Jumat, 08 Februari 2013

Elite Politik dalam Pusaran Korupsi


Elite Politik dalam Pusaran Korupsi
Eko Setiobudi ;  Alumnus Magister Perencanaan Kebijakan Publik UI
SUARA KARYA, 07 Februari 2013


Baru beberapa hari Inpres tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi ditandatangani Presiden SBY, masyarakat Indonesia dikejutkan oleh penetapan dan penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq (LHI) sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap Rp1 miliar dari PT Indoguna Utama terkait kasus pengurusan daging sapi impor. Kasus ini sangat mengemparkan publik. Pasalnya, PKS yang notabene adalah partai politik yang berasaskan Islam, selama ini dikenal dengan jargonnya, 'Bersih dan Peduli'.

Kasus serupa juga pernah terjadi pada Partai Demokrat. Kasus korupsi yang melibatkan politisi Demokrat, Angelina Sondakh dan Andi Malaranggeng, yang sebelumnya selalu muncul dalam berbagai iklan kampanye Pemilu 2009 dengan jargonnya, "Katakan Tidak pada Korupsi.".

Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri tahun 2002, diharapkan dapat menjadi instrumen yang melembaga dan bersifat independen, bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun hingga mampu maksimal menjalankan tugasnya.

Dari sisi peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi tertuang dalam Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 tentang penyelengaraan negara yang bersih dan bebas KKN, UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelengaraan negara yang bersih dan bebas KKN, UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini mengartikan bahwa persoalan korupsi bukan hanya masalah perilaku, tindakan atau upaya penyelewengan anggaran negara, tetapi praktik korupsi adalah 'pemerkosaan' perundang-undangan di Indonesia atau yang sering disebut dengan crime against constitution. Dengan demikian pengadilan atas para koruptor secara tidak langsung adalah upaya untuk menegakkan konstitusi atau perundang-undangan.

Tahun 2004 Presiden SBY juga mencanangkan Gerakan Nasional Pemberantasan Korupsi pada 9 Desember 2004. Pencanangan ini bertepatan dengan peringatan Hari Pemberantasan Korupsi Internasional yang ditetapkan oleh PBB. Pada saat itu, Presiden juga telah menandatangani Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Melihat sejarah panjang pemberantasan korupsi di Indonesia, seharusnya optimisme terhadap pemberantasan korupsi hadir dalam benak masyarakat Indonesia, yang salah satunya ditandai dengan menurunnya angka dan praktik korupsi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Korupsi semakin mengerogoti sendi dan urat nadi bangsa.

Sederet nama politisi kenamaan yang terjerat kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) cukup menjadi bukti. Bahkan Vedi Hadiz dalam bukunya yang berjudul Dinamika Kekuasaan Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto menyebutkan bahwa dalam tahun 2004-2010 terdapat sebanyak 147 kepala daerah tersangkut kasus korupsi, 18 gubernur, 17 walikota, 84 bupati, 1 wakil gubernur, 19 wakil bupati. Dengan estimasi total kerugian negara mencapai Rp 4.814.248.597.729. Yang paling ironis, ada kepala daerah dan wakil kepala yang telah terpilih dalam pilkada langsung ternyata terlibat kasus korupsi.

Melihat fakta tersebut, tampaknya status darurat korupsi sudah layaknya diberikan terhadap Indonesia. Penetapan status ini diharapkan mampu mengerakkan semua elemen bangsa untuk turut serta dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi yang ditandai dengan adanya gerakan atau aksi nasional pemberantasan korupsi. Selain itu adalah memberikan hukuman berat - semisal hukuman mati - kepada koruptor yang secara sah dan terbukti telah melakukan tindakan korupsi.

Pusaran Korupsi Pusaran korupsi yang membelit para elite politik, baik di pusat maupun daerah serta sejarah panjang 'tumpulnya' pemberantasan korupsi di Indonesia menyisakan pertanyaan mendasar, apa yang salah dengan bangsa ini?

Gerakan reformasi yang berjalan tahun 1997/1998, tanpa disadari memunculkan konsensus bersama, bahwa politik menjadi panglima bagi perjalanan dan penuntasan agenda reformasi. Lihat saja menjamurnya partai politik sejak Pemilu 1999 sampai 2009. Demokratisasi di tingkat nasional dan daerah - yang lebih di kenal dengan pemilukada langsung - menjadi outcomes reformasi dan demokratisasi. Pusaran korupsi yang membelit para elite politik adalah sisi lain outcomes gerakan afirmatif politik sebagai panglima dalam pembangunan bangsa.

Dengan demikian, sudah saatnya jika konsensus bersama mengalami pergeseran secara paradigmatik, yakni dengan menempatkan hukum sebagai panglima bagi pembangunan dan pencapaian tujuan nasional. Langkah paling konkrit dalam kontes demikian adalah dengan dengan melakukan revisi terhadap UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan memasukkan klausul hukuman mati, sebagai efek jera.

Terlepas dari itu, jika pergeseran paradigmatik tersebut juga tidak mampu dilakukan, atau gagal karena ketiadaan kehendak dan kemauan para penyelenggara negara dalam rangka melakukan pemberantasan korupsi, maka pesimisme atas pemberantasan korupsi bisa jadi menjadi gejala sosial yang menghinggapi masyarakat Indonesia.

Karenanya, pilihan akun anonin @Triomacan2000 yang melakukan kampanye pemberantasan korupsi, dengan mengungkap berbagai kasus korupsi melalui Twitter bisa dijadikan pembenaran apatisme masyarakat melihat 'ketidakseriusan' dalam melakukan pemberantasan korupsi.

Terakhir bahwa sebuah strategi pemberantasan memerlukan prinsip transparan dan bebas konflik kepentingan. Transparansi ini untuk membuka akses publik terhadap sistem yang berlaku, sehingga terjadi mekanisme penyeimbang, dimana masyarakat mempunyai hak dasar untuk turut serta menjadi bagian dari strategi pemberantasan korupsi agar bebas dari kepentingan golongan maupun individu mana pun. Yang diharapkan, semua strategi berjalan sesuai dengan aturan yang berlaku secara objektif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar