Sabtu, 09 Februari 2013

Kemerekatan Solidaritas Bangsa


Kemerekatan Solidaritas Bangsa
Thio Hok Lay  ;   Guru SMA Kebon Dalem Semarang
SUARA MERDEKA, 09 Februari 2013


IMLEK merupakan saat yang tepat untuk menumbuhkan, mengembangkan, dan mengasah rasa kepekaan sekaligus kepedulian sosial (solidaritas) kita sebagai satu saudara, sebangsa dan setanah air. Di samping itu, relasi antarinsan pun bisa makin dipererat melalui masa perayaan Imlek. 

Namun tidak dapat disangkal bahwa masa perayaan Tahun Baru Imlek 2564 yang berpuncak pada Minggu, 10 Februari 2013, telah diawali dan diwarnai oleh banyak musibah, terutama  banjir. Melalui ragam media (baik elektronik maupun cetak) kita melihat, mendengar, dan membaca bahwa pada pengujung Januari lalu, banyak kota, bahkan Ibu Kota, lumpuh karena banjir. 

Di beberapa kota, proses belajar mengajar peserta didik terpaksa diliburkan karena lingkungan sekolah mereka kebanjiran. Fasilitas publik banyak yang rusak dan hancur. Tak terhitung lagi kerusakan dan kerugian material dan nonmaterial yang harus ditanggung, bahkan tidak sedikit korban jiwa berjatuhan. 

Belum lagi pulih dari kesedihan yang diakibatkan oleh musibah banjir, telah diberitakan lewat media pula bahwa berbagai macam penyakit telah mengintip pascasurutnya genangan banjir. Banyak orang terserang penyakit kulit, diare, flu, tifus, infeksi saluran pernapasan atas, demam berdarah dengue (DBD), termasuk penyakit leptospirosis yang ditularkan melalui kotoran dan air kencing tikus.

Dirangkum menjadi satu, semua bentuk keprihatinan bangsa itu seolah-olah disodorkan ke  hadapan kita, bersamaan dengan suka cita dalam masa raya perayaan Imlek; yaitu hari ketika masyarakat etnis Tionghoa bersyukur atas kemelimpahan berkat-Nya. Sejatinya hari yang tepat untuk merayakan kemenangan, keberhasilan, dan kesuksesan.

Niat Baik

Dalam konteks mengajak untuk bersimpati dan berempati, serta kesediaan membantu meringankan beban sesama, ada penggalan kisah pendek yang sengaja penulis kutip dari buku The Best of Chinese Life Philosophies, untuk kita renungkan bersama. 

Berikut penggalan kisahnya. Suatu saat, ada orang yang akan dilahirkan di dunia fana ini. Sebelum ia ''dikirim'' ke bumi, Dewa Kelahiran bertanya apa yang akan ia kerjakan di bumi ketika kelak dewasa. ''Calon manusia'' itu menjawab,' “Saya akan berusaha untuk sekuat tenaga untuk mencapai kesuksesan” 

''Bagus,'' kata Dewa Kelahiran. Ketika ia sampai ke bumi, kemudian menjadi besar dan dewasa ia melihat bahwa kehidupan itu tidaklah seindah yang dibayangkan. Banyak orang, termasuk keluarganya, yang hidup sengsara, menderita, dan mengalami banyak musibah. Seketika itu juga, ia berubah pikiran. Waktu yang seharusnya ia gunakan untuk mencapai kesuksesan, sebagian ia gunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan.  

Ia senantiasa melakukan kebaikan tanpa pamrih. Jiwa sosialnya tumbuh dan berkembang serta menyentuh hati banyak orang. Ketika ia meninggal dunia, banyak orang yang merasa kehilangan, dan ia dikenang sebagai dewa penolong. 
Penggalan kisah itu secara jelas hendak menunjukkan kepada kita bahwa tiap perbuatan baik, sekecil dan sesederhana apa pun, yang kita lakukan secara tulus dan ikhlas untuk menolong sesama, akan menjadikan penghuni surga tertegun. 

Merayakan Imlek, seharusnya tidaklah pernah lepas dari doa, asa, dan niat yang baik sekaligus luhur. Merayakan Imlek tanpa disertai tiga hal utama tersebut, hanyalah akan menjadikan Imlek sebagai agenda siklus tahunan yang akan lewat begitu saja: kering dan tanpa makna.  Bukankah sebagai umat yang beriman, perbuatan keseharian kita pada hakikatnya merupakan perwujudan atas isi doa kita kepada Tuhan? 

Dengan Berbagi

Sebagai bangsa yang menjunjung tinggi nilai dan semangat persaudaraan, dan yang menempatkan budaya gotong royong di atas segala-galanya maka melalui perayaan Imlek tahun ini, yang hadir bersamaan dengan belum usainya rentetan musibah, kita seperti kembali disapa dan diingatkan supaya sudah selayak dan sepantasnyalah untuk turut ambil bagian dalam meringankan beban saudara-saudara kita yang saat ini masih dililit kesusahan dan tertimpa berbagai musibah. 

Justru melalui kesediaan untuk berbagi inilah, kekayaan kita yang sesungguhnya makin tampak nyata. Hakikatnya, kekayaan tidak lagi diukur dari seberapa banyak harta dan materi yang kita miliki. Namun sebaliknya, kekayaan kita justru tampak melalui seberapa banyak milik kita yang bisa kita berikan secara tulus dan ikhlas  guna membantu dan meringankan beban saudara-saudara kita yang membutuhkan.

Apresiasi positif penulis sampaikan kepada mereka yang pada Tahun Baru Imlek 2564 ini telah mendapatkan rezeki yang melimpah, dan sebagian dari rezeki itu secara tulus telah dipersembahkan guna membantu saudara-saudara kita yang masih dibelit kesusahan dan tertimpa musibah. 

Wujud bantuan itu semisal aksi pemberian bahan pangan dan sandang murah, serta pengobatan gratis kepada masyarakat, siapa pun mereka, yang membutuhkan. Mari kita renungkan, ''Kalau aku bukan untuk diriku, lalu untuk siapa aku ini. Tetapi jika aku hanya untuk diriku, lalu untuk apa aku ini''.  
Selamat menyongsong, memperingati, dan memaknai Imlek, Gong Xi Fat Chai. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar