Rabu, 06 Februari 2013

Kegamangan Gerak HMI Pascanegara


Kegamangan Gerak HMI Pascanegara
Agus Hilman  ;   Ketua PB HMI dan Mantan Jurnalis Televisi Nasional
JAWA POS, 06 Februari 2013


ENAM puluh enam tahun yang lalu (5 Februari 1947), sekelompok mahasiswa di Sekolah Tinggi Islam (sekarang Universitas Islam Indonesia) Jogjakarta mendirikan Himpunan Mahasiwa Islam (HMI), organisasi mahasiswa Islam pertama di Indonesia. Dua mainstream besar latar berdirinya adalah mengawal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjaga syiar Islam. Keislaman-keindonesiaan menggelayuti awal berdirinya HMI. Itulah awal perjalanan sejarah HMI yang di kemudian hari, sejujurnya, menopang pemerintahan Orde Baru.

Pada generasi-generasi awal HMI, telah muncul pemikir-pemikir yang menitikberatkan pada penguatan pemikiran keislaman-keindonesiaan. Pada saat itu negara berupaya membangun identitas diri, HMI mengambil jarak dengan pemikiran formalisasi Islam sebagai kiblat negara Indonesia. Dalam hal ini, HMI tidak sependapat dengan pemikiran mendirikan Indonesia menjadi negara Islam. Dalam pertarungan ideologi global, pan-Islamisme, komunisme, dan nasionalisme, HMI mencoba berposisi moderat.

Pada peralihan pemerintahan dari Orde Lama ke Orde Baru, HMI terlibat menyokong secara penuh Orde Baru. Pemikiran moderat HMI yang lebih mengedepankan Islam substantif dalam bernegara dan tidak sependapat dengan formulasi negara komunis menjadi titik temu pemikiran HMI dengan Orde Baru. Dengan pemikiran moderat HMI tersebut, Soeharto dengan Orde Baru-nya pun berkepentingan memberikan ruang kepada mereka untuk mewarnai pemerintahan yang sedang dibangunnya. HMI perlahan mulai mengakar ke elite pemerintahan.

Fase Negara 

Harus diakui, Orde Baru merupakan babak baru sejarah Indonesia yang sebelumnya gamang dalam membangun identitas negara di tengah pertarungan ideologi masa Perang Dingin. Pada masa itu, settingdunia sedang mengalami ketegangan tinggi yang berakhir dengan konflik militer seperti Blokade Berlin (1948-1949), Perang Korea (1950-1953), Krisis Suez (1956), Krisis Berlin (1961), Krisis Rudal Kuba (1962),Perang Vietnam (1959-1975), Perang Yom Kippur (1973), dan lain-lain.

Akhirnya, tren negara-negara Asia Tenggara dan dunia ketiga saat itu menempatkan pemimpin-pemimpin dari militer dan ''bertangan besi'' untuk mengendalikan negara (Tania Muray Li : 2012). Maka, formulasi saat itu, negara menjadi sentrum perubahan sosial dan politik yang berlangsung beberapa dasawarsa. Itulah fase negara pasca kolonialisme setelah Indonesia merdeka. Pada era itu, ruang apa yang diambil HMI pada fase negara tersebut?

Karena negara didesain dalam sistem sentralisme-totalitarian, HMI kemudian menempatkan perjuangannya dengan menempel dan menyokong negara pada era Orde Baru. Ada dua grand design gerakan yang dilakukan HMI saat itu untuk menyokong negara. Yakni, gerakan pemikiran dan gerakan politik. Gerakan pemikiran lebih berfokus pada aspek pembaruan pemikiran keislaman dan di dunia politik mendistribusikan kader-kadernya untuk menyokong pemerintahan Orde Baru.

Formulasi negara sebagai sentrum dengan program developmentalisme (pembangunan) meniscayakan harus adanya keterbukaan pemikiran masyarakat Indonesia. Karena itu, Islam sebagai agama yang mayoritas dipeluk rakyat Indonesia harus berpikir terbuka dan maju agar orientasi pembangunan serta modernisasi berjalan baik. Karena itu, Nurcholish Madjid yang notabene saat itu menjadi anggota HMI mengeluarkan jargon ''Islam Yes Partai Islam No?'' pada akhir 1960-an. Di HMI juga disusun nilai-nilai dasar perjuangan (NDP) oleh Nurcholish dengan semangat pemikiran yang sama.

Di langgam politik, HMI memainkan peran politik yang signifikan dalam menyokong negara. Pada perkembangan selanjutnya, gerakan politik itulah yang lebih dominan mewarnai gerakan HMI ke depan. Bahkan mampu menggerus kekuatan gerakan intelektualnya. Dan, Akbar Tandjung menjadi representasi kader politik, sedangkan Nurcholish menjadi representasi gerakan intelektual Islam HMI kala itu. Akbar terpilih menjadi ketua umum PB HMI pada kongres ke-10 di Palembang pada 1971. Sementara itu, Nurcholish terpilih pada kongres ke-8 dan ke-9 pada 1966 dan 1969. Itulah masa-masa awal tonggak era negara.

Connected Kids 

Kini etape negara sudah berakhir. Sistem yang mulanya sentralisasi berganti ke sistem desentralisasi. Abad pun berganti dari abad ke-20 kini memasuki abad ke-21. Negara yang awalnya pengatur secara totaliter tidak lagi berdiri tunggal. Negara bukan lagi satu-satunya komponen untuk melakukan perubahan sosial. Sistem politik yang sebelumnya terdesain pada demokrasi representatif sekarang bergeser menjadi demokrasi partisipatif (baca: pemilihan langsung). Di tengah perubahan itulah, HMI kini berdiri memasuki usia ke-66 tahun.

Di tengah pergantian zaman dan sistem tersebut, tidak ada alasan lagi bagi HMI untuk tidak berubah dan menegok ulang sistemnya saat ini agar kompatibel dengan semangat perubahan zaman. Dalam pemikiran Islam, HMI harus mampu merespons perkembangan gerakan Islam yang cenderung terjebak pada identitas simbolis Islam. HMI pun harus tidak lagi memandang negara sebagai satu-satunya sentrum perubahan sosial-politik yang harus direbut. 

Saat ini, kader-kader baru HMI merupakan generasi connected kids alias anak-anak zaman yang saling terkoneksi karena kemajuan teknologi informasi. Jangan-jangan, badai politik di internal HMI saat ini merupakan gerak efek dari belum terjadinya pembenahan di dalam organisasi HMI yang sesuai dengan era kekinian. Orde Baru yang tertutup, pada dasarnya, juga sudah tidak kompatibel dengan perkembangan zaman yang kian terbuka dan terkoneksi. Pertanyaannya, ke mana HMI akan melangkah pascanegara ini pada usianya yang ke-66 tahun?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar