Entah apa yang ada dalam benak
mayoritas komisioner Komnas HAM kini. Sengkarut perubahan durasi
kepemimpinan lembaga penjaga HAM ini tidak juga selesai. Walaupun dikritik
habis-habisan oleh publik, termasuk oleh para mantan komisioner, sembilan
anggota Komnas HAM tetap bertahan untuk memangkas jabatan ketua hingga satu
tahun.
Sejak awal saat
proses uji kelayakan dan kepatutan, sejumlah anggota DPR mengeluh pada
penulis mengenai adanya ”penurunan”kualitas calon komisioner Komnas HAM.
Menurut para legislator tersebut, dari kandidat yang diajukan ke DPR, tidak
ada lagi figur yang dirindukan publik dalam mengawaki Komnas HAM seperti
Baharuddin Lopa (alm) dan Asmara Nababan (alm). Dan kekhawatiran tersebut
kini menjadi kenyataan.
Sembilan dari
13 komisioner menghendaki adanya perubahan tata tertib yang mengatur masa
jabatan ketua Komnas HAM. Saat awal pemilihan ketua Komnas HAM (2012-2015),
semua komisioner menyepakati masa kepemimpinan ketua selama 2,5 tahun. Kala
itu pemilihan dimenangi Otto Nur Abdullah, sosiolog yang sudah malang
melintang mengurusi konflik Aceh dan Papua. Otto mengalahkan kandidat lain,
yakni Nur Kholis dan Hafid Abbas.
Namun, hanya
berselang dua bulan riak politik internal muncul. Kepemimpinan Otto
digoyang dengan ide merevisi tata tertib yang memangkas jabatan ketua
menjadi satu tahun. Komisioner pun terbelah. Sembilan orang mendukung ide
tersebut: Hafid Abbas, Nur Kholis, Imdadun Rahmat, Natalius Pigay, Siane
Andriani, Ansori Sinungan, Dianto Bachriadi, Maneger Nasution and Siti Noor
Laila. Adapun Otto bersama Sandra Moniaga, Rochiatul Aswidah dan Muhammad
Nurkhoiron mengajukan dissenting opinion.
Alhasil, rapat
paripurna Komnas HAM yang digelar belum lama ini mengetok palu perubahan
tata tertib. Para komisioner yang prorotasi kepemimpinan setahun sekali
mengaku optimistis kinerja Komnas HAM akan lebih efektif dan lebih baik.
Hafid Abbas dalam artikelnya di sebuah harian berbahasa Inggris medio
Januari silam tegas menyatakan ide tersebut merupakan penerapan prinsip
kolektif dan kolegial.
Hafid
menggarisbawahi adanya dua persoalan yang mendasari ide tersebut, yakni
adanya persoalan birokrasi Sekretariat Jenderal Komnas HAM dan kesenjangan
beban tugas komisioner yang mengurusi lebih dari 6.000 kasus HAM yang masuk
tiap tahunnya. Dua basis masalah yang dilontarkan Hafid tentu patut
dipertanyakan. Pertama, jika memang ada persoalan birokrasi Sekretariat
Jenderal, lantas mengapa harus masa jabatan ketua yang dipotong?
Jika problemnya
koordinasi atau kinerja Sekretariat Jenderal, hal yang harus dievaluasi
mestinya jajaran kesekretariatjenderalan, bukan dengan memperpendek jabatan
ketua. Ide ini sama sekali tidak akan memberi jaminan akan adanya perbaikan
bagi performa birokrasi internal Komnas HAM karena sama sekali tidak
mengatasi akar masalah. Kedua, menjadikan problem kesenjangan beban kerja
komisioner sebagai dalih merotasi jabatan juga terkesan mengada-ada.
Problem ini
mestinya diselesaikan dengan membuat mekanisme internal yang dapat membagi
beban kerja para komisioner secara adil dan terukur. Bagaimana mungkin,
dalam kurun waktu hanya dua bulan menjabat kepemimpinan Otto langsung
disalahkan dan harus memikul tanggung jawab tersebut. Bukankah pekerjaan
rumah kasus pelanggaran HAM sudah menumpuk dan merupakan warisan dari
periode sebelumnya? Keanehan yang terasa justru saat komisioner Komnas HAM,
Siane Andriani, melansir temuannya dalam melakukan investigasi penanganan
terorisme di Poso oleh Polri belum lama ini.
Prinsip
kolektif dan kolegial sama sekali tidak diterapkan sebelum laporan ini dilansir
ke publik. Dengan kata lain, tim Poso sama sekali tidak membawa dan
membahas laporan tersebut di dalam rapat pleno Komnas HAM yang notabene
adalah forum tertinggi dalam pengambilan keputusan. Semestinya, untuk
keputusankeputusan penting dan menyangkut publik, semua komisioner memberi
persetujuan sehingga laporan tersebut dapat merefleksikan sikap utuh Komnas
HAM,bukan manuver individual komisioner.
Berkaca dari
kejadian di atas, kelompok mayoritas komisioner sangat terlihat ambigu dan inkonsisten
dalam menerapkan prinsip kolektif dan kolegial. Sungguh tidak ada salahnya
apabila para komisioner Komnas HAM belajar dari apa yang dilakukan pimpinan
KPK dalam mengeluarkan keputusan. Sebelum keputusan dilansir ke publik,
seluruh pimpinan menandatangani surat tersebut.
Toh KPK dan
Komnas HAM sama-sama bertugas mengurusi kejahatan luar biasa. Kekisruhan
tentang kepemimpinan Komnas HAM ini tentu saja banyak meninggalkan
pertanyaan. Dari awal ketika ide tersebut muncul, kelompok masyarakat sipil
mengkritik dan mengecam sikap koppeg mayoritas komisioner yang ngotot
mendorong rotasi kepemimpinan. Ada dugaan, sikap keras kepala ini tidak
lepas dari perhelatan politik Pemilu 2014. Sebab, tentu saja, banyak
politisi maupun elite negeri ini yang akan berkepentingan dengan tindak
tanduk Komnas HAM yang sangat mungkin dapat mengganggu pencitraan politik
hingga menggugurkan pencalonan.
Dua pertanyaan
yang timbul di benak publik. Pertama, mengapa ide ini menguat setelah Otto memegang
tongkat estafet kepemimpinan dari pendahulunya, Ifdhal Kasim? Jika terlepas
dari kepentingan tertentu, semestinya ini digulirkan Nur Kholis dkk sejak
awal saat pemilihan ketua sesaat setelah dilantik. Kedua, mengapa ketentuan
rotasi kepemimpinan Komnas HAM berlaku retroaktif dan tidak mau menunggu hingga
kepemimpinan Otto usai?
Bukankah inti
dari pelaksanaan demokrasi yang baik adalah menghargai konsensus politik
yang sudah diambil sebelumnya. Jikalau komisioner Komnas HAM saja begitu
mudahnya membatalkan putusan yang sudah diambil, bagaimana dengan ‘nasib’
putusan-putusan lain yang sudah ditetapkan? Pembatalan kesepakatan awal
dengan bersembunyi di balik “keputusan rapat paripurna” tentu tidak elok
dilakukan oleh para komisioner pembela HAM di negeri ini. Keadaan yang
kisruh ini tentu saja tidak akan membawa keuntungan bagi publik.
Yang menanggung
untung justru para pihak yang merasa berkepentingan dengan terus lemahnya
posisi Komnas HAM. Karena itu,tidak ada saran lain bagi sembilan komisioner
yang prorotasi kepemimpinan 1 tahun untuk mengubah sikap mereka. Masih
belum terlambat untuk membatalkan revisi tata tertib mengenai masa
kepemimpinan ketua Komnas HAM. Sepatutnya para komisioner dibantu birokrasi
internal saling bahu-membahu menuntaskan pekerjaan rumah menyelesaikan
kasus pelanggaran HAM dan tindak kekerasan, bukan malah sibuk memilih ketua
setiap tahun layaknya giliran arisan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar