Jurang
Revolusi II Mesir
Chusnan Maghribi ; Alumnus
Hubungan Internasional FISIP
Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta (UMY)
|
|
SUARA
MERDEKA, 16 Februari 2013
SETELAH beberapa hari mereda,
demonstrasi berskala besar kembali pecah di sejumlah kota di Mesir
(08-09/02/13). Ribuan demonstran antipemerintahan Mohammed Mursi kembali
turun ke jalan-jalan di Kairo (termasuk dekat Istana Al-Ittihadia atau
Istana Presiden), Alexandria, dan di delta Sungai Nil Provinsi Al-Ghorbiya.
Mereka menyeru penggelaran revolusi II sebagai antitesis kegagalan revolusi
I yang menumbangkan kekuasaan Presiden Hosni Mubarak pada Februari 2011.
Akankah seruan
pengunjuk rasa tersebut mendapat respons positif mayoritas rakyat
sehingga revolusi II akan benar-benar terjadi? Revolusi lazim terjadi
manakala ketidaksukaan (untuk tidak menyebut kebencian) mayoritas rakyat
terhadap penguasa --akibat kondisi buruk (ketidakadilan) sosial ekonomi
ataupun politik, atau akumulasi dari keduanya-- memuncak. Revolusi Mesir
dua tahun lalu ataupun revolusi di negara-negara lain Arab (Tunisia, Libya,
dan Suriah) seiring hantaman badai Arab Spring, terjadi setelah
ketidaksukaan rakyat atas rezim di negara-negara itu mencapai klimaks.
Situasi krisis
di Mesir saat ini sangat berisiko menuju revolusi II. Pertarungan politik
antara pemerintahan Mursi versus kekuatan-kekuatan oposisi yang tergabung
dalam Front Penyelamatan Nasional (NSF) pimpinan Mohamed El-Baradei, jika
tidak segera diatasi, bisa menjerumuskan pada revolusi II.
Pasalnya, bagi
oposisi yang dua tahun lalu juga tampil sebagai lokomotif revolusi
melengserkan Mubarak, pemerintahan Ikhwanul Muslimin (IM) di bawah Presiden
Mursi dianggap gagal mewujudkan misi utama revolusi, yaitu membentuk negara
demokratis yang dibangun di atas prinsip kemakmuran bersama, keadilan,
kebebasan, serta menjunjung tinggi HAM.
Menurut mereka,
yang terjadi setelah Mubarak terguling bukan konsistensi Mursi mengemban
amanat revolusi, melainkan sebaliknya: pengingkaran atas amanat revolusi.
Tengoklah fakta, Mursi bersama IM memaksa masyarakat Mesir untuk menyetujui
Konstitusi (Islam) Mesir yang nyata-nyata ditentang oposisi. Oposisi
menentang lantaran ada banyak pasal yang dipandang tidak selaras dengan
amanat revolusi.
Sekurang-kurangnya
ada 35 pasal yang dianggap bermasalah bagi oposisi. Yang paling fundamental
adalah Pasal 2 yang menyebutkan,'' Syariat Islam adalah satu-satunya sumber
hukum dalam ketatanegaraan Mesir''. Terkait dengan substansi itu, oposisi
menawar dengan menyodorkan rumusan,'' Syariat Islam sebagai salah satu
sumber hukum dalam ketatanegaraan Mesir'', namun pemerintah menolak opsi
itu.
Bukankah
pengesahan konstitusi baru itu dilakukan lewat referendum Desember 2012?
Senyatanya demikian, tetapi rakyat yang berpartisipasi dalam referendum itu
hanya 32% dari warga yang memiliki hak suara. Tentu fakta itu kurang
representatif untuk menjustifikasi keputusan pemerintah mengesahkan dan
memberlakukan konstitusi baru.
Tingkat Terendah
Selain itu,
pemerintahan Mursi melalui Partai Kebebasan dan Keadilan memonopoli
kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Kekuasaan monopolistik juga
terjadi pada bidang ekonomi (dunia usaha). Kalangan pengusaha berlatar
belakang Ikhwanul Muslimin kini cenderung lebih dipermudah
berwirausaha ketimbang kalangan lain. Kenyataan ini membuat sebagian
masyarakat geram hingga dalam aksi demonstrasi Januari lalu mereka membakar
Restoran Al-Mukmin yang ditengarai milik pengusaha yang berafiliasi dengan
Ikhwanul Muslimin. Mereka juga merusak kantor Ikhwanul Muslimin serta
Partai Kebebasan dan Keadilan di Kairo.
Di sisi lain,
pemerintahan Mursi cenderung mengabaikan upaya mengentaskan penduduk dari
kemiskinan. Padahal jumlah penduduk miskin di Negeri Piramida itu tergolong
tinggi. Sepertiga dari 82,5 juta penduduk Mesir saat ini termasuk kategori
miskin.
Pemerintahan
Mursi sejauh ini juga dinilai cenderung abai terhadap penanganan pelayanan
publik. Pelayanan publik seperti layanan kesehatan dan pendidikan, terutama
bagi kelas menengah ke bawah, mengalami kekacauan parah yang belum pernah
terjadi pada masa-masa sebelumnya. Keadaan itu diperparah dengan ketiadaan
jaminan keamanan memadai bagi penduduk. Dua tahun belakangan ini
kriminalitas terjadi secara sporadis di seantero negeri.
Masuk akal
kalau dukungan publik terhadap pemerintahan Mursi sekarang tergerus hingga
tingkat terendah.
Berdasarkan
hasil survei Januari lalu dukungan publik terhadap pemerintahan tinggal
15%. Apabila Mursi bersama Ikhwanul Muslimin tak segera menggelar dialog
dengan kubu oposisi dan bersedia memberi konsesi politik, semisal mau
merumuskan ulang pasal-pasal konstitusi baru yang dianggap bermasalah,
kondisi bisa makin memburuk.
Pasalnya,
oposisi pasti memanfaatkan kondisi buruk dalam negeri itu sebagai
justifikasi untuk terus menyeru kepada rakyat melancarkan revolusi II.
Banyak rakyat di tengah belitan kesulitan sosial ekonomi saat ini merespons
positif seruan itu sehingga cepat atau lambat revolusi terbaru di Mesir
bisa menjadi kenyataan.
●
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar