Selasa, 12 Februari 2013

Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan


Evaluasi Penanggulangan Kemiskinan
Haryono Suyono ;   Ketua Yayasan Damandiri
SUARA KARYA, 11 Februari 2013
  

Pada akhir bulan Januari lalu Menko Kesra, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan beberapa kalangan mengeluh bahwa upaya penanggulangan kemiskinan menampakkan tren yang lamban. Atau kalau berhasil, nilai penurunannya kecil. Bahkan, di beberapa daerah trennya menampakkan stagnasi, maju tidak mundurpun tidak, alias seperti layaknya tari poco-poco. Padahal pelaksana dan anggaran yang telah disediakan dan terserap berjumlah triliunan rupiah. Begitu juga komitmen politiknya sangat tinggi disertai dengan petunjuk berupa Instruksi Presiden atau instruksi jajaran pimpinan di bawahnya yang cukup luas. Karena itu, dipertanyakan alasan kelambanan tersebut.

Dicatat bahwa beberapa daerah yang menunjukkan kemajuan berarti mempunyai strategi yang ampuh karena pemilihan sasaran yang tajam dan pengertian yang luas tentang bentuk intervensi dukungan yang diberikan kepada masyarakat miskin dan lingkungannya dalam artian luas. Daerah-daerah yang berhasil umumnya mempunyai kemampuan memperbaiki infrastruktur dan fasilitas yang memadai. Sehingga, keluarga miskin yang diberdayakan mampu mengakses pelayanan yang diberikan pemerintah atau dari partisipasi masyarakat yang peduli. Daerah-daerah yang menunjukkan kenaikan IPM ditandai munculnya keluarga miskin yang menyumbang kenaikan IPM bukan hanya karena yang sudah mampu makin menanjak saja. Kenaikan sedikit saja dari setiap keluarga miskin, karena keluarga miskin jumlahnya banyak, akan sangat signifikan dibandingkan dengan kenaikan sedikit dari nilai yang sudah tinggi.

Daerah-daerah yang belum menunjukkan hasil positif biasanya adalah daerah-daerah yang pendekatan operasional mikronya kurang seksama, tidak cermat mempergunakan data rumah tangga sangat miskin (RTSM), rumah tangga miskin (RTM) dan rumah tangga hampir miskin (RTHM). Daerah yang menyebut RTSM sebagai sasaran utama tetapi tidak memberikan dukungan yang sesuai karena tidak diikuti partisipasi dari keluarga miskin dalam proses pemberdayaan akan kecele. Karena setelah diberikan bantuan rescue agar hidup layak, keluarga miskin itu akan segera miskin lagi begitu bantuan yang diterimanya habis dikonsumsi. RTSM, menurut indikator kemiskinan BPS, sebagai ringkasan indikator keluarga sejahtera yang pernah digunakan BKKBN untuk melihat tahapan kemajuan tahapan keluarga, memerinci kemiskinan menurut 14 indikator yang menunjukkan kelemahan keluarga tersebut.

Artinya, RTSM tidak seluruhnya tidak potensial atau harus dibantu seumur hidup. Oleh karena itu disamping diberikan bantuan rescue, utamanya keluarga potensial, harus segera didukung pelatihan ketrampilan, kesempatan kerja atau kesempatan berusaha agar segera menjadi keluarga yang mandiri. Dengan cara itu keluarga tersebut tidak akan kembali menjadi keluarga yang sangat miskin.

Kesalahan kedua adalah bahwa banyak daerah yang usahanya terkonsentrasi hanya pada RTSM saja dan melupakan RTM serta RTHM. Batas antara RTM, RTHM dan RTSM sangat tipis yakni cukup dipenuhinya satu atau dua indikator dari 14 indikator keluarga miskin versi BPS. Andaikan satu atau dua indikator yang tadinya positif berubah menjadi negatif, maka otomatis keluarga itu akan masuk ke kategori rumah tangga sangat miskin (RTSM). Kemungkinan terjadinya proses seperti tarian Poco-poco sangat tinggi, yaitu misalnya sepuluh orang keluarga sangat miskin dientaskan, tetapi dua puluh keluarga miskin berubah turun statusnya menjadi RTSM. Atau keluarga hampir miskin dengan mudah berubah menjadi keluarga miskin atau keluarga sangat miskin.

Oleh karena itu daerah yang ingin menanggulangi kemiskinan dengan lebih lestari dianjurkan untuk membangun pos pemberdayaan keluarga (posdaya) dan menempatkan keluarga miskin dan keluarga hampir miskin sebagai sasaran utama didampingi keluarga yang sudah maju dan diberikan pemberdayaan secara sungguh-sungguh. Pemberian bantuan langsung harus betul-betul dilakukan sebagai dukungan dalam keadaan darurat, sementara keluarga miskin pada umumnya dipersiapkan sebagai calon pekerja atau pengusaha mikro yang dibimbing oleh seluruh masyarakat dengan perhatian dan pemihakan penuh kasih sayang. Kalau tidak ada keberpihakan pada keluarga miskin, hampir pasti upaya penanggulangan kemikiskinan sama dengan mempertontonkan tarian poco-poco yang tidak menarik.

Kesalahan lain yang umum terjadi adalah bahwa proses pemberdayaan tidak selalu dipentingkan siapa sasarannya. Orientasi proyek dan kebiasaan untuk mengambil cara mudah, apabila diadakan pelatihan ketrampilan atau undangan untuk mengikuti proses pemberdayaan menyebabkan acara pelatihan yang diikuti dengan pemberian modal, syarat-syaratnya begitu tinggi sehingga peserta bukan lagi keluarga atau anggota keluarga sangat miskin, keluarga miskin atau keluarga hampir miskin sesuai daftar yang ada. Tetapi, lebih mengacu pada kemampuan keluarga yang menjadi peserta menurut selera penyelenggara yang dianggap bisa menyerap materi pelatihan dan sanggup menyediakan agunan untuk dana pinjaman yang disediakan. Dana KUR misalnya, dalam praktek bukan lagi untuk orang miskin, karena untuk mendapatkannya diperlukan pengalaman dan kemampuan tata kelola usaha yang matang. Banyak dana lain yang melimpah tetapi menempatkan keluarga miskin sebagai penonton belaka.

Gerakan menabung dan kredit Tabur Puja yang disediakan antara Rp 200 miliar sampai Rp 1 trilliun oleh Yayasan Damandiri melalui Bank BPD, Bank Bukopin, Bank BPR dan lainnya merupakan satu alternatif yang perlu segera diikuti oleh Bank-bank lain. Karena, bisa diakses oleh kelompok dengan sistem tanggung renteng dan pendampingan oleh keluarga yang mampu oleh kelompoknya atau mahasiswa dalam kuliah kerja nyata (KKN) tematik posdaya. Pengalaman membuktikan bahwa apabila sasaran sangat dipertajam dan dilakukan dengan semangat tinggi, pelaksanaan pemberdayaan itu membawa hasil yang menakjubkan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar