Kamis, 14 Februari 2013

Epidemiologi Korupsi


Epidemiologi Korupsi
Iman Sugema   Ekonom
REPUBLIKA, 11 Februari 2013


Suatu kali saya bertanya pada seorang teman yang ahli budaya, apakah korupsi punya kaitan dengan akar budaya di Indonesia sehingga tumbuh subur? Pertanyaan itu saya ajukan karena sudah terlalu banyak orang yang berkesimpulan bahwa korupsi sudah 'membudaya'. Saya sendiri tidak terlalu paham, apakah korupsi dapat menjadi semacam budaya atau lebih tepatnya lagi membudaya.

Jawaban teman saya itu ternyata cukup melegakan karena ternyata korupsi tidak layak dijadikan sebagai budaya. Lebih tepatnya, korupsi adalah penyakit sosial. Karena merupakan penyakit, maka korupsi bisa menular dari satu orang ke orang lain. Kalau sudah terlalu menyebar, korupsi dapat bersifat epidemik atau bahkan pandemik.

Kalau ditelusuri, korupsi berakar pada salah satu sifat jelek nafsu manusia, yaitu tamak dan tergesa-gesa. Korupsi adalah cara pintas untuk kaya dengan merebut hak orang lain atau hak negara. Ketamakan yang dilakukan secara sistematis melahirkan kejahatan yang sangat terencana dan terukur. Tapi, bagaimana ia bisa menular dan dengan tahu cara penularannya kita bisa mencegah tingkat kerusakan yang lebih besar.

Dulu dalam masyarakat tradisional dikenal `munjung', babi-ngepet, dan tuyul sebagai `teknologi' untuk mendapatkan kekayaan secara cepat dan tidak wajar. Tapi, penyakit tamak yang seperti ini tidak pernah menjadi wabah yang begitu luas seperti korupsi. Bukan karena cara tamak tersebut tidak menular, tapi karena secara sosial tidak bisa diterima. Selain itu, masyarakat memandangnya sebagai bentuk dosa yang terberat, yakni syirik atau menyekutukan Allah. Bahkan tidak jarang, dukun yang menjadi perantara penyebarannya dikejar-kejar dan dihabisi oleh masyarakat.

Dari hal tersebut, kita bisa belajar bahwa penyakit sosial dapat dikendalikan secara sosial juga. Mencari kekayaan melalui dunia hitam adalah musuh nomor satu masyarakat. Jadi, kapan kita bisa menjadikan korupsi sebagai musuh nomor satu masyarakat? Itulah persoalan kita saat ini.

Entah kenapa, sikap kita begitu lembek dan permisif terhadap korupsi. Pernahkah kita sebagai teman mempertanyakan kenapa salah seorang dari kita punya rumah mewah dalam sekejap, padahal dengan jabatannya tak mungkin dia memiliki rumah sederhana sekalipun? Pernahkah sebagai tetangga, kita mempertanyakan kenapa dia selalu berganti-ganti mobil? Pernahkah kita sebagai saudara mempertanyakan, kenapa dia memiliki tanah di mana-mana?

Daripada mempertanyakan, mungkin kita lebih sering meminta dia menjadi donatur untuk berbagai kegiatan amal. Kita juga sering membuat para koruptor berbangga diri dengan kekayaan yang diperolehnya. Tak sedikit dari mereka secara jelas-jelas mempertontonkan kemewahan yang tak wajar. Pakaian bermerek dengan harga puluhan juta sepasang, tas kulit berharga ratusan juta, jam tangan semiliar, atau mobil mewah yang di Amerika hanya dimiliki oleh kaum selebritas. Apa sikap kita terhadap tontonan ini? Acungan jempol sambil berbisik "bagi-bagi dong".

Korupsi menjadi begitu merajalela karena hampir tak ada mekanisme sosial yang mengendalikan penularannya. Kita tidak pernah betul-betul menanam kebencian sosial terhadap korupsi. Kita tidak pernah mengasingkan orang sudah terbukti melakukan korupsi. Bahkan, mereka tetap dapat diterima dengan lapang dada oleh masyarakat ketika keluar dari bui sekalipun. Kita terlalu berbaik hati pada mereka dan akibatnya tak ada ketakutan dari mereka untuk terus korup.

Mungkin kita bisa mengambil pelajaran dari dunia kedokteran mengenai cara mengendalikan korupsi. Dulu, sebelum obat-obatan modern ditemukan, penyakit menular seperti sampar dan lepra dicegah penularannya dengan cara mengasingkan penderita jauh dari masyarakat. Maka, dibuatlah berbagai tempat pengasingan. Bukankah kita sampai saat ini belum menemukan `obat' untuk membasmi korupsi?

Kita memang sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang begitu hebat. Tapi, itu tak cukup melawan korupsi yang sudah menjangkiti setiap tingkatan jabatan publik, mulai dari lurah sampai gubernur dan men teri. Mulai dari penegak hukum sampai pada pembuat hukum atau law maker alias anggota DPR.

Saya sendiri sudah sampai pada kesimpulan bahwa adalah tugas yang mustahil bagi lembaga negara dengan bentuk apa pun untuk melawan korupsi bila masyarakat tidak bangkit untuk melawan. Bukan berarti bahwa setiap koruptor harus kita gantung ramai-ramai di Monas. Saat ini mungkin kita harus membuat gerakan masyarakat yang cukup masif sehingga menimbulkan ketakutan bagi para koruptor.

Mungkin terlalu terlambat buat kita untuk menunggu sebuah rezim yang menghukum para koruptor dengan hukuman mati. Terlalu terlambat pula untuk menunggu adanya tempat pembuangan seumur hidup bagi para koruptor seperti Pulau Buru untuk para tahanan politik.

Karena itu, gerakan antikorupsi harus dimulai dari masyarakat. Caranya, asingkanlah mereka dari kehidupan kita. Jangan sapa dan jangan senyum pada mereka. Beri mereka hukuman sosial. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar