa direalisasikan ketika perempuan mampu mengubah ambisi nascent menjadi ambisi progresif. Artinya, perempuan mulai asertif terhadap kekuasaan dengan cara masuk ke politik formal seperti di parpol dan legislatif. Perempuan yang memasuki dunia politik akan punya pengalaman politik sehingga kualifikasi kelayakan dan kepantasan politik tak menjadi instrumen untuk menjauhkan perempuan dari area politik.
Kedua, aspek institusional, yakni lembaga politik dan pelaksana kebijakan tetap berkomitmen untuk tak resistan dengan hadirnya perempuan di area politik. Keterwakilan perempuan bukan persoalan berebut atau distribusi kekuasaan, tetapi memberikan ruang pengakuan ada jenis kelamin lain yang juga memiliki suara, kepentingan, dan gagasan yang perlu direpresentasi. Jadi, kemauan politik elite parpol dan mereka yang berada di lembaga politik dan pemerintah untuk memperkenalkan dan memaksa sistem kuota merupakan sebuah kebijakan afirmatif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar