Selasa, 19 Februari 2013

Kawasan Konservasi untuk Kesejahteraan


Kawasan Konservasi untuk Kesejahteraan
Tony Ruchimat Direktur Koservasi, Kawasan dan Jenis Ikan,
Kementerian Kelautan dan Perikanan
SUARA KARYA, 18 Februari 2013


Konservasi sumber daya ikan merupakan rangkaian yang tidak bisa dipisahkan dari upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan . Termasuk di dalamnya, pengelolaan kawasan konservasi perairan, jenis ikan, dan genetik ikan untuk menjamin ketersediaan dan keberlanjutannya. Merujuk Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan beserta perubahannya (UU No 45/2009) dan PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, paling tidak memuat dua hal penting paradigma baru dalam konteks konservasi.

Pertama, pengelolaan diatur dengan sistem zonasi. Ada empat pembagian zona dalam kawasan konservasi perairan. Yakni, zona inti, perikanan berkelanjutan, pemanfaatan, serta zona lainnya. Perlu diketahui, zona perikanan berkelanjutan tidak pernah diatur dalam regulasi pengelolaan kawasan konservasi. Baik, menurut UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya maupun PP No 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kedua, dalam hal kewenangan, pengelolaan kawasan konservasi selama ini menjadi monopoli pemerintah pusat. Namun, sekarang sudah didesentralisasikan kepada pemda. Ini berdasarkan UU No 27/2007 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, PP No 60/2007 tentang Konservasi Sumber Daya Ikan, serta Peraturan MenKP No Per.02/Men/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan.
Pemda diberi kewenangan mengelola kawasan konservasi di wilayahnya. Ini selaras dengan mandat UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya terkait pengaturan pengelolaan wilayah laut dan konservasi. Paradigma baru tersebut, kini telah menghapus kekhawatiran akan berkurangnya akses nelayan di kawasan konservasi perairan.

Apalagi, hak-hak tradisional masyarakat juga diakui dalam pengelolaan kawasan. Termasuk, wilayah yang diatur oleh adat tertentu, seperti Sasi (Maluku), Panglima Laot (Aceh), dan Awig-awig (Bali). Dalam penerapan paradigma tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan terus melakukan asistensi, pembinaan dan fasilitasi kegiatan konservasi di daerah. Pemerintah Pusat juga telah melaksanakan desentralisasi dalam pendanaan. Misalnya, melalui akses Dana Alokasi Khusus dan Dekonsentrasi Provinsi bagi pemda. Menggeser paradigma lama bahwa konservasi hanya terbatas pada upaya perlindungan dan pelestarian belaka, memang bukan hal yang mudah. Kementerian Kelautan dan Perikanan sangat menyadari pentingnya sosialisasi dan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan kawasan. Untuk itu, kerja sama dengan para pihak termasuk LSM terus diperkuat. Antara lain, melalui kerja sama dengan konsorsium Marine Protected Are Governance (MPAG), yang terdiri dari sejumlah LSM seperti WWF, TNC, CTC, CI dan WCS.

Sebagai kawasan khas yang memiliki akses terbuka (open access) bagi siapa saja, pengawasan kawasan perairan sangat membutuhkan peran aktif berbagai pihak. Kementerian Kelautan dan Perikanan sendiri telah memiliki unit kerja pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan, yang mendukung penuh pelaksanaan konservasi sumber daya ikan.

Pemberdayaan masyarakat juga menjadi kunci keberhasilan konservasi. Antara lain, melalui upaya pembentukan dan optimalisasi Kelompok Masyarakat Pengawas (Pokmaswas) di sekitar kawasan konservasi. Melalui upaya ini, banyak kasus pemboman ikan, pencurian telur penyu dan pelanggaran lainnya diproses sesuai hukum atas peran aktif dan partisipasi masyarakat. Panduan Praktis Tahun 2012, Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Kementerian Kelautan dan Perikanan, telah berkontribusi dalam pengelolaan kawasan konservasi seluas 3,2 juta hektar dan penambahan luas kawasan konservasi perairan di Indonesia menjadi 15,78 juta hektar. 

Untuk menilai efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menyusun panduan praktis. Panduan itu juga digunakan untuk mengevaluasi, sejauh mana efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi. Panduan itu dikenal dengan Pedoman Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (E-KKP3K). Dengan pedoman ini, efektivitas pengelolaan sebuah kawasan konservasi bisa ditinjau secara komprehensif, sekaligus bermanfaat bagi perencanaan pengembangan kawasan di masa mendatang. Mekanisme penghargaan kepada pengelola kawasan juga akan diterapkan berdasarkan E-KKP3K ini dengan penghargaan tahunan bertajuk KKP Award. 

Sejumlah upaya pengelolaan telah dilaksanakan, seperti fasilitasi dan pembinaan kawasan konservasi perairan daerah, ujicoba Evaluasi Efektivitas Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan, Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, pelatihan pengelolaan perikanan berkelanjutan, bimbingan teknis pengelolaan kawasan, rehabilitasi habitat, penanaman vegetasi pantai, fasilitasi pengembangan kelembagaan serta penyusunan rencana pengelolaan dan zonasi kawasan. Mekanisme pelaksanaannya dilaksanakan melalui pertemuan konsultasi, pembahasan, focus group discussion dan sebagainya. Capaian penambahan luas kawasan tahun 2012 merupakan roadmap penting, dalam pencapaian target luas kawasan konservasi perairan 20 juta hektar tahun 2020. Apalagi, Presiden SBY pada event World Ocean Conference (WOC) di Manado tahun 2009, telah menyampaikan komitmen pencapaian luas 20 juta hektar pada masyarakat dunia.

Untuk mendukung komitmen ini, Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan pun terus bekerja mengawal penambahan luas kawasan ini agar target penambahan luas yang tersisa, sekitar 4,2 juta hektar dapat terealisasi pada akhir 2020. Tentu saja kerja sama dan kontribusi para pihak sangat dibutuhkan untuk mewujudkan target tersebut. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar