Jumat, 22 Februari 2013

DPD dan Pengawasan Akuntabilitas Keuangan


DPD dan Pengawasan Akuntabilitas Keuangan
Irma Suryani Ranik  Anggota DPD RI Komite IV dari Kalbar; Tulisan ini nukilan papernya di acara Akuntabilitas JPIP-USAID, (20/2) di Pontianak
JAWA POS, 22 Februari 2013


UNDANG-Undang Nomor 28/1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme di pasal 3 menyebutkan asas-asas umum penyelenggaraan negara. Ini meliputi asas kepastian hukum, tertib penyelenggara negara, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, dan asas akuntabilitas. 

Dalam penjelasan pasal tersebut, asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir kegiatan penyelenggaraan negara harus dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat dan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pemerintah sudah menerbitkan Inpres Nomor 7/1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Peraturan perundang-undangan lain juga sudah dikeluarkan untuk mendukung akuntabilitas itu. Kini laporan keuangan pemerintah yang terdiri atas laporan realisasi anggaran (LRA), neraca, laporan arus kas (LAK), dan catatan atas laporan keuangan (CALK) merupakan bentuk akuntabilitas keuangan pemerintah (dimensi akuntabilitas financial); sebelumnya, wujud akuntabilitas pemerintah hanya perhitungan anggaran negara.

Menurut catatan raker DPD (Dewan Perwakilan Daerah) RI dengan BPK, Juni 2008, ada persoalan kurang maksimalnya sistem pengendalian internal. Tidak kuatnya sistem pengendalian internal dan tidak patuh dilaksanakannya akuntabilitas menyebabkan terjadinya korupsi.

Hubungan antara korupsi dan akuntabilitas digambarkan oleh Robert Klitgaard (1998) dalam layanan pengadaan barang dan jasa publik dengan rumus: C=D+M-A. Korupsi (C) adalah adanya monopoli (M) kekuasaan terhadap barang/jasa ditambah dengan adanya kekuasaan untuk diskresi (D) siapa yang akan atau berhak menerima barang/jasa tersebut, tetapi tanpa diimbangi dengan adanya akuntabilitas (A).

DPD RI adalah lembaga negara baru yang dianggap wakil daerah yang melakukan tugasnya sejalan dengan wewenang DPD sebagaimana diatur dalam pasal 22D UUD 1945, yaitu otonomi daerah? hubungan pusat dan daerah? pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah? pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah? APBN, pajak, pendidikan, dan agama.

DPD lahir pada 1 Oktober 2004, ketika 128 anggota DPD disumpah. Kini anggota DPD 132 orang dari tambahan provinsi baru Sulawesi Barat. Latar belakang lahirnya DPD RI pada masa pencarian bentuk sistem ketatanegaraan Indonesia pada awal reformasi menempatkan posisi kelembagaan DPD RI sangat tidak umum dalam praktik bernegara. Basis legitimasi yang kuat tidak sejalan dengan kewenangan yang dimiliki. Tidak heran jika sebagian akademisi menganggap DPD RI merupakan contoh yang tidak lazim dalam praktik lembaga perwakilan rakyat dengan sistem bikameral karena merupakan kombinasi lembaga dengan kewenangan yang amat terbatas dan legitimasi murni (represents the odd combination of limited powers and high legitimacy ).

DPD dibagi menjadi delapan unit kerja atau "alat kelengkapan". Periode 2009-2014, unit kerja DPD menjadi delapan, yaitu pimpinan DPD, panitia musyawarah, komite, panitia perancang undang-undang (PPUU), panitia urusan rumah tangga (PURT), badan kehormatan (BK), panitia hubungan antar lembaga (PHAL), dan panitia akuntabilitas publik (PAP).

Komite DPD ini mirip komisi di DPR. Di sinilah fungsi-fungsi DPD dilaksanakan. Menurut tata tertib DPD RI, ada dua alat kelengkapan yang berfungsi mengawasi keuangan daerah. Keduanya adalah komite IV dan panitia akuntabilitas publik.

Lingkup tugas komite IV adalah APBN, pajak, perimbangan keuangan pusat dan daerah; BPK koperasi dan UMKM (lembaga keuangan). Sementara PAP adalah alat kelengkapan yang bertugas mengawal, menindaklanjuti pengaduan masyarakat, dan menindaklanjuti hasil temuan BPK yang terindikasi korupsi. 

Secara kelembagaan, Komite IV dan PAP DPD RI, dalam setiap kunjungan kerjanya dengan mitra kerja baik pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten dan BPK, selalu mendorong agar penggelolaan keuangan daerah menjadi lebih baik dan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh BPK. Pemerintah daerah bertanggung jawab untuk melaporkan kepada publik (melalui BPK) tentang apa saja yang dilakukan dalam mendayagunakan APBN dan APBD.

Meski demikian, harus diakui masih banyak kelemahan mendasar pada pemerintah daerah seluruh Indonesia dalam membuat laporan keuangan yang sesuai dengan standar. Pertama, ada kelemahan dalam ketersediaan sumber daya manusia (akuntan) pada pemerintah daerah kabupaten kota. Ketika rekrutmen pegawai, mestinya diutamakan tenaga akuntan ini. Kedua, persoalan identifikasi aset daerah-daerah yang mengalami pemekaran, seperti Sambas, Bengkayang, dan Singkawang di Kalbar. 

Kelemahan-kelemahan ini menyebabkan sangat sedikit daerah yang bisa mencapai target tertinggi dari penilaian BPK, yakni wajar tanpa pengecualian (WTP). Banyak daerah yang tidak menyelesaikan asetnya, status laporan keuangannya tidak bisa lebih dari WTP.

Melihat persoalan di atas, DPD RI secara kelembagaan telah melakukan beberapa langkah. Pertama, mendorong pemerintah daerah agar mendayagunakan struktur birokrasi lokal, yakni inspektorat dan BPKP, untuk membantu persoalan ketersediaan sumber daya manusia. Kedua, mendorong pendampingan dari BPK perwakilan seluruh provinsi untuk mendampingi pemerintah daerah dalam membenahi urusan aset daerah pemekaran.                            Ketiga, menjalin kerja sama dengan penegak hukum untuk memproses hukum semua tindak penyimpangan anggaran negara yang teridentifikasi korupsi/ merugikan keuangan negara berdasarkan audit BPK. Keempat, bekerja sama dengan kelompok masyarakat sipil (LSM dan ormas) untuk mendorong pengawasan dari kasus-kasus penyelewengan keuangan negara yang terjadi di daerah, yang sedang ditangani aparat hukum. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar