Rabu, 06 Februari 2013

Harmonisasi Hubungan Pemerintah Pusat dan Swasta Terkait Perizinan


Harmonisasi Hubungan Pemerintah Pusat
dan Swasta Terkait Perizinan
Hilman Soelaiman ;  Ketua Komite Tetap Hubungan Antarlembaga Swasta Kadin
MEDIA INDONESIA, 05 Februari 2013


DI dalam teori politik dikatakan, pemerintah memiliki fungsi untuk ‘memasarkan’ potensi yang dimiliki suatu wilayah untuk kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Fungsi tersebut memberikan legitimasi tersendiri kepada pemerintah untuk berperan serta dan aktif di dalam bisnis.

Sejarah mencatat hal itu telah diterapkan Indonesia sejak usia dini kemerdekaannya. Berbagai sektor strategis dikuasai negara secara signifi kan dengan melibatkan pe ranan marginal sektor swasta.

Namun, seiring dengan waktu dan dinamika kondisi ekonomi politik di Indonesia, berbagai sektor yang dinilai strategis mengalami penataan ulang atau deregulasi yang memungkinkan peranan lebih besar dari pihak swasta dalam pengelolaannya. Peranan pemerintah bergeser menjadi penentu rambu-rambu dan pengawas sektor tersebut.
Transisi tersebut dinilai kondusif sejalan dengan kondisi yang ada. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri pemerintah memiliki peran penting dalam mendorong masuknya investasi atau kapital dan menciptakan iklim investasi yang kondusif agar roda perekonomian terus berjalan.

Kondisi yang berkembang saat ini ialah pemerintah belum mampu memberikan jamin an keamanan berusaha bagi investor baik asing maupun lokal untuk mengembangkan usaha di daerah. Tiga hal yang menghantui para investor dan para pionir yang mengembangkan usaha di suatu daerah tak juga kunjung terjawab: kepastian hukum dan jaminan keamanan, kondisi infrastruktur pendukung, serta birokrasi yang simpel, cepat, dan transparan.

Ironisnya, kondisi itu diperburuk dengan maraknya kasus-kasus kontroversial yang melibatkan pemerintah dan sektor swasta akibat dampak kebijakan otonomi daerah. Menurut temuan Kementerian Dalam Negeri pada Mei 2012, sekitar 173 kepala daerah tersangkut kasus hukum. Dengan kata lain, sepertiga kepala daerah di Indonesia bermasalah. Realitas itu cukup menyedihkan karena otonomi daerah justru melenceng dari fungsinya untuk menyejahterakan rakyat.

Ambil contoh, kasus hukum yang menimpa Siti Hartati Murdaya sebagai pionir usaha yang membuka lahan kelapa sawit di Kabupaten Buol sejak pertengahan 1990-an. Pada September 2010 dan Mei 2012, terjadi tindakan anarkis di wilayah tersebut yang hanya bisa dihentikan setelah pihak swasta membayar pungli pada oknum setempat. Pungli terpaksa dipenuhi karena perusahaan akan mengalami kerugian lebih besar jika terus berhenti beroperasi.

Ironis jika hal itu dianggap penyuapan karena terdapat indikasi kuat dari praktik pemerasan. Hal itu merupakan realitas yang menyedihkan karena terlihat bahwa negara justru tidak bisa menjaga keamanan wilayahnya dan pebisnis dijadikan sapi perah oleh kepala daerah. Situasi dilematis seperti itu bisa menjadi ancaman bagi iklim usaha pada umumnya. Tentunya pengusaha akan menjadi takut berinvestasi ke daerah terpencil karena tidak ada ketidakpastian hukum.

Jika kondisi tersebut dapat menimpa pengusaha Siti Hartati Murdaya yang dikenal sebagai pengusaha papan atas nasional, tokoh lintas agama, dan politik, pernahkah muncul di benak kita bagaimana perlindungan keamanan berusaha diberikan kepada pengusaha kecil dan menengah dalam mengembangkan usaha nya di daerah?

Sejak otonomi daerah digulirkan, ternyata tidak banyak memperbaiki kondisi sektor riil di daerah, terutama UKM yang masih sulit berkembang akibat buruknya infrastruktur yang menghambat pertumbuhan investasi serta jaminan keamanan berusaha. Di sisi lain, kebijakan dan regulasi pemerintah daerah juga belum bisa mendukung sektor riil dengan mayoritas APBD digunakan untuk belanja rutin. Hampir tidak ada anggaran untuk insentif bagi pengembangan sektor usaha produktif tersebut.

Rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang dicatat di atas kisaran 6% per tahun tidak ditopang kekuatan sektor riil. Hal itu ibarat ‘doping’ yang memiliki efek interim. Ironisnya, kondisi tersebut dapat disiasati dengan mengoptimalkan sektor UKM yang berpotensi menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor itu mampu menyerap tenaga kerja informal, membuka peluang ceruk pasar baru di daerah, dan memiliki nilai tambah dalam bentuk multiplier effect kepada usaha-usaha sejenis di industri yang sama.

Solusi dari kondisi tersebut dapat diawali dengan menelaah kembali fungsi pemerintah dalam ‘memasarkan’ potensi yang dimiliki suatu wilayah untuk kepentingan masyarakat seluas-luasnya. Konsekuensinya, pemerintah harus mampu memberikan jaminan keamanan berusaha sebagai daya tarik investasi, baik kepastian hukum, infrastruktur, maupun birokrasi yang efektif.

Spirit otonomi daerah harus disokong nilai kompetitif guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan kualitas pembangunan manusia di daerah. Di sisi lain, pemberantasan korupsi merupakan hal mutlak yang harus terus diperjuangkan negeri ini.

Kombinasi di antara kedua hal tadi perlu dilengkapi sistem peradilan tindak pidana korupsi yang adil. Jika fakta persidangan membuktikan pengusaha menjadi korban pungli, tidak perlu ada tekanan bagi hakim untuk membebaskan pengusaha dari jerat hukuman. Keputusan yang adil seperti itu akan memberikan kepastian usaha bagi pengusaha di era otonomi daerah. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar