Rabu, 20 Februari 2013

Gejala Inden Sekolah dan Best Process


Gejala Inden Sekolah dan Best Process
Biyanto Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim
JAWA POS, 20 Februari 2013


MUSIM pendaftaran siswa baru untuk tahun ajaran 2013/2014 memang belum dibuka secara resmi. Tetapi, jika diamati, ada banyak sekolah tingkat dasar dan menengah yang telah membuka pendaftaran siswa baru. Itu terutama dilakukan sekolah swasta berkategori unggulan dengan menggunakan sistem inden. 

Langkah itu tentu tidak dapat disalahkan karena sekolah sejatinya hanya merespons keinginan masyarakat. Bahkan, sistem inden juga dilakukan sekolah berkategori non unggulan dengan tujuan agar tetap memperoleh siswa baru untuk menjamin keberlangsungan sekolahnya. 

Ada sekolah yang laris manis sehingga pendaftarnya melampaui daya tampung. Bahkan, dengan gagah, sekolah tersebut menolak banyak pendaftar. Fenomena itu biasanya dialami sekolah berkategori mapan dengan segudang prestasi. 

Sementara di tempat lain yang berjarak tidak terlalu jauh, ada sekolah yang harus berjuang hingga tetes keringat penghabisan untuk mendapatkan siswa baru. Bahkan, hingga tahun ajaran baru dimulai, sekolah tersebut masih menerima pendaftaran. Kondisi itu biasanya dialami sekolah berkategori kecil dan miskin prestasi. 

Perbedaan nasib sekolah itu terjadi karena faktor keunggulan. Itu berarti jika lembaga pendidikan berkategori unggul, di mana pun posisinya pasti akan dicari. Pada konteks itulah, lembaga pendidikan harus memberikan layanan yang bermutu. Jika tidak begitu, pasti sekolah akan ditinggalkan stakeholder-nya.

Sekolah unggul merupakan terjemahan dari beberapa istilah seperti effective school, efficience school, high performance school, dan excellent school. Dalam praktiknya, untuk mengenalkan kepada masyarakat bahwa sekolahnya bermutu biasanya digunakan branding sekolah unggul, sekolah juara, sekolah plus, sekolah favorit, dan sekolah model. 

Sebelum Mahkamah Konstitusi (MK) menghapuskan rintisan sekolah berstandar internasional (RSBI), label RSBI juga digunakan untuk menunjukkan keunggulan sekolah. Tentu saja, beberapa branding itu absah digunakan asalkan di sekolah tersebut diterapkan budaya mutu. Artinya, ada jaminan standar mutu layanan yang ditetapkan sekolah.

Persoalan layanan mutu itu penting karena ada kalanya orang memahami pendidikan unggul sekadar dilihat dari sarana fisik, besarnya SPP, dan muridnya yang memang pilihan. Akibatnya, muncul persepsi bahwa sekolah unggul itu harus serba-''wah''. 

Tom J. Parkins (2003) dalam penelitiannya tentang pendidikan unggul di tanah air menyatakan bahwa ada tiga indikator yang harus dimiliki sekolah unggul, meliputi input, proses, dan output. Menurut Tom, sekolah unggul dapat dicapai melalui dua strategi, yaitu best input dan best process. 

Strategi best input meniscayakan sekolah untuk memperoleh siswa yang bermutu. Dalam praktiknya, sekolah berkategori best input menerapkan tes masuk yang sangat ketat, terutama yang berkaitan dengan kemampuan akademik siswa. Harapannya, sekolah memperoleh siswa yang terbaik. Dengan demikian, output yang dihasilkan sekolah pasti lulusan dengan capaian akademik luar biasa.

Pertanyaannya, capaian akademik yang luar biasa itu dikarenakan proses pendidikan di sekolah atau faktor lain? Diduga, anak-anak hebat lulusan sekolah yang menekankan strategi best input itu karena anaknya memang hebat sejak semula. Fasilitas bimbingan belajar di luar sekolah juga sudah disiapkan begitu rupa oleh orang tua siswa. Itu berarti kontribusi guru dalam proses pendidikan pada sekolah yang menekankan best input sangat kecil.

Sekolah unggul kategori kedua menekankan strategi best process. Sekolah tersebut biasanya tidak begitu menekankan kepada kualitas akademik anak saat awal masuk. Dalam kondisi apa pun, siswa yang mendaftar akan diterima. Semua siswa yang mendaftar akan dipetakan berdasar keunggulannya. Jadi, tidak ada proses seleksi yang ''jelimet'' untuk sekolah tersebut karena setiap guru telah menyiapkan diri menjadi agen perubahan (agent of change) bagi siswa. 

Setiap guru di sekolah berkategori best process juga menyadari betul ungkapan Edward Sallis dalam Total Quality Management in Education (2006) yang mengatakan bahwa recovery begins with teachers. Karena ujung tombak pendidikan adalah guru, para guru di sekolah yang menekankan strategi best process berusaha secara maksimal mengubah karakter anak dari yang biasa menjadi luar biasa. Guru di sekolah tersebut meyakini bahwa setiap anak pasti telah memiliki keunggulan, minat, dan bakat yang unik sebagai anugerah dari Tuhan. Tugas guru ialah menfasilitasi anak agar memaksimalkan potensi bawaan tersebut. 

Rasanya tipe sekolah berkategori best process itulah yang layak disebut pendidikan unggul. Tetapi, sayang, jumlah sekolah yang menekankan keunggulan pada best process ternyata sangat sedikit. Hasil penelitian Tom menunjukkan bahwa 99 persen sekolah unggul di tanah air membangun keunggulannya dengan strategi best input. Itu berarti hanya satu persen sekolah yang menekankan keunggulannya melalui strategi best process. 

Tugas kita sebagai stakeholder pendidikan ialah mendorong sebanyak mungkin sekolah agar menempuh strategi best process dengan guru hebat. Itu penting ditekankan karena jantung pendidikan sejatinya ada pada proses pembelajaran dengan guru-guru yang andal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar