Rabu, 27 Februari 2013

Demokrasi Tanpa Kesejahteraan


Demokrasi Tanpa Kesejahteraan
Ali Ri’fan  Peneliti di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
Penerima Beasiswa Program Sekolah Demokrasi dari Belanda
SUARA KARYA, 26 Februari 2013


Usia reformasi yang sudah menginjak 14 tahun lebih belum memberilandasan bagi pencapaian kesejahteraan terhadap rakyat secara merata seperti yang diimdankan. Kelihatannya baru kesejahteraan itu baru bisa dirasakan oleh segelintir orang di kalangan atas saja. Demokrasi yang digadang-dagang sebagai sistem paling ideal bagi bangsa ini untuk mencapai kesejahteraan pun tersandera oleh kepentingan elite politik. Alih-alih menciptakan ketentraman, demokrasi malah mendatangkan kegaduhan.

Demokrasi kini bahkan menjadi anomali. Anomali demokrasi - seperti diungkapkan Azyumardi Azra - terlihat ketika bentrokan antarkelompok di Tanah Air terus merebak. Anomali demokrasi juga terlihat ketika kasus korupsi semakin marak. Jika dulu kasus korupsi hanya terjadi di kalangan eksekutif, kini sudah menjalar ke segenap lini pemerintahan seperti legislatif, yudikatif, bahkan oleh para pegawai negeri sipil (PNS) gologongan terendah sekalipun.

Kini bangsa kita semakin penuh kepalsuan. Pemilu hanya menjadi ornamen demokrasi untuk memilih - meminjam istilah Benny Susetyo (2013) - para politisi busuk. Partai politik (parpol) tak ubahnya "mesin pendulang" uang rakyat karena sudah tidak mampu lagi menjalankan fungsi esensialnya, menciptakan kader-kader terbaik untuk bangsa.

Di sisi lain, pemimpin tertinggi di negeri ini hanya sibuk menumpuk gelar dan penghargaan. Presiden SBY bahkan sangat getol membanggakan demokrasi kita di forum-forum internasional. Padahal kalau mau jujur, demokrasi kita terlihat semarak karena politik yang gaduh. Kita saat ini dihadapkan pada politik transaksional yang sangat akut. Janji-janji elite politik begitu manis saat kampanye, tetapi terasa pahit ketika mereka duduk di pucuk kekuasaan.

Dalam demokrasi, rakyat hanya dijadikan objek pemerasan oleh segelitir elite politik. Demokrasi pun menjadi berbalik kalau tidak mau dikatakan konyol. Demokrasi tidak lagi "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat", tetapi telah diubah menjadi "dari saya, oleh saya, untuk saya". Demokrasi semakin melebarkan kesenjangan karena hanya menjadi "mainan" kaum beruang.

Dalam demokrasi kita sekarang, kekuasaan begitu mudah dibeli. Siapapun, entah pengusaha, artis, ataupun penyanyi dangdut, semua bisa dengan mudah melenggang ke Senayan asalkan punya uang dan popularitas. Ideologi dan integritas adalah "jualan" ke nomor sekian dalam demokrasi. Inilah kenapa demokrasi kita - seperti disinyalir Daoed Joesoef (2012) - telah mengidap neurosis.

Harus diakui, untuk menciptakan kesejahteraan melalui jalan demokrasi, tidaklah mudah. Jack Snyder dalam, From Voting to Violence (2000) pernah mengatakan, untuk menuju kepada kesejahteraan, demokrasi membutuhkan prasyarat-prasyarat penting. Di antaranya adalah supremasi hukum yang kuat, ekonomi yang pro rakyat, aktor politik yang jujur, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Menciptakan demokrasi bukan hanya sekadar menggulingkan rezim otoriter. Demokrasi harus dijalankan dengan penuh rasa tanggung jawab. Seperti kata Bung Hatta, "Demokrasi tidak akan berjalan baik apabila tidak ada rasa tanggung jawab".

Rasa tanggung jawab demokrasi di sini terletak pada, apakah sistem demokrasi mampu mendatangkan kesetaraan/keadilan atau tidak? Karena perlu dingat, demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni demos (rakyat) dan kratos (kekuasaan) yang memiliki arti "kendali rakyat atas urusan publik dalam kesetaraan politik" (Beetham, 1999). Ini artinya, kesetaraan antar warga negara menjadi poin penting dalam penyelanggaraan demokrasi.

Sebab, dibandingkan dengan negara lain, demokrasi Indonesia terbilang sangat unik. Tidak seperti di negara-negara Uni Eropa dan Jepang yang memiliki karakter homogen. Indonesia justru memiliki karakter sangat heterogen karena terdiri dari beragam suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama.

Untuk itu, merawat demokrasi di Indonesia jauh lebih sulit. Demokrasi Indonesia harus "diikat" dengan nilai-nilai multikultural. Demokrasi Indonesia tidak bisa berdiri sendiri, mengekor pada Barat, apalagi tidak akulturatif dan adaptif dengan keragaman yang ada. Tanpa "diikat" dengan multikulturalis me, demokrasi Indonesia hanya akan mendatangkan euphoria dan gegap gempita. Demokrasi yang sejak awal diproyeksikan sebagai konsep "persamaan hak bagi rakyat" justru akan berubah menjadi "kebijakan sepihak oleh pemerintah terahdap rakyat".

Sebab, multikulturalisme, seperti diungkapkan Daniel Sparringa dan Ignas Kleden dalam Konsepsi Demokrasi (2011: 20), adalah sebuah kepercayaan yang mengatakan bahwa kelompok-kelompok etnik atau budaya dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip co-existence yang ditandai oleh kesediaan menghormati budaya lain. 
Multikulturalisme berbeda dengan pluralisme. Meski keduanya mensyaratkan hadirnya toleransi, tidak semua elemen dasar dari keduanya sama. Pluralisme menekankan pada perbedaan ide, sementara multikulturalisme berkenaan dengan kebedaan yang bersumber terutama pada identitas etnik dan agama (Sparringa dan Kleden, 2011: 18).

Dengan kata lain, untuk menuju sebuah kesejahteraan, demokrasi Indonesia harus ramah dengan kondisi kemajemukan yang ada. Konsep demokrasi harus mampu melahirkan "keguyuban" dan keadilan yang menyeluruh, bukan keadilan pada kelompok mayoritas saja. Ini penting! Sebab jika tidak, mengutip ungkapan Bung Hatta di atas, demokrasi kita berarti belum bisa dipertangungjawabkan.

Dengan demokrasi seperti itu, alih-alih mendatangkan kesejahteraan, demokrasi kita justru akan mendatangkan "malapetaka". ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar