Rabu, 13 Februari 2013

Kesaktian Pakta Integritas


Kesaktian Pakta Integritas
Ismatillah A Nu’ad ;   Peneliti dari Pusat Studi Islam dan Kenegaraan
Universitas Paramadina Jakarta
SUARA MERDEKA, 12 Februari 2013


SEBANYAK 33 ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Demokrat se-Indonesia menandatangi pakta integritas yang disodorkan oleh majelis tinggi partai itu. Dokumen itu  yang digagas oleh ketua majelis tinggi, yang tak lain Susilo Bambang Yudhoyono, dimaksudkan guna menyelamatkan partai supaya lebih banyak berkhidmat pada pembangunan negara ketimbang makin terjerumus dalam berbagai konflik dan persoalan internal.

Banyak pengamat menyebut sebenarnya secara tidak langsung SBY sedang melucuti wewenang Ketua Umum DPP Partai Demokrat Anas Urbaningrum, yang tampaknya akan dijadikan tersangka oleh KPK terkait kasus Hambalang. Pakta integritas menegaskan siapa pun elite partai yang menjadi tersangka maka ia harus mundur dari partai supaya lebih fokus menghadapi persoalan yang diha­dapi.

Tapi ada akibat lain, yakni kisruh dalam tubuh Demokrat makin melebar. Ketua umum partai seakan-akan dihadapkan secara kutub biner dengan ketua majelis tinggi. Bahkan sebelumnya Anas diminta mundur secara legawa oleh beberapa elite internal. Pasalnya, selain Anas harus menyelesaikan kasus Hambalang, dalam sebuah survei, Demokrat dinyatakan mengalami penurunan elektabilitas secara signifikan.

Mula-mula, yang menyebabkan nasib Anas terasa di ujung tanduk adalah tuduhan Nazaruddin, yang makin dikuatkan dengan pengakuan Mindo Rosalina Manullang saat persidangan. Partai Demokrat diterpa badai politik bertubi-tubi akibat ìnyanyianî Nazaruddin, yang paling serius tentu saja soal dana haram yang mengalir saat kongres di Bandung, yang menempatkan Anas terpilih sebagai ketua umum menyingkirkan Andi Alifian Mallarangeng dan Marzuki Alie.

Bagi Nazaruddin, Anas ibarat musuh utama. Saat diwawancara salah satu televisi swasta, Nazaruddin mengatakan, ”Keluarga saya hancur. KPK boleh periksa adakah dana APBN barang sepeser pun masuk ke rekening pribadi saya. Ini semua atas perintah Anas, dia menang di kongres menggunakan dana APBN dari proyek Jakabaring (SEA Games XXVI Palembang dan Hambalang. Saya kecewa pada Anas, padahal saya dukung dia saat kongres”.

Pernyataan itu memantik Anas untu menanggapi, dan ia meyakini Nazaruddin ditunggangi seseoranguntuk mencemarkan dan menjelekkan nama baiknya. Pada kalangan pemerhati, apa yang disangkakan Nazaruddin bahwa tim sukses Anas menerapkan praktik politik uang saat kongres di Bandung bukan hal aneh. Justru saat Anas melakukan apologi defensif, bahwa haram baginya melakukan politik uang, menimbulkan dua pertanyaan.

Pertama; apakah Anas sedang berbohong. Kedua;  ataukah ia memang terlalu suci dalam arus kekuasaan politik sehingga keterpilihannya sebagai ketua umum memang melalui proses yang dia sebut dukungan arus bawah?

Kemungkinan keterpilihannya berkat dukungan arus bawah kemungkinan sulit bisa diterima logika. Di tengah perilaku politik bangsa ini yang sangat memprihatinkan, jangankan pemilihan ketua umum partai besar, untuk pemilihan pengurus DPD atau DPC saja, aroma politik uang itu sangat terasa. Siapa pun yang punya duit, dimungkinkan bisa berkuasa. Gerbong HMI

Karena itu, banyak pihak di Demokrat merasa bahwa isu yang terus menerpa Demokrat terkait apa yang terungkap dalam persidangan kasus hukum terhadap mantan Bendahara Umum DPP Muhammad Nazarudin cepat selesai. Mereka juga berharap hal itu bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap citra positif partai yang selama ini sudah terbangun dalam kesadaran publik.

Adapun kekhawatiran banyak pihak bahwa Anas akan melakukan langkah kuda-kuda seandainya akan "disingkirkan" memang menjadi poin penting. Mungkin saja Anas membawa gerbong alumni HMI untuk melakukan perlawanan politik pada SBY secara langsung dan melakukan upaya delegitimasi secara masif terhadap partai.

Kekhawatiran itu beralasan mengingat dalam internal kader Demokrat memang banyak bercokol alumni HMI sehingga tampaknya partai itu akan menghadapi kendala yang cukup pelik sean­dainya ingin menying­kirkan Anas.

Namun publik harus memercayai bahwa politik pun akan ditopang dengan sendi-sendi da-sar, seperti nilai kebenaran. Seandainya Anas terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah maka memang sudah sepatutnya harus tergeser secara otomatis. Apalagi jika Demokrat ingin kembali menarik simpati massa menjelang Pemilu 2014. Pembangunan kepercayaan harus dimulai dari sekarang.

Tak ada lagi gerbong-gerbong politik seperti HMI, yang mencoba membela kebatilan politik, jika Anas memang bersalah, karena publik atau siapa pun akan menghakiminya secara otomatis.

Kebatilan politik tak akan bisa bertahan meski ditopang sebuah kekuatan atau gerbong politik yang kokoh karena akan berhadapan langsung dengan publik. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar