Sabtu, 02 Februari 2013

Integrative Science Kurikulum 2013


Integrative Science Kurikulum 2013
Vivit Nur Arista Putra ;  Direktur Eksekutif Pusaka Pendidikan UNY
SUARA KARYA, 02 Februari 2013  

Pemerintah untuk kesekian kalinya melakukan perubahan kurikulum. Hal ini dilakukan untuk menghadapi tuntutan zaman, seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu, misi jangka panjangnya adalah menyiapkan generasi emas 2045.
Pada beberapa tahun mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Jika dapat mengelolanya dengan baik tentu jumlah penduduk yang melimpuh akan menyokong pertumbuhan ekonomi negara. Sebaliknya jika buruk pengelolaannya, maka malah akan menjadi beban negara untuk mencukupi kebutuhan kesehariannya.
Menurut data, kini komposisi penduduk menempatkan usia produktif paling tinggi di antara usia anak-anak dan lansia. Rinciannya, kelompok usia 0-9 tahun berjumlah 45,93 juta, 10-19 tahun berjumlah 43,55 juta. Pada 2045, mereka yang berusia 0-9 tahun akan berusia 35-45 tahun, sedangkan mereka yang berumur 10-19 tahun akan berusia 45-54 tahun.
Untuk memoles sumber daya manusia (SDM) yang melimpah ruah inilah dibutuhkan proses pendidikan yang baik. Inilah salah satu alasan mengapa kurikulum pendidikan nasional kini mengalami perubahan. Organ pendidikan yang menjadi pedoman adalah kurikulum. Sebab, kurikulum merupakan pedoman penyelenggaraan pendidikan. Sebelum membuat perencanaan kurikulum baru perlu dilakukan evaluasi kurikulum.
Para ahli menjabarkan tujuan evaluasi adalah untuk mengetahui keberhasilan pelaksanaan kurikulum di satuan pendidikan diperlukan evaluasi kurikulum. Menurut Oemar Hamalik (2006), evaluasi kurikulum adalah proses pembuatan pertimbangan berdasarkan seperangkat kriteria yang disepakati dan dapat dipertanggungjawabkan untuk membuat keputusan mengenai suatu kurikulum.
Perspektif lainnya diungkapkan Mohamad Ali (1985), evaluasi kurikulum sebenarnya bukan hanya semata-mata dilakukan terhadap salah satu komponen saja, melainkan terhadap seluruh komponen, baik tujuan, bahan, organisasi, metode, maupun proses evaluasi itu sendiri.
Definisi berikutnya disampaikan Ralph Tyler (2005) bahwa evaluasi kurikulum adalah proses pengumpulan data untuk menentukan sejauh mana, dalam hal apa dan bagaimana tujuan pendidikan sudah tercapai. Cronbach dan Stufflebeam (2005) menambahkan, evaluasi tidak sekadar mengukur sejauh mana tujuan tercapai, tetapi juga digunakan untuk membuat keputusan, sehingga evaluasi kurikulum adalah mengukur sejauh mana ketercapaian kurikulum yang dibuat dengan data-data yang telah dikumpulkan. Ada beberapa isu krusial pada Kurikulum 2013 yang masih problematik. Salah satunya mengenai integratif science mata pelajaran IPA dan IPS.
Setelah mengkaji identifikasi masalah pada uji publik Kurikulum 2013 dan berdiskusi dengan beberapa tokoh dan pakar pendidikan, penulis mengkritisi dengan beberapa argumentasi untuk masukan.
Pertama, Pemerintah menawarkan 3 alternatif untuk struktur kurikulum SD. Alternatif pertama mata pelajaran IPA dan IPS ditiadakan sebagai disiplin ilmu (bahasa Pak Nuh diintegrasikan).
Sedangkan alternatif kedua dan ketiga masih diadakan. Pusaka Pendidikan bersikap, mata pelajaran IPA dan IPS tetap penting diberikan untuk siswa SD sebagai disiplin ilmu tersendiri bukan diintegrasikan. Kedua varian pengetahuan di atas penting sebagai pijakan bagi siswa untuk mengenal dan mempelajari fenomena alam sekitar dan mempelajari ilmu sosial serta humaniora sebagai bekal untuk mengetahui norma sosial, adat istiadat, dan interaksi sosial.
Secara teoritis anak SD kelas IV-VI sudah dapat menalar kedua mata pelajaran di muka. Menurut Jean Piaget, teori kognitif manusia dibagi menjadi empat: stadium sensori motorik (0-18 atau 24 bulan), stadium pra operasional (18/24 bulan - 7 tahun), stadium operasional konkrit (7-11 tahun), stadium operasional formal (11 tahun ke atas).
Stadium operasional formal berusia 11 tahun atau setara kelas IV-VI. Cara berfikirnya tidak terikat atau terlepas dari tempat dan waktu. Artinya, pada usia ini anak mampu berfikir konsep dan abstrak seperti yang terkandung dalam mapel IPA dan IPS. Jadi secara usia anak, mereka mampu menerima.
Selain itu, jika pemerintah tetap menghapus IPA dan IPS di jenjang SD, secara yuridis melanggar konstitusi Pasal 37 ayat 1 (e) dan (f) UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang berbunyi, "Kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat ...(e) ilmu pengetahuan alam dan (f) ilmu pengetahuan sosial." an PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan bab III bagian kedua kerangka dasar dan struktur kurikulum pasal 6 ayat 1. Jika Kemendikbud bersikeras untuk menghapus, boleh jadi akan berpotensi digugat melalui judicial review.
Seyogianya mata pelajaran IPA dan IPS untuk jenjang SD-SMP tetap harus dijadikan disiplin ilmu tersendiri bukan tematik, integrative science, dan integrative social studies. Karena, paradigma keilmuannya dan standar kompetensinya berbeda sehingga membutuhkan pendalaman dengan sudut pandang belajar dengan mata pelajaran tersebut bukan mata pelajaran lain. Penggabungan ini berpotensi menggerus standar kompetensi mata pelajaran pasangannya, karena arah pengajarannya tidak fokus.
Di termin lain, disiplin ilmu IPA dan IPS di jenjang SMP dapat dijadikan fondasi untuk mengambil salah satu jurusan di SMA. Meskipun wacananya penjurusan di SMA akan dihapus, tetapi menurut penulis, penjurusan tersebut penting dan harus tetap ada sebagai pijakan keilmuan untuk mengambil konsentransi jurusan ketika di perguruan tinggi.
Bagaimanapun, kepakaran dan spesifikasi keilmuan sangat penting. Karena, ke depan peserta didik dituntut mempunyai kecerdasan sesuai dengan kepakaran, bakat, dan minatnya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar