Sabtu, 09 Februari 2013

Kebebasan Berekspresi Menjalar ke Negara Tetangga


Kebebasan Berekspresi Menjalar ke Negara Tetangga
Atmakusumah  ;   Pengamat Pers dan Pengajar Jurnalisme
di Lembaga Pers Dr Soetomo (LPDS) di Jakarta
KOMPAS, 09 Februari 2013


Kebebasan berekspresi di Asia Tenggara, termasuk kebebasan pers dan menyatakan pendapat, lambat laun menjalar ke negara-negara tetangga selama beberapa tahun terakhir.
Satu dasawarsa lalu, tiga negara di wilayah ini yang paling di- kenal dengan kebebasan berekspresi adalah Filipina, Thailand, dan Indonesia. Kemudian menjalar ke Kamboja. Sekarang mulai merambat di Myanmar (Burma), yang selama setengah abad dikuasai rezim militer.
Pemerintah Myanmar pada Agustus 2012 menghapus peraturan sensor sebelum dilakukan publikasi untuk semua media, kecuali film. Para wartawan Myanmar sangat terkejut dan hampir tak percaya ketika menerima pengumuman tentang putusan ini. Sebab, sensor untuk semua media—mulai dari isi surat kabar dan buku sampai ke sajak, lirik lagu, dan karya fiksi, termasuk dongeng—sudah berlangsung sejak 1964. Sampai tahun lalu, pers Myanmar bahkan tak boleh memuat laporan tentang tokoh oposisi Aung San Suu Kyi atau fotonya.
Akan tetapi, menurut organisasi antisensor di London, Article 19, yang dikutip jurnal IFEX Communique, para wartawan Myanmar masih harus menyerahkan tulisan mereka ke badan sensor setelah dipublikasikan. Dengan demikian, masih ada ancaman bagi kebebasan pers.
Masih Ada Hambatan
Dengan kian cepatnya pertumbuhan kebebasan berekspresi di negara-negara Asia Tenggara, yang bahkan mulai merambat ke daratan China, tidak berarti kebebasan ini sudah sepenuhnya ditegakkan. Hambatan bagi perkembangan kebebasan berekspresi tidak hanya masih terjadi di Myanmar, tetapi juga di negara-negara tetangganya, seperti Thailand, Filipina, dan Indonesia yang sudah jauh lebih lama mengawali reformasi politik.
Di Myanmar, dengan dihapusnya sensor sebelum publikasi bagi media pers, surat kabar sekarang dapat diterbitkan sebagai harian, kecuali surat kabar swasta yang tidak boleh terbit setiap hari. Pada masa lalu, ketika berlaku peraturan sensor, surat kabar hanya dapat terbit mingguan karena diperlukan waktu cukup lama untuk menunggu hasil penelitian di badan sensor.
Hambatan yang sekarang dihadapi pers Myanmar adalah pasal-pasal dalam perundang-undangan yang tak jelas sehingga multitafsir. Selain itu, UU dapat memenjarakan wartawan dan membredel media mereka. Ada pula peraturan yang melarang publikasi komentar seperti ”kritik negatif terhadap kebijakan negara dan pemerintah” serta ”kritik negatif terhadap kebijakan ekonomi negara”.
Filipina tergolong negeri yang paling berbahaya di dunia bagi para pengelola media pers. Sejak memiliki kembali pemerintahan sipil pada 1986, lebih dari 150 petugas pers—termasuk wartawan—terbunuh di Filipina. Salah satu penyebab banyaknya korban yang terbunuh di kalangan pers diduga karena adanya kebudayaan impunitas, yaitu lambannya penegakan hukum. Impunitas menyebabkan orang-orang yang memiliki potensi melakukan kekerasan tak merasa takut dan jera menghadapi tindakan hukum.
Di Thailand, berlaku UU pidana yang keras bagi warga, termasuk pengasuh media pers, yang dituduh ”mencemarkan nama baik, menghina, atau mengancam raja, ratu, pewaris takhta, atau wali”. Hukumannya 3-5 tahun penjara. Korban hukum ini paling akhir adalah Somyot Prueksakasemsuk, pemimpin redaksi terkemuka yang dijatuhi hukuman 11 tahun penjara akhir Januari lalu. Pada 2010 dia memuat dua tulisan dalam majalah politiknya, Voice of Taksin.
Menurut para jaksa, kedua tulisan itu— yang ditulis oleh mantan juru bicara Perdana Menteri Thaksin Shinawatra—memberi gambaran negatif mengenai kerajaan. Mantan juru bicara itu kini mengungsi di Kamboja.
Masih Berat
Pers dan publik di Indonesia juga masih menghadapi sejumlah perundang-undangan dengan ancaman hukuman yang keras, berupa penjara atau denda (pidana) dan ganti rugi (perdata) yang berat, ketika warga dan pers dihadapkan pada tuduhan pencemaran nama baik, fitnah, penghinaan, atau penistaan. Pasal-pasal hukum ini makin tak populer di dunia internasional sehingga banyak negara menghapus pasal-pasal itu dari UU pidana walaupun masih mempertahankannya dalam UU perdata dengan sanksi hukum ganti rugi ringan.
Sebagaimana dikatakan oleh Menteri Informasi Etiopia Bereket Simone, seperti diberitakan The Daily Monitor di Addis Ababa bulan September 2004, ”Denda yang lebih ringan akan mendorong kebebasan berekspresi.” Dengan kata lain, orang tak menjadi penakut untuk mengemukakan pendapatnya. Adapun penggunaan UU pidana dengan sanksi hukum badan atau penjara bagi gugatan defamation atau libel, menurut Komite Hak-hak Asasi Manusia PBB, merupakan pelanggaran terhadap kebebasan berekspresi. Pendapat Komite HAM PBB ini, mengenai pasal-pasal hukum seperti fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, dan penistaan, dikemukakan bulan Oktober 2011.
Para penegak hukum di Indonesia bahkan kadang-kadang tidak menggunakan UU Pers, yang sekarang berlaku, dalam kasus-kasus pers. Contoh paling akhir adalah putusan pidana dan perdata terhadap Khoe Seng Seng atau Aseng, penulis surat pembaca yang dimuat di Kompas dan Suara Pembaruan. Surat pembaca adalah produk pers, yang dalam prinsip pekerjaan pers merupakan tanggung jawab pemimpin redaksi. Prinsip ini juga tecermin dalam UU Pers kita yang sudah berumur lebih dari satu dasawarsa.
Aseng dijatuhi hukuman ganti rugi Rp 1 miliar oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara untuk gugatan perdata PT Duta Pertiwi. Putusan ini dibatalkan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta karena media pers yang menyiarkan surat pembaca tersebut tidak dilibatkan dalam perkara ini. Namun, putusan kasasi Mahkamah Agung, yang diumumkan Januari lalu, kembali menjatuhkan hukuman ganti rugi Rp 1 miliar kepada Aseng. Ia juga dijatuhi hukuman penjara enam bulan dengan masa percobaan 12 bulan dalam vonis Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk gugatan pidana dari perusahaan yang sama terhadap surat pembaca itu. Hukuman badan ini tidak berubah dalam putusan banding di pengadilan tinggi dan putusan kasasi di Mahkamah Agung.
Sebagian hakim kita agaknya masih sangat ketat berpegang pada yuridis formal tanpa memedulikan perkembangan situasi sosial-politik yang tengah berubah pesat menuju penghargaan yang lebih besar kepada hak asasi manusia dan keadilan. Putusan hukum yang konservatif ini, serta tindakan kekerasan yang masih terjadi terhadap wartawan dan pers kita, menyebabkan organisasi pengamat pers internasional menempatkan kebebasan pers di Indonesia pada tingkat yang lebih rendah daripada di beberapa negara tetangga, seperti Papua Niugini, Kamboja, dan Timor Leste. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar