Senin, 11 Februari 2013

Haru Biru Partai Segitiga Biru


Haru Biru Partai Segitiga Biru
Ikrar Nusa Bhakti ;   Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI
KOMPAS, 11 Februari 2013


Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting yang dilakukan pada 6-20 Desember 2012 dan dirilis akhir pekan lalu sungguh mengharubirukan para pengurus Partai Demokrat.

Partai yang berdiri pada 9 September 2001 ini, menurut hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), elektabilitasnya semakin merosot tajam, yaitu tinggal 8 persen, walau masih menduduki peringkat ketiga setelah Partai Golkar (21 persen) dan PDI-P (18 persen). Padahal, pada Pemilu Legislatif 2004, Demokrat mengawali debut politik dengan memperoleh 8.455.225 suara (7,45 persen), yang setara dengan 57 kursi di DPR, dan melonjak tajam jadi 21.703.137 suara (20,4 persen), setara dengan 150 kursi di DPR.

Kekhawatiran para pendiri dan pengurus Demokrat ialah apabila menjelang Pemilu Legislatif 2014 tak ada perubahan positif atas elektabilitasnya, perolehan suara Demokrat bukan saja kian tergerus, melainkan juga akan sulit mencapai ambang batas parlemen (parliamentary threshold) 3,5 persen. Ini berarti, nama Demokrat akan tinggal kenangan. Bisa dibayangkan betapa pedihnya para pendiri melihat partai yang dibangun dengan susah payah lenyap ditelan zaman dalam waktu begitu cepat, hanya 13 tahun.

Gesekan Politik Baru

Hasil survei SMRC tentunya tak berbeda jauh dengan hasil survei lain yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia atau lembaga survei lain. Tidaklah mengherankan jika Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyebut kenyataan politik itu bukan lagi sekadar warning atau lampu kuning, melainkan sudah menjadi lampu merah bagi Demokrat. Seperti juga terjadi sebelumnya, para pendiri dan pengurus Demokrat bukan melihat hal itu sebagai suatu hikmah tersembunyi bagi upaya mengonsolidasi Demokrat, melainkan justru dijadikan manuver politik untuk, lagi-lagi, menyalahkan Ketua Umum Demokrat Anas Urbaningrum sebagai biang keladi keterpurukan Demokrat, dilanjutkan dengan berbagai upaya untuk menggulingkannya. Ibarat kaset rusak yang melantunkan suara sumbang berulang-ulang, beberapa petinggi Demokrat lagi-lagi meminta Ketua Dewan Pembina Demokrat SBY turun tangan menyelesaikan persoalan di partai berlambang segitiga biru ini.

Kita melihat, sejak Anas terpilih jadi ketua umum lewat kongres nasional di Bumi Priangan, 23 Mei 2010, mengalahkan Andi Mallarangeng dan Marzuki Alie, kemelut internal Demokrat tiada berakhir. Demokrat sebagai ”Partai Besar” ibarat kapal limbung diterpa badai yang datang silih berganti, dari persoalan faksionalisme yang tak sehat sampai korupsi besar yang menghancurleburkan nama Demokrat, yang slogan kampanyenya pada Pemilu Legislatif 2009 ialah ”Katakan Tidak pada Korupsi”. Di tengah badai dahsyat itu, Demokrat tak punya nakhoda kuat yang mampu menyelamatkan partai seperti dilakukan mantan Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung pada awal Reformasi, yang mampu menyatukan seluruh jajaran Golkar agar berjuang membangun ”Golkar Baru” supaya partai itu tak lekang kena panas dan tak hancur diterpa badai.

Demokrat menghadapi banyak kesulitan, antara lain, pertama, Demokrat belum beranjak dari fenomena politik ”Fans Club SBY” dan belum mampu menunjukkan dirinya sebagai ”Partai Besar”. Meski segala aturan main politiknya sudah lengkap, Demokrat masih bergantung pada sosok ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, dan ketua majelis tinggi yang semuanya dipegang satu orang, SBY, dalam menyelesaikan persoalan besar yang dihadapi. Demokrat belum punya mekanisme penyelesaian konflik atau kemelut yang baik dalam artian yang nyata. Para politisi Demokrat juga amat kaku atau kurang luwes dalam upaya mencari jalan keluar atas kemelut yang mereka hadapi.

Kedua, sosok ketua dewan pembina yang selalu sangat hati-hati berdasar pada aturan main partai menyebabkan kurang beraninya SBY mencari terobosan baru yang apik dan diterima semua jajaran partai. Sebagai mantan jenderal yang memang lebih berpengalaman sebagai konseptor politik ketimbang komandan lapangan, SBY lebih menyukai melakukan ”tindakan dengan meminjam tangan orang lain” (action by proxy) sebagai modifikasi dari strategi war by proxy ketimbang turun tangan sendiri langsung. Sebagai contoh, kemelut Demokrat terakhir ini bukannya diselesaikan sendiri olehnya melalui manuver yang amat cantik, melainkan justru ingin meminjam tangan Komisi Pemberantasan Korupsi agar cepat-cepat menyelesaikan kasus-kasus korupsi di jajaran Demokrat yang, antara lain, menyeret nama Anas.

Untungnya, Indonesia tak lagi berada di dalam sistem otoriter yang dulu memungkinkan ucapan seorang penguasa lebih sakti daripada aturan hukum. Pendekatan kekuasaan kini telah berganti dengan pendekatan hukum. Karena itu, tidaklah mengherankan jika Ketua KPK Abraham Samad dan Juru Bicara KPK Johan Budi menampik untuk mengikuti irama SBY dengan mengatakan, ”KPK tidak ada urusan dengan politik!” Memang, urusan internal Demokrat adalah urusan Demokrat sendiri dan bukan urusan KPK.

Ketiga, Demokrat belum mampu membangun rasa kebersamaan atau perasaan kekitaan (We Feeling) di jajaran pengurus partai, dari pusat sampai ke daerah, sehingga yang masih terbangun adalah ”konsep kekitaan” di dalam faksi-faksi yang ada di Demokrat berhadapan dengan konsep ”mereka” (They) atau faksi lain. Tidaklah mengherankan jika setiap ada gagasan dari orang per orang pendiri atau pengurus, selalu dipandang mewakili individu atau kelompok yang berlawanan. Sebagai contoh, ketika ada jajaran pendiri atau pengurus pusat yang mengusulkan agar Anas mundur atau diganti melalui KLB, atau agar SBY turun tangan menyelesaikan kasus di Demokrat, seperti yang substansinya diutarakan tiga menteri asal Demokrat (Jero Wacik, Syarifuddin Hasan, dan Amir Syamsuddin), saat itu juga akan ada pendukung Anas yang pasang kuda-kuda untuk mempertahankannya.

Anas memang berakar ke bawah dan tak jarang membuat pernyataan atau manuver politik yang menunjukkan perlawanan atau pembangkangan terhadap ketua dewan pembina atau tokoh pendiri Demokrat lainnya. Sebagai contoh, Anas pernah mengatakan, keterpurukan elektabilitas Demokrat bukan karena dirinya, melainkan karena kinerja pemerintah yang juga buruk di mata sebagian orang.

Meski ada beberapa kandidat kepala daerah yang didukung Demokrat yang sudah menang, seperti di Sulawesi Utara (SH Sarundajang) dan Papua (Lukas Enembe), atau kemungkinan besar akan menang dalam pilkada, seperti Gubernur Bali Made Mangku Pastika yang seperti Sarundajang hijrah ke Demokrat dari sebelumnya didukung PDI-P atau Gubernur Jawa Timur Soekarwo yang masih kuat, orang lebih melihat kekalahan telak Demokrat di Pilkada DKI Jakarta 2012 dan Pilkada Sulawesi Selatan yang baru terjadi. Demokrat harus berusaha keras bangkit dan bersatu serta mampu menyelesaikan kemelut internalnya secara baik tanpa bantuan SBY. Jika tidak, bukan mustahil Demokrat akan masuk ke dalam sejarah politik Indonesia sebagai partai yang gemilang pada Pemilu Presiden 2004 dan Pemilu Legislatif serta Pemilu Presiden 2009 yang mendukung SBY, tetapi rontok setelah SBY ”tak laku dijual lagi sebagai komoditas politik” Demokrat pada Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar