Baru beberapa hari Inpres
tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi ditandatangani Presiden SBY,
masyarakat Indonesia dikejutkan oleh penetapan dan penangkapan Presiden PKS
Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan
suap Rp1 miliar dari PT Indoguna Utama terkait kasus pengurusan daging sapi
impor. Kasus ini sangat mengemparkan publik. Pasalnya, PKS yang notabene
adalah partai politik yang berasaskan Islam, selama ini dikenal dengan
jargonnya, 'Bersih dan Peduli'.
Kasus serupa juga pernah
terjadi pada Partai Demokrat. Kasus korupsi yang melibatkan politisi
Demokrat, Angelina Sondakh dan Andi Malaranggeng, yang sebelumnya selalu
muncul dalam berbagai iklan kampanye Pemilu 2009 dengan jargonnya,
"Katakan Tidak pada Korupsi.".
Pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri tahun 2002, diharapkan dapat menjadi
instrumen yang melembaga dan bersifat independen, bebas dari pengaruh
kekuasaan mana pun hingga mampu maksimal menjalankan tugasnya.
Dari sisi peraturan
perundang-undangan pemberantasan korupsi tertuang dalam Tap MPR Nomor
XI/MPR/1998 tentang penyelengaraan negara yang bersih dan bebas KKN, UU
Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan negara yang bersih dan bebas
KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Hal ini mengartikan bahwa persoalan korupsi bukan hanya masalah perilaku,
tindakan atau upaya penyelewengan anggaran negara, tetapi praktik korupsi
adalah 'pemerkosaan' perundang-undangan di Indonesia atau yang sering
disebut dengan crime against constitution. Dengan demikian pengadilan atas
para koruptor secara tidak langsung adalah upaya untuk menegakkan
konstitusi atau perundang-undangan.
Tahun 2004 Presiden SBY juga
mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi pada 9 Desember 2004.
Pencanangan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pemberantasan Korupsi
Internasional yang ditetapkan oleh PBB. Pada saat itu, Presiden juga telah
menandatangani Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan
Korupsi.
Melihat sejarah panjang
pemberantasan korupsi di Indonesia, seharusnya optimisme terhadap
pemberantasan korupsi hadir dalam benak masyarakat Indonesia, yang salah
satunya ditandai dengan menurunnya angka dan praktik korupsi. Namun, yang
terjadi justru sebaliknya. Korupsi semakin mengerogoti sendi dan urat nadi
bangsa.
Sederet nama politisi kenamaan
yang terjerat kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup
menjadi bukti. Bahkan Vedi Hadiz dalam bukunya yang berjudul Dinamika
Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto menyebutkan bahwa dalam
tahun 2004-2010 terdapat sebanyak 147 kepala daerah tersangkut kasus
korupsi, 18 gubernur, 17 walikota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil
bupati. Dengan estimasi total kerugian negara mencapai Rp
4.814.248.597.729. Yang paling ironis, ada kepala daerah dan wakil kepala
yang telah terpilih dalam pilkada langsung ternyata terlibat kasus korupsi.
Melihat fakta tersebut, tampaknya
status darurat korupsi sudah layaknya diberikan terhadap Indonesia.
Penetapan status ini diharapkan mampu mengerakkan semua elemen bangsa untuk
turut serta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yang ditandai dengan
adanya gerakan atau aksi nasional pemberantasan korupsi. Selain itu adalah
memberikan hukuman berat - semisal hukuman mati - kepada koruptor yang
secara sah dan terbukti telah melakukan tindakan korupsi.
Pusaran Korupsi Pusaran
korupsi yang membelit para elite politik, baik di pusat maupun daerah serta
sejarah panjang 'tumpulnya' pemberantasan korupsi di Indonesia menyisakan
pertanyaan mendasar, apa yang salah dengan bangsa ini?
Gerakan reformasi yang
berjalan tahun 1997/1998, tanpa disadari memunculkan konsensus bersama,
bahwa politik menjadi panglima bagi perjalanan dan penuntasan agenda
reformasi. Lihat saja menjamurnya partai politik sejak Pemilu 1999 sampai
2009. Demokratisasi di tingkat nasional dan daerah - yang lebih di kenal
dengan pemilukada langsung - menjadi outcomes reformasi dan demokratisasi.
Pusaran korupsi yang membelit para elite politik adalah sisi lain outcomes
gerakan afirmatif politik sebagai panglima dalam pembangunan bangsa.
Dengan demikian, sudah saatnya
jika konsensus bersama mengalami pergeseran secara paradigmatik, yakni
dengan menempatkan hukum sebagai panglima bagi pembangunan dan pencapaian
tujuan nasional. Langkah paling konkrit dalam kontes demikian adalah dengan
dengan melakukan revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, dengan memasukkan klausul hukuman mati, sebagai efek
jera.
Terlepas dari itu, jika
pergeseran paradigmatik tersebut juga tidak mampu dilakukan, atau gagal
karena ketiadaan kehendak dan kemauan para penyelenggara negara dalam
rangka melakukan pemberantasan korupsi, maka pesimisme atas pemberantasan
korupsi bisa jadi menjadi gejala sosial yang menghinggapi masyarakat
Indonesia.
Karenanya, pilihan akun anonin
@Triomacan2000 yang melakukan kampanye pemberantasan korupsi, dengan
mengungkap berbagai kasus korupsi melalui Twitter bisa dijadikan pembenaran
apatisme masyarakat melihat 'ketidakseriusan' dalam melakukan pemberantasan
korupsi.
Terakhir bahwa sebuah strategi
pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan.
Transparansi ini untuk membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku,
sehingga terjadi mekanisme penyeimbang, dimana masyarakat mempunyai hak
dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi
agar bebas dari kepentingan golongan maupun individu mana pun. Yang
diharapkan, semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku
secara objektif. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar