Sindikat internasional
kejahatan narkoba leluasa mengembangkan sel-sel organisasinya di seantero
negeri ini karena Indonesia tidak militan memerangi kejahatan ini.
Data dan fakta
terkini mengenai kejahatan narkoba dengan segala eksesnya begitu
mencemaskan dan menggelisahkan. Namun, belum ada kemauan untuk menjadikan
ancaman ini sebagai kejahatan luar biasa terhadap masa depan bangsa dan
negara. Derajat ancaman narkoba tiba-tiba mengejutkan dan menakutkan puluhan
juta keluarga. Ancaman itu terasa begitu dekat dan selalu berada dimana pun.
Di sekolah, di
tempat-tempat kumpulan remaja, di tempat kerja, dan di semua ruang publik.
Ancaman narkoba sudah berada di semua ruang dan waktu, mengintai siapa
saja, tanpa memandang umur, kelas sosial, dan jabatan atau kepangkatan.
Saat ini, sekitar 5 juta warga Indonesia hidup mengenaskan akibat
kecanduan. Setiap hari sekitar 50 orang tewas akibat narkoba. Perputaran
uang dari bisnis haram ini pun mencapai Rp1 triliun per hari. Evolusi ancamannya
juga begitu cepat.
Setelah
berhasil mengembangkan sel-sel organisasinya di berbagai lingkungan
kehidupan masyarakat, tiba-tiba warga bangsa harus menerima kenyataan bahwa
sindikat kejahatan narkoba sudah menyusup ke sejumlah institusi negara. Kini
bukan rahasia lagi, sel-sel organisasi kejahatan narkoba sudah eksis di
tubuh birokrasi negara. Dari penyusupan itu bisa dibaca bahwa agenda besar
sindikat kejahatan narkoba adalah kepentingan mempertahankan dan memperluas
pangsa pasar mereka di negara ini.
Biladitahun-tahun
terdahulu sindikat kejahatan ini bahkan bisa merekrut ibu-ibu rumah tangga
untuk dijadikan pengedar, kini sindikat kejahatan itu memiliki
ratusan—bahkan mungkin ribuan—oknum penegak hukum dan pegawai negeri sipil
(PNS) sebagai orang-orang lapangan mereka. Oknum penegak hukum dan PNS itu
dijadikan ‘staf bayangan’, penghubung, bahkan pengedar.
Maka jangan
heran, sekalipun anggota sindikat masih meringkuk di sel-sel penjara,
mereka masih tetap memiliki akses untuk berkomunikasi dengan lingkungan di
luar penjara untuk menjalankan dan mengendalikan bisnis haram ini. Tentu
saja semua kegiatan ilegal itu bisa terlaksana berkat pengkhianatan oknum
penegak hukum dan oknum PNS terhadap negara dan bangsanya sendiri.
Apa taruhannya
bagi bangsa dan negara? Ancaman narkoba yang terus berevolusi bukan sekadar
wabah virus yang mengancam kesehatan dan merusak mental generasi muda.
Kalau hanya diasumsikan demikian, itu menyederhanakan persoalan karena
tidak mendalami dan menghayati ekses ancaman narkoba dewasa ini. Harap
disadari bahwa setelah merusak mental dan membunuh jutaan orang muda di
negara ini, sindikat kejahatan narkoba mengarahkan ancamannya pada negara:
secara sistematis memperlemah semua aspek kekuatan negara di masa depan.
Itulah yang sedang
dipertaruhkan bangsa ini, jika tidak ada militansi memerangi aksi kejahatan
narkoba yang hari-hari ini sedang dan terus digelar sindikat internasional
di seluruh wilayah tanah air. Ingat, Indonesia adalah negara besar, kaya
akan sumber alam, dan sebuah kawasan pasar yang besar dan sangat potensial.
Inilah yang menjadi target masa depan kekuatan-kekuatan asing. Mencekoki generasi
muda Indonesia dengan narkoba akan membunuh daya inovasi dan kreativitas
bangsa. Dengan keberhasilan sindikat narkoba menyusup ke tubuh birokrasi
negara, kemampuan negara memerangi kejahatan narkoba otomatis dilemahkan.
Banjir Pengampunan
Tanda-tanda
mulai melemahnya kekuatan negara bukan hanya dirasakan, melainkan terlihat
telanjang. Sebab, dalam suatu periode waktu yang terbilang sangat singkat, pemerintah
begitu demonstratif memberi pengampunan dan mengurangi hukuman kepada
terpidana narkoba. Negara ini tampak semakin tak berdaya ketika seorang
hakim agung ketahuan mengurangi hukuman mati terpidana narkoba dengan
memalsukan vonis majelis melalui tulisan tangannya.
Setelah grasi
dari Presiden untuk terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby, warga negara
Australia, masyarakat menyaksikan terjadinya banjir pengampunan atau
pengurangan hukuman terhadap penjahat narkoba kelas kakap. Corby divonis 20
tahun penjara oleh Mahkamah Agung (MA) karena kedapatan membawa 4,2
kilogram mariyuana di Bandara Ngurah Raipada 8 Oktober 2004. Mei tahun lalu
dia mendapatkan grasi itu.
Setelah itu,
berkait dengan peringatan HUT ke-67 Proklamasi Kemerdekaan RI, wanita ini
mendapatkan lagi remisi enam bulan. Setelah Corby giliran terpidana narkoba
Franz Grobmann asal Jerman yang mendapatkan grasi. Grobmann ditangkap di
Bali pada Maret 2010 karena membawa 2,2 gram ganja. Di pengadilan kasasi,
Grobmann divonis 5 tahun penjara. Tak berhenti pada Corby dan Grobmann,
Presiden kemudian juga mengabulkan permohonan grasi yang diajukan dua
terpidana mati kasus narkoba, Deni Setia Maharwan alias Rafi dan Merika
Pranola alias Ola.
Hukuman
keduanya diubah menjadi pidana seumur hidup. Proses grasi Ola yang
serbaaneh akhirnya menjadi kontroversi yang memojokkan posisi Presiden.
Bahkan Kantor Presiden dinilai tidak bersih, karena para pembantu Presiden
menerbitkan rekomendasi yang menyesatkan Presiden dalam konteks grasi Ola.
Presiden diberi masukan bahwa Ola hanya seorang kurir, bukan Bandar atau pengedar.
Informasi ini menjadi dasar keputusan Presiden memberikan grasi itu.
Padahal, vonis
mati bagi Ola sudah dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Bandung dan Kasasi MA,
berlandaskan pada vonis Pengadilan Negeri Tangerang. Apalagi, MA juga
memberi rekomendasi kepada Presiden untuk menolak permohonan grasi Ola.
Banjir pengampunan dan pengurangan hukuman bagi terpidana mati kasus
narkoba tidak hanya berbuah kontroversi, melainkan juga memunculkan kasus
pelanggaran hokum yang dilakukan oleh oknum hakim agung.
Adalah kasus
hakim agung Yamanie yang dinilai sangat keterlaluan. Yamanie bersama hakim
agung Imron Anwari dan Nyak Pha sudah menganulir hukuman mati atas
terpidana gembong narkoba Hanky Gunawan menjadi hukuman penjara 15 tahun,
tetapi Yamanie masih berusaha meringankan hukuman itu. Dia memalsukan
putusan dengan membubuhkan tulisan tangan vonis 12 tahun. Selain itu, MA
juga menganulir hukuman mati atas pemilik 5,8 kilogram heroin, Hillary K
Chimezie, yang juga warga Nigeria.
Ironis, karena
banjir pengampunan dan pengurangan hukuman bagi terpidana narkoba itu
menimbulkan kesan bahwa pemerintah sama sekali tidak peduli dengan data dan
fakta terkini tentang kejahatan narkoba dengan segala eksesnya. Jumlah
pencandu narkoba yang mendapatkan terapi dan rehabilitasi di seluruh
Indonesia diperkirakan sudah mencapai kisaran 20.000 orang. Negara harus
mengalokasikan anggaran triliunan rupiah untuk membiayai program
rehabilitasi para pencandu.
Menurut Badan
Narkotika Nasional (BNN), prevalensi penyalahgunaan narkoba di lingkungan
pelajar mencapai 4,7% dari jumlah pelajar dan mahasiswa atau sekitar
921.695 orang. Dan, 61%di antaranya menggunakan analgesik, dan 39% lainnya
menggunakan ganja, amfetamin, ekstasi,dan lem. Bersamaan dengan itu,
intensitas kejahatan narkoba di dalam negeri terus meningkat. Setiap hari,
dari berbagai saluran media, publik bisa menyimak berita-berita mengenai
penangkapan pengguna dan pengedar narkoba.
Keterlibatan
warga negara asing (WNA) dalam kejahatan ini di Indonesia juga terbilang
masif. Hal yang lebih memprihatinkan lagi, di antara begitu banyak deretan
tersangka, terdakwa atau terpidana, jumlah mereka yang berlatar belakang
penegak hukum negara dan PNS pun tidak sedikit. Pemerintah juga sebenarnya
sudah memiliki catatan tentang hal ini. Kepala LP Nusakambangan sudah dijerat
pihak berwajib karena terlibat bisnis narkoba.
Sejumlah sipir
penjara pun dijerat polisi karena melakukan hal yang sama. Ada oknum jaksa
yang ditangkap karena dugaan terlibat jual beli narkoba hasil sitaan. Belum
lagi ratusan oknum polisi yang terlibat kasus narkoba. Bahkan oknum hakim
pun kedapatan mengonsumsi narkoba. Dari rangkaian fakta ini, negara
semestinya tidak lagi melihat kejahatan narkoba sebagai persoalan
biasa-biasa saja. Kejahatan narkoba patut dilihat sebagai kejahatan luar
biasa yang mengancam masa depan ketahanan dan kemandirian bangsa. Penyelesaiannya
pun harus secara extraordinary.
Indonesia sudah dalam kondisi darurat narkoba. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar