Sabtu, 02 Februari 2013

Di Belakang Pelemahan Rupiah


Di Belakang Pelemahan Rupiah
Sunarsip ;  Ekonom The Indonesia Economic Intelligence (IEI)
KORAN TEMPO, 02 Februari 2013



Belakangan ini, pembahasan mengenai pelemahan rupiah mendapat perhatian yang cukup intensif. Maklum, berdasarkan laporan Bank Indonesia (BI), realisasi nilai tukar rupiah selama 2012 lalu rata-rata berada di level 9.384 per dolar Amerika Serikat atau terdepresiasi sebesar 6,3 persen dibanding tahun sebelumnya. Tekanan pelemahan rupiah ini terutama disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global dan melebarnya defisit transaksi berjalan. 
Dari sisi eksternal, ketidakpastian ekonomi global, terutama faktor krisis utang dan fiskal di Eropa, telah memicu penarikan dana oleh investor dalam rangka menghindari risiko dari aset-aset keuangan di negara emerging markets, termasuk Indonesia. Hanya, pelemahan rupiah ini cukup mengkhawatirkan karena kinerja rupiah tergolong paling rendah dibanding mata uang negara lainnya di Asia.
Dari sisi domestik, pelemahan rupiah disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan di pasar valuta asing dalam negeri akibat menurunnya kinerja ekspor dan tingginya impor. Berdasarkan data BPS, terlihat bahwa total ekspor Indonesia selama Januari-November 2012 mencapai US$174,76 miliar atau turun 6,25 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Sementara itu, nilai impor mencapai US$ 176,09 miliar atau meningkat 9,40 persen dibanding impor periode yang sama tahun sebelumnya (US$ 160,96 miliar). Dengan demikian, secara neto, neraca perdagangan kita mengalami defisit sekitar US$1,33 miliar. 
Kondisi tersebut pada akhirnya memberi tekanan terhadap neraca pembayaran Indonesia (NPI), terutama pada transaksi berjalan (current account), karena neraca jasa kita telah lebih dulu menjadi "langganan" defisit. Beruntung, selama 2012, peningkatan arus modal asing yang terjadi cukup besar, baik investasi portofolio maupun investasi langsung (FDI), sehingga dapat menahan pelemahan rupiah lebih lanjut.
Pelemahan rupiah yang cukup signifikan ini tentunya berpengaruh terhadap sektor ekonomi lainnya. Realisasi nilai tukar rupiah selama 2012 jauh di atas asumsi APBN 2012 sebesar 9.000 per dolar AS. Pelemahan rupiah ini tentunya meningkatkan beban APBN, terutama untuk pembayaran utang luar negeri.
Korporasi (swasta dan BUMN) pun mengalami kerugian yang cukup signifikan akibat pelemahan rupiah ini. Sejumlah korporasi mengalami kerugian berupa selisih kurs karena mismatch. Mismatch terjadi karena umumnya perusahaan memperoleh pendapatan (revenue) dalam bentuk rupiah, sedangkan pengeluaran seperti untuk membayar utang luar negeri maupun untuk kebutuhan impor dalam bentuk dolar AS. 
Beruntung perusahaan yang telah melakukan lindung nilai (hedging) terhadap risiko valas ini. Dengan demikian, kerugian selisih kurs valas ini dapat dihindari. Tetapi bagaimana dengan pemerintah dan perusahaan lainnya yang tidak melakukan hedging? Tentunya, bagi mereka yang tidak melakukan hedging, pelemahan rupiah ini menimbulkan kerugian. Ini mengingat, untuk mendapatkan jumlah dolar AS yang sama, mereka harus membayar dengan rupiah yang lebih besar.
Kolaborasi
Pelemahan rupiah tentunya bukan semata terjadi karena ketidakefektifan kebijakan moneter dalam mengendalikan nilai tukar. Dalam pelemahan rupiah juga terdapat andil dari kebijakan fiskal yang tidak tegas serta kebijakan sektor riil yang tidak mampu memperbaiki struktur perekonomian secara mendasar. Kenapa demikian?
Sebagaimana dikemukakan di atas, dari sisi domestik, pelemahan rupiah terjadi akibat adanya ketidakseimbangan di pasar valas. Ketidakseimbangan ini disebabkan oleh tingginya permintaan valas, sedangkan di sisi lain pasokan dolar AS terbatas akibat melemahnya kinerja ekspor dan tingginya impor. Kinerja ekspor yang melemah terutama karena turunnya permintaan dari negara-negara lain akibat krisis global. Pelemahan rupiah, yang diharapkan dapat mendorong peningkatan ekspor, ternyata pengaruh positifnya tidak mampu menutupi kehilangan ekspor kita akibat negara-negara tujuan ekspor mengurangi permintaannya.
Sayangnya, di tengah pelemahan kinerja ekspor tersebut, struktur industri kita sejak sebelum krisis 1997/98 hingga sekarang masih belum banyak berubah. Industri kita masih sangat bergantung pada impor. Data BPS menunjukkan bahwa impor bahan baku selama Januari-November 2012 mencapai 73 persen dari total impor Indonesia. Industri kita masih belum bisa keluar dari karakteristiknya sebagai footloose industry. Bila ketergantungan industri pada bahan baku ini dapat dikurangi, tentunya hal itu dapat mengurangi tekanan terhadap neraca perdagangan kita, sekaligus membantu memperkuat ekspor kita. 
Kondisi ini tentunya menjadi catatan tersendiri, di saat investasi kita yang dalam beberapa tahun ini meningkat pesat. Tentunya kita tidak ingin booming investasi justru menjadi penyebab rapuhnya struktur industri kita di masa mendatang, akibat industri yang dibangun bertumpu pada bahan baku impor atau industri yang hanya mengeksploitasi sumber daya alam tanpa proses manufaktur yang memberikan nilai tambah. Sebab, faktanya, ekspor kita sekitar 75 persen merupakan komoditas berbasis sumber daya alam. Padahal, 11 tahun tahun yang lalu, porsi komoditas berbasis sumber daya alam masih 40 persen dari total ekspor. 
Berdasarkan data impor, kita juga bisa melihat bagaimana kebijakan fiskal kita. Selama Januari-November 2012, impor BBM kita telah mencapai US$ 26 miliar, atau terbesar kedua setelah impor mesin dan peralatan mekanik. Tingginya impor BBM ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal terkait dengan pengendalian subsidi BBM dapat dikatakan gagal. Kebijakan harga BBM yang dibiarkan terlalu murah pada akhirnya mendorong konsumsi BBM (bersubsidi) semakin besar, yang berujung pada peningkatan impor BBM. Tingginya impor BBM (apalagi bila ditambah dengan minyak mentah) menyebabkan peningkatan permintaan valas dan akhirnya memberi tekanan pada pelemahan rupiah.
Dalam jangka pendek, untuk mengendalikan nilai tukar rupiah, kebijakan moneter harus lebih efektif. Monitoring terhadap perilaku transaksi jual-beli valas harus dilakukan untuk mencegah perusahaan ataupun perbankan melakukan transaksi valas untuk trading semata, tanpa underlying bisnis yang jelas (misalnya untuk impor atau membayar utang). Kebijakan pengendalian inflasi juga harus diefektifkan, karena inflasi yang tinggi secara otomatis biasanya akan mendepresiasi rupiah. *
Kebijakan repatriasi devisa hasil ekspor (DHE) juga harus lebih diperkuat untuk menjamin DHE telah ditempatkan pada perbankan kita. BI juga perlu menciptakan sistem insentif, misalnya bagi perusahaan yang memanfaatkan instrumen hedging dalam menjaga kebutuhan valasnya. Termasuk pula perlu dikembangkan insentif bagi para eksportir yang "merelakan" DHE-nya bertahan lama dalam sistem perbankan di Indonesia.
Sementara itu, dalam jangka menengah dan panjang, dibutuhkan ketegasan pemerintah dalam kebijakan fiskalnya. Kebijakan harga BBM bersubsidi yang terlalu murah terbukti tidak hanya merugikan APBN, tetapi juga memperlemah rupiah. Sementara itu, kebijakan fiskal dan sektor riil harus bersama-sama diarahkan untuk memperkuat struktur industri kita, agar situasi seperti saat ini (di mana justru struktur industri yang rapuh menyebabkan pelemahan kinerja rupiah) tidak terjadi lagi di masa mendatang. ● 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar