Senin, 18 Februari 2013

Desakralisasi dan Normalisasi Islamisme

Desakralisasi dan Normalisasi Islamisme
Novriantoni Kahar Dosen Paramadina, Pengamat Politik Timur Tengah
KORAN TEMPO, 18 Februari 2013


Masyarakat akan tahu bahwa, di dalam pusaran kekuasaan, kaum Islamis juga bisa tersangkut korupsi dan terbuai bujuk rayu nikmat duniawi. Mereka sangat bisa terlibat skandal seksual, tergiur suap, mengkhianati janji-janji suci nan surgawi, dan kewalahan memasarkan teori konspirasi sebagai dalih agar mereka tetap tampak suci.
Salah satu gejala politik menarik setelah lebih dari 2 tahun Musim Semi Arab adalah terjadinya proses desakralisasi Islamisme. Yang dimaksud desakralisasi adalah semakin menipisnya kredibilitas dan melemahnya kekuatan simbolik Islamisme sebagai paham yang menjadikan Islam bukan hanya agama, tapi juga proyek ideologi politik kekuasaan. Ini sesungguhnya gejala yang mudah diterka, terutama karena belum gemilangnya performa Islamisme di pentas politik Timur Tengah di Kairo, Maroko, dan Tunisia.
Khalil al-Anani--ahli Timur Tengah dari Universitas Durham, Inggris--merekam gejala itu dalam sebuah kolom di Foreign Policy, 11 Februari 2013. Menurut al-Anani, selama lebih dari tiga dekade, Islamisme Timur Tengah telah mencitrakan diri sebagai ideologi penyelamat (salvation ideology) yang mampu memberi suaka bagi generasi muda Timur Tengah yang termarginalisasi dan teralienasi oleh proses urbanisasi serta kebijakan rezim yang dianggap tidak agamawi. Islamisme, al-Anani mencatat, bagi kaum muda urban konservatif itu, dipandang sebagai proyek emansipasi dari perpolitikan yang profan dan temporal.
Otoritarianisme dan buruknya performa rezim-rezim sekuler Timur Tengah telah mengubah proyek Islamisme menjadi magnet yang menjanjikan surga di muka bumi. Berbekal janji suci tegaknya negara Islam atau negara Islami, gerakan-gerakan Islamisme seperti al-Ikhwanul al-Muslimun maupun an-Nahdla berhasil menarik simpati dan mempesona masyarakat luas Timur Tengah. Namun, setelah 2 tahun revolusi dan demokratisasi memberi mereka peluang untuk bertakhta, pelan-pelan janji-janji surgawi itu menjelma menjadi halusinasi dan fatamorgana.
Langkah-langkah dan kebijakan kaum Islamis yang belum berhasil, baik di Mesir maupun Tunisia, telah ikut menodai "kemurnian" dan "kesucian" proyek Islamisme. Aktor-aktor Islamisme, baik Ikhwani, Salafi, maupun Nahdlawi, membuktikan bahwa mereka juga manusia yang rentan salah dan dosa. Al-Anani mencatat, sekalipun partai-partai Islamis mendominasi perpolitikan elektoral Timur Tengah kini, pesona Islamisme pelan-pelan mengalami erosi. Lewat perpolitikan sehari-hari, Islamisme telah mendesakralisasi diri sendiri dan itu sangat mungkin terjadi lebih intensif di era demokrasi.
Tiga Penyebab
Al-Anani tidak memerinci sebab-sebab desakralisasi Islamisme. Namun, menurut saya, setidaknya ada tiga penyebab yang bisa diamati. Pertama, gagap kekuasaan. Selama 3-4 dekade, kaum Islamis Timur Tengah terbiasa dengan wacana oposisi. Selama menjadi oposan terkuat atas rezim, mereka leluasa melancarkan propaganda dan mengumbar ide-ide yang tak berjejak di tanah sekalipun. Masuk ke kekuasaan, mereka dihadapkan pada "hukum besi" pragmatisme dalam pengelolaan pemerintahan. Pada titik ini, konsistensi antara idealisme dan ideologi Islamisme diuji oleh langkah-langkah taktis dan praktis mereka di dalam memerintah.
Dalam konteks Timur Tengah, sikap Islamisme terhadap Israel merupakan bahan ujian paling nyata. Wacana Islamisme yang ekstrem terhadap Israel tidak serta-merta dapat diterjemahkan ke dunia nyata ketika mereka berada di dalam pusaran kekuasaan. Sampai kini, rezim Islamis-Ikhwani Mesir tetap berkomitmen untuk menjaga perdamaian dengan Israel. Ujian lain berupa janji pengelolaan sistem ekonomi yang berkeadilan dan non-ribawi. Sikap dogmatis terhadap soal bunga bank adalah sangat khas di kalangan Islamis. Namun, ketika berkuasa, rezim Islamis-Ikhwani mau tak mau menerima bantuan ribawi Dana Moneter Internasional (IMF) demi menanggulangi tekanan dan krisis ekonomi yang mendera negeri Firaun ini.
Penyebab kedua desakralisasi berkaitan dengan performa dan kemampuan rezim Islamis dalam mewujudkan janji-janji surgawi mereka. Dalam proses transisi politik yang dramatis di Timur Tengah saat ini, ekspektasi sosial-politik-ekonomi publik sangat tinggi, sementara kesabaran akan janji-janji perubahan sangat rendah. Retorika-retorika suci belaka tak akan bermakna sepanjang publik tak menemukan perbaikan-perbaikan nyata dalam perikehidupan mereka. Pada titik ini, rezim Islamis Mesir, Maroko, maupun Tunisia, akan diponten berdasarkan pencapaian-pencapaian nyata mereka dalam mewujudkan aspirasi dan tuntutan perubahan.
Penyebab ketiga berkenaan dengan kesalahan-kesalahan elementer kaum Islamis sendiri. Dalam proses demokratisasi Timur Tengah saat ini, tindak-tanduk kaum Islamis akan selalu direkam serta dipantau masyarakat dan media jauh lebih bebas. Kesalahan-kesalahan kaum Islamis yang mungkin lebih kecil saja akan dipandang lebih gawat ketimbang salah dan alpa rekan-rekan non-Islamis mereka. Meminjam adagium sufisme, "apa yang terhitung pahala bagi orang biasa, akan terbilang dosa bagi para penempuh jalan Allah" (hasanat al-abrar, sayyi'at al-muqarrabin). Dalam konteks ini, terbukanya aib-aib pribadi dan publik kaum Islamis yang mengklaim politik bermoral agama, akan dipandang sebagai skandal akbar oleh masyarakat dan media.
Menuju Normalisasi
Sekalipun menangkap gejala desakralisasi dalam tubuh Islamisme, Al-Anani tidak memprediksi masyarakat Timur Tengah akan mengalami sekularisasi kultural yang masif dalam waktu yang segera. Kaum Islamis ada kemungkinan masih tetap punya tuah dan pesona di kotak suara--paling tidak 2-3 pemilu lagi--sepanjang belum terjadinya pencerahan pendidikan dan kultural yang merata. Demokrasi ada kemungkinan mempercepat proses desakralisasi dan sekularisasi, utamanya bila performa mereka di pemerintahan tidak lebih baik daripada rezim sekuler yang dikecam mereka.
Dalam jangka pendek dan menengah, proses desakralisasi mungkin sekali akan dibarengi normalisasi Islamisme itu sendiri. Yang saya maksud normalisasi adalah persepsi publik yang semakin luas bahwa tidak ada yang unik dan istimewa dari Islamisme. Kaum Islamis adalah makhluk politik di antara makhluk-makhluk politik lainnya; mereka berkontestasi dalam merebut kekuasaan dengan sumber daya yang mereka punya. Sementara pada era Perang Dingin sosialisme dan komunisme mempesona, kini Islamisme-lah yang berjaya dan menjadi primadona. Gagal-berhasilnya uji coba mereka di alam demokrasi adalah imbang belaka.
Normalisasi akan lebih cepat lagi bila media dan masyarakat berhasil menangkap fakta bahwa kaum Islamis adalah makhluk politik yang tidak sesuci klaim-klaim mereka. Masyarakat akan tahu bahwa, di dalam pusaran kekuasaan, kaum Islamis juga bisa tersangkut korupsi dan terbuai bujuk rayu nikmat duniawi. Mereka sangat bisa terlibat skandal seksual, tergiur suap, mengkhianati janji-janji suci nan surgawi, dan kewalahan memasarkan teori konspirasi sebagai dalih agar mereka tetap tampak suci.
Saat hal-hal itu terjadi sebagaimana di negeri kita, normalisasi Islamisme secara paripurna akan terjadi dan politik akan dipahami sebagai cara-cara yang manusiawi untuk mencapai tujuan-tujuan yang mungkin mulia dan suci--mungkin pula hina dan sangat duniawi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar