Kamis, 21 Februari 2013

Kesalahpahaman Multikulturalisme


Kesalahpahaman Multikulturalisme
Zuly Qodir Sosiolog Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
KOMPAS, 21 Februari 2013


Tahun 2013 menjadi harapan banyak pihak sebelum memasuki masa pesta politik tahun 2014 yang sering ingar-bingar dan gaduh. Salah satu harapan tersebut adalah kehidupan kebebasan beragama dan kaum minoritas menjadi lebih terjamin. Tindakan diskriminatif tidak terulang kembali. Penyelesaian konflik keagamaan bisa berjalan dengan baik dan maksimal.

Multikulturalisme merupakan istilah yang paling merepresentasikan gambaran tentang Indonesia. Tidak ada ungkapan yang paling tepat memberi deskripsi tentang kondisi realitas Indonesia selain dengan menyebutkannya sebagai negara yang plural dalam makna sesungguhnya. Karena itu, meminjam ungkapan penulis seperti Farid Esack, Abdul Aziz Sachedina, dan Syed Hasyim Ali, multikulturalisme merupakan hal yang telah ditunjukkan oleh Islam sejak awal tak bisa ditolak keberadaannya.

Perhatikan pernyataan Farid Esack (1997), ”Multikulturalisme merupakan kondisi seseorang yang dapat menerima (penerimaan) dan mengakui (pengakuan) tentang keberlainan dan keragaman. Multikulturalisme melampaui toleransi atas keberlainan sebab multikulturalisme hadir di dalam diri yang tulus dan dalam tindakan terhadap pihak lain yang berlainan.”

Demikian pula pernyataan Syed Hasyim Ali (1999), ”Multikulturalisme adalah kondisi masyarakat di mana kelompok kebudayaan, keagamaan, dan etnis hidup berdampingan dalam sebuah bangsa (negara). Multikulturalisme juga berarti bahwa realitas itu terdiri dari banyak substansi yang mendasar. Multi- kulturalisme juga merupakan keyakinan bahwa tidak ada sistem penjelas (pemahaman) tunggal atau pandangan tentang realitas yang dapat menjelaskan seluruh realitas kehidupan.”

Perhatikan pula pernyataan Abdul Aziz Sachedina (2001), ”Pluralisme merupakan istilah atau kata ringkas untuk menyebutkan suatu tatanan dunia baru di mana perbedaan budaya, sistem kepercayaan, dan nilai-nilai membangkitkan kegairahan pelbagai ungkapan manusia yang tak kunjung habis sekaligus mengilhami pemecahan konflik yang tak kunjung terdamaikan.”

Dapat kiranya dikatakan, multikulturalisme hendaknya bagian dari kehidupan kita yang berada dalam sebuah wilayah negara di muka bumi. Keberadaan multikulturalisme yang selama ini dikesankan perusak dan pembuat keroposnya keyakinan seseorang ataupun masyarakat dalam beriman merupakan pendapat yang tidak bisa dibenarkan dan tidak berdasar sama sekali. Soalnya, yang dimuat dalam multikulturalisme adalah penguatan keimanan seseorang dan masyarakat tentang agamanya, bukan pendangkalan apalagi peleburan keimanan masyarakat.

Harus Ditekankan

Penjelasan seperti itu harus ditekankan sebab selama ini sering terdengar, multikulturalisme merupakan paham yang membuat masyarakat rapuh dan lenyap keimanannya terhadap agama dan keyakinan yang selama ini menjadi keyakinannya.
Padahal, multikulturalisme merupakan paham yang memperkuat keimanan seseorang berdasarkan keunikan dan karakteristik keyakinan yang dianutnya selama ini. Hanya seseorang berkewajiban menghormati, menghargai, dan mengafirmasi adanya keragaman dan menjaga agar heterogenitas tetap terjaga dan berlangsung dalam sebuah bangsa dan masyarakat. Tidak boleh terdapat kelompok yang berkeinginan menghapus adanya heterogenitas yang menjadi kehendak Tuhan.

Itulah ciri khas multikulturalisme yang sering kali dipahami secara salah: multikulturalisme seakan-akan hendak menyamakan semua agama dan mengajak masyarakat berpindah agama atau memperlemah keimanan karena banyaknya keyakinan dalam masyarakat. Pendapat semacam ini mendasarkan pandangan tiga cendekiawan Muslim di atas jelas tidak bisa dibenarkan. Jelaslah pandangan yang salah kaprah, pandangan yang tidak berdasar argumen yang memadai dengan mengatakan multikulturalisme merupakan pandangan menyamakan semua agama dan mengajak orang menjadi lemah iman!

Sebagai negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (88,7 persen, BPS 2010), Indonesia dengan penduduk Muslim terbesar di muka bumi akan memberi pelajaran yang sangat bermanfaat ketika kita mampu mengembangkan pandangan bahwa keragaman dalam hal agama dan kultur mampu hidup berdampingan secara damai, aman, dan saling bekerja sama di antara yang beragam tersebut. Kita, dengan demikian, harus bersedia mengembangkan perspektif keagamaan yang menempatkan bahwa keragaman agama dan kultur merupakan kehendak Tuhan dan kemuliaan umat beragama yang beragam.

Karena itu, perspektif keagamaan kita harus mengarah pada perspektif positif tentang keragaman dan perbedaan, bukan perspektif negatif tentang keragaman (pluralisme dan multikulturalisme). Perspektif positif agama dan kultur akan membawa kita pada keberagamaan yang tulus, bukan keberagamaan yang culas, penuh curiga, prasangka buruk, dan enggan menghargai adanya heterogenitas yang merupakan kehendak Tuhan di Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar