Jumat, 15 Februari 2013

Jokowi untuk Presiden?


Jokowi untuk Presiden?
M Alfan Alfian  Dosen Pascasarjana Ilmu Politik Universitas Nasional, Jakarta
KORAN TEMPO, 15 Februari 2013


Hasil survei Pusat Data Bersatu yang belum lama ini dilansir menyebutkan elektabilitas Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo teratas dalam bursa calon presiden 2014. Angkanya 21,2 persen, mengalahkan 12 calon lainnya, termasuk Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto (18,4 persen), Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri (13 persen), dan penyanyi dangdut Rhoma Irama (10,4 persen). 
Pemapar survei, Didik J. Rachbini, menyebut Jokowi dibesarkan oleh "partai media". Untuk sementara, merujuk pada hasil survei itu kekhawatiran meteor politik Jokowi cepat atau lambat akan lebih mencorong ketimbang pembesar partainya, atau bersifat kanibalistik, semakin nyata. Tentu saja fenomena ini menarik dan patut dianalisis lebih lanjut, apakah memang sosok pemimpin seperti Jokowi inilah yang diharapkan publik? Ataukah ia hanya sekadar mencerminkan keinginan publik untuk menghadirkan sosok yang bergaya kepemimpinan antitesis Susilo Bambang Yudhoyono?
Ketika Jokowi terpilih untuk kedua kalinya sebagai Wali Kota Surakarta, dengan persentase dukungan lebih dari 90 persen, sosok ini semakin naik daun. Setelah terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta, ia benar-benar mampu menunjukkan dirinya sebagai bintang politik yang meroket. Publik melirik gaya kepemimpinannya yang berbeda. Ia merakyat, justru karena keberhasilannya melepas simbol-simbol kepriayian alias elitisme politiknya. Ia tidak canggung bercengkerama dengan khalayak. Tidak hanya menunjukkan empatinya. Tetapi, dengan kewenangan yang dimilikinya, dia juga cepat menyelesaikan persoalan.
Para pengkritik memang sering melontarkan komentar bahwa gaya "blusukan" Jokowi parsial dan tidak menyentuh akar masalah. Tetapi tampaknya publik lebih suka gaya kepemimpinannya yang humanis-komunikatif dan proses kebijakannya yang dialogis-transparan, bukan hasil akhirnya. Tentu banyak yang kecewa atas kepemimpinan Jokowi yang sudah lebih dari 100 hari ini. Tetapi ia sudah telanjur hadir sebagai model.
Dengan begitu, Jokowi segera diposisikan sebagai antitesis kepemimpinan arus utama Yudhoyono. Model kepemimpinan Jokowi seperti menjadi semacam ekstrem lain. Dari sudut inilah, dan berkat liputan media yang kontinu, kalau bukan dramatik, sebagaimana disinggung Didik J. Rachbini, meroketnya elektabilitas Jokowi segera bisa dipahami. Tetapi, apakah hal demikian akan membuatnya terpukau dan diam-diam merancang skenario pemenangan calon presiden?
Jawaban sementara Jokowi singkat dan jelas. Ia memilih berkonsentrasi mengatasi "permasalahan banjir dan macet", yang segera dimaknai bahwa ia akan konsisten dengan tugas dan tanggung jawabnya sebagai gubernur. Ini menunjukkan bahwa Jokowi tahu diri, dalam arti tidak elok kalau, di tengah kompleksitas persoalan Jakarta, ia nggege mongso alias ambisius untuk menjadi presiden. Jurus anti-marketing Jokowi ini diperkirakan justru semakin mengkhawatirkan para pesaing. Maksudnya, kerja kerasnya untuk DKI Jakarta malah membuatnya semakin populer dan elektabel.
Jokowi dibatasi tanggung jawab politik dan moral. Kalau Jokowi nekat memilih maju sebagai calon presiden atau calon wakil presiden dengan kendaraan dan alasan apa pun, ia segera terbentur masalah politis dan sekaligus etis. Secara politik, ada dampaknya. Secara etis, ia akan memberi contoh buruk dan menjadi model pejabat publik yang tidak konsisten dalam mengawali dan mengakhiri masa jabatannya secara wajar.
Seandainya pun petinggi PDIP menugasinya sebagai calon presiden 2014, Jokowi harus berani berkata tidak. Demikian pula, ia juga harus tidak terprovokasi oleh kelompok-kelompok politik dan kepentingan yang mendesak agar mundur dari jabatannya sebagai gubernur dan maju sebagai capres. Toh, pemimpin sejati tidak harus menjabat presiden. 
Sebab, kalau ya, maka Jokowi akan masuk ke labirin politik yang dilematis, kalau bukan suatu kecelakaan politik yang susah dimaafkan. Menjadi presiden memang membuat Jokowi punya banyak kesempatan untuk menunjukkan dirinya sebagai pemimpin bangsa. Tetapi, manakala caranya kurang etis dan lepas tanggung jawab dari jabatan gubernur yang belum final, tidak hanya akan ada "rasa bersalah" yang menghantui, tetapi juga memicu arus balik kekecewaan publik.
Memimpin DKI, di tengah-tengah elektabilitas capres yang demikian tinggi, tidak kalah kesatria atau gagah dibanding seandainya menjadi presiden. Jokowi menjadi bintang media, karena ruang lingkup kepemimpinannya jelas. Belum tentu, kalau Jokowi menjabat presiden, "partai media massa" masih memihaknya. PDIP memang belum meresmikan capresnya. Tapi, agaknya, di tengah embusan wacana oleh tokoh senior PDIP, Taufiq Kiemas, tentang pentingnya capres muda, kans Megawati tetap yang terbesar. Megawati paling berpeluang untuk maju lagi sebagai capres. Dalam tradisi PDIP, itu lebih baik ketimbang memaksakan Jokowi yang terikat menjalankan amanat rakyat sebagai Gubernur DKI. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar