Minggu, 17 Februari 2013

Indonesia Darurat Narkoba


Indonesia Darurat Narkoba
Ahmad Yani  Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
SINDO, 16 Februari 2013


Sindikat internasional kejahatan narkoba leluasa mengembangkan sel-sel organisasinya di seantero negeri ini karena Indonesia tidak militan memerangi kejahatan ini. 

Data dan fakta terkini mengenai kejahatan narkoba dengan segala eksesnya begitu mencemaskan dan menggelisahkan. Namun, belum ada kemauan untuk menjadikan ancaman ini sebagai kejahatan luar biasa terhadap masa depan bangsa dan negara. Derajat ancaman narkoba tiba-tiba mengejutkan dan menakutkan puluhan juta keluarga. Ancaman itu terasa begitu dekat dan selalu berada dimana pun.

Di sekolah, di tempat-tempat kumpulan remaja, di tempat kerja, dan di semua ruang publik. Ancaman narkoba sudah berada di semua ruang dan waktu, mengintai siapa saja, tanpa memandang umur, kelas sosial, dan jabatan atau kepangkatan. Saat ini, sekitar 5 juta warga Indonesia hidup mengenaskan akibat kecanduan. Setiap hari sekitar 50 orang tewas akibat narkoba. Perputaran uang dari bisnis haram ini pun mencapai Rp1 triliun per hari. Evolusi ancamannya juga begitu cepat. 

Setelah berhasil mengembangkan sel-sel organisasinya di berbagai lingkungan kehidupan masyarakat, tiba-tiba warga bangsa harus menerima kenyataan bahwa sindikat kejahatan narkoba sudah menyusup ke sejumlah institusi negara. Kini bukan rahasia lagi, sel-sel organisasi kejahatan narkoba sudah eksis di tubuh birokrasi negara. Dari penyusupan itu bisa dibaca bahwa agenda besar sindikat kejahatan narkoba adalah kepentingan mempertahankan dan memperluas pangsa pasar mereka di negara ini. 

Biladitahun-tahun terdahulu sindikat kejahatan ini bahkan bisa merekrut ibu-ibu rumah tangga untuk dijadikan pengedar, kini sindikat kejahatan itu memiliki ratusan—bahkan mungkin ribuan—oknum penegak hukum dan pegawai negeri sipil (PNS) sebagai orang-orang lapangan mereka. Oknum penegak hukum dan PNS itu dijadikan ‘staf bayangan’, penghubung, bahkan pengedar. 

Maka jangan heran, sekalipun anggota sindikat masih meringkuk di sel-sel penjara, mereka masih tetap memiliki akses untuk berkomunikasi dengan lingkungan di luar penjara untuk menjalankan dan mengendalikan bisnis haram ini. Tentu saja semua kegiatan ilegal itu bisa terlaksana berkat pengkhianatan oknum penegak hukum dan oknum PNS terhadap negara dan bangsanya sendiri. 

Apa taruhannya bagi bangsa dan negara? Ancaman narkoba yang terus berevolusi bukan sekadar wabah virus yang mengancam kesehatan dan merusak mental generasi muda. Kalau hanya diasumsikan demikian, itu menyederhanakan persoalan karena tidak mendalami dan menghayati ekses ancaman narkoba dewasa ini. Harap disadari bahwa setelah merusak mental dan membunuh jutaan orang muda di negara ini, sindikat kejahatan narkoba mengarahkan ancamannya pada negara: secara sistematis memperlemah semua aspek kekuatan negara di masa depan. 

Itulah yang sedang dipertaruhkan bangsa ini, jika tidak ada militansi memerangi aksi kejahatan narkoba yang hari-hari ini sedang dan terus digelar sindikat internasional di seluruh wilayah tanah air. Ingat, Indonesia adalah negara besar, kaya akan sumber alam, dan sebuah kawasan pasar yang besar dan sangat potensial. Inilah yang menjadi target masa depan kekuatan-kekuatan asing. Mencekoki generasi muda Indonesia dengan narkoba akan membunuh daya inovasi dan kreativitas bangsa. Dengan keberhasilan sindikat narkoba menyusup ke tubuh birokrasi negara, kemampuan negara memerangi kejahatan narkoba otomatis dilemahkan. 

Banjir Pengampunan 

Tanda-tanda mulai melemahnya kekuatan negara bukan hanya dirasakan, melainkan terlihat telanjang. Sebab, dalam suatu periode waktu yang terbilang sangat singkat, pemerintah begitu demonstratif memberi pengampunan dan mengurangi hukuman kepada terpidana narkoba. Negara ini tampak semakin tak berdaya ketika seorang hakim agung ketahuan mengurangi hukuman mati terpidana narkoba dengan memalsukan vonis majelis melalui tulisan tangannya. 

Setelah grasi dari Presiden untuk terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby, warga negara Australia, masyarakat menyaksikan terjadinya banjir pengampunan atau pengurangan hukuman terhadap penjahat narkoba kelas kakap. Corby divonis 20 tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) karena kedapatan membawa 4,2 kilogram mariyuana di Bandara Ngurah Raipada 8 Oktober 2004. Mei tahun lalu dia mendapatkan grasi itu. 

Setelah itu, berkait dengan peringatan HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan RI, wanita ini mendapatkan lagi remisi enam bulan. Setelah Corby giliran terpidana narkoba Franz Grobmann asal Jerman yang mendapatkan grasi. Grobmann ditangkap di Bali pada Maret 2010 karena membawa 2,2 gram ganja. Di pengadilan kasasi, Grobmann divonis 5 tahun penjara. Tak berhenti pada Corby dan Grobmann, Presiden kemudian juga mengabulkan permohonan grasi yang diajukan dua terpidana mati kasus narkoba, Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika Pranola alias Ola. 

Hukuman keduanya diubah menjadi pidana seumur hidup. Proses grasi Ola yang serbaaneh akhirnya menjadi kontroversi yang memojokkan posisi Presiden. Bahkan Kantor Presiden dinilai tidak bersih, karena para pembantu Presiden menerbitkan rekomendasi yang menyesatkan Presiden dalam konteks grasi Ola. Presiden diberi masukan bahwa Ola hanya seorang kurir, bukan Bandar atau pengedar. Informasi ini menjadi dasar keputusan Presiden memberikan grasi itu. 

Padahal, vonis mati bagi Ola sudah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dan Kasasi MA, berlandaskan pada vonis Pengadilan Negeri Tangerang. Apalagi, MA juga memberi rekomendasi kepada Presiden untuk menolak permohonan grasi Ola. Banjir pengampunan dan pengurangan hukuman bagi terpidana mati kasus narkoba tidak hanya berbuah kontroversi, melainkan juga memunculkan kasus pelanggaran hokum yang dilakukan oleh oknum hakim agung. 

Adalah kasus hakim agung Yamanie yang dinilai sangat keterlaluan. Yamanie bersama hakim agung Imron Anwari dan Nyak Pha sudah menganulir hukuman mati atas terpidana gembong narkoba Hanky Gunawan menjadi hukuman penjara 15 tahun, tetapi Yamanie masih berusaha meringankan hukuman itu. Dia memalsukan putusan dengan membubuhkan tulisan tangan vonis 12 tahun. Selain itu, MA juga menganulir hukuman mati atas pemilik 5,8 kilogram heroin, Hillary K Chimezie, yang juga warga Nigeria. 

Ironis, karena banjir pengampunan dan pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba itu menimbulkan kesan bahwa pemerintah sama sekali tidak peduli dengan data dan fakta terkini tentang kejahatan narkoba dengan segala eksesnya. Jumlah pencandu narkoba yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi di seluruh Indonesia diperkirakan sudah mencapai kisaran 20.000 orang. Negara harus mengalokasikan anggaran triliunan rupiah untuk membiayai program rehabilitasi para pencandu. 

Menurut Badan Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan pelajar mencapai 4,7% dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar 921.695 orang. Dan, 61%di antaranya menggunakan analgesik, dan 39% lainnya menggunakan ganja, amfetamin, ekstasi,dan lem. Bersamaan dengan itu, intensitas kejahatan narkoba di dalam negeri terus meningkat. Setiap hari, dari berbagai saluran media, publik bisa menyimak berita-berita mengenai penangkapan pengguna dan pengedar narkoba.

Keterlibatan warga negara asing (WNA) dalam kejahatan ini di Indonesia juga terbilang masif. Hal yang lebih memprihatinkan lagi, di antara begitu banyak deretan tersangka, terdakwa atau terpidana, jumlah mereka yang berlatar belakang penegak hukum negara dan PNS pun tidak sedikit. Pemerintah juga sebenarnya sudah memiliki catatan tentang hal ini. Kepala LP Nusakambangan sudah dijerat pihak berwajib karena terlibat bisnis narkoba. 

Sejumlah sipir penjara pun dijerat polisi karena melakukan hal yang sama. Ada oknum jaksa yang ditangkap karena dugaan terlibat jual beli narkoba hasil sitaan. Belum lagi ratusan oknum polisi yang terlibat kasus narkoba. Bahkan oknum hakim pun kedapatan mengonsumsi narkoba. Dari rangkaian fakta ini, negara semestinya tidak lagi melihat kejahatan narkoba sebagai persoalan biasa-biasa saja. Kejahatan narkoba patut dilihat sebagai kejahatan luar biasa yang mengancam masa depan ketahanan dan kemandirian bangsa. Penyelesaiannya pun harus secara extraordinary. Indonesia sudah dalam kondisi darurat narkoba.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar