Senin, 18 Februari 2013

Defisit Kembar


Defisit Kembar
A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM
KOMPAS, 18 Februari 2013


Pada saat perekonomian global didera ketidakpastian krisis zona euro dan Amerika Serikat, perekonomian Indonesia tumbuh 6,23 persen tahun 2012. Namun, di balik itu, kita dihadapkan pada fenomena defisit kembar (twin deficit), yakni defisit perdagangan dan defisit anggaran pemerintah (APBN). Inilah pertama kalinya, sejak tahun 1961, Indonesia mengalami defisit kembar. APBN biasanya selalu defisit, tetapi neraca perdagangan biasanya surplus.
Mengapa terjadi defisit perdagangan? Tidak ada faktor tunggal sebagai penyebabnya. Gregory Mankiw dari Harvard (2008) menjelaskan, dalam kasus defisit perdagangan AS bisa dijelaskan dengan perbandingan antara tingkat tabungan nasional dan investasi domestik. Penjelasan dimulai dengan tingkat tabungan nasional turun. Hal ini terjadi karena kebijakan fiskal yang ekspansif, yakni di satu sisi pajak diturunkan, tetapi belanja pemerintah dinaikkan sehingga terjadi defisit anggaran pemerintah.
Penurunan pajak menyebabkan kenaikan belanja atau konsumsi masyarakat yang berakibat pada penurunan tingkat tabungan. Kenaikan belanja masyarakat kemudian mendorong kenaikan impor—karena produk impor memang lebih murah—sehingga terjadi peningkatan defisit perdagangan. Di AS, hal ini terjadi secara berkesinambungan sejak tahun 1980-an hingga kini. Dari era Presiden Ronald Reagan sampai kini Barack Obama. Defisit perdagangan hanya sempat menipis tahun 1993-1994.
Bagaimana defisit kembar versi Indonesia? Ceritanya agak berbeda. Defisit APBN terjadi karena kemampuan mengumpulkan pajak oleh pemerintah tidak bisa menutup kebutuhan anggaran. Pada era Soeharto, defisit didanai dari utang yang berasal dari konsorsium Consultative Group on Indonesia dan Inter-Governmental Group on Indonesia. Pada era sekarang, defisit terutama ditutup dari utang hasil penjualan obligasi pemerintah. Sebagian berasal dari utang bilateral negara kreditor.
Defisit APBN Indonesia saat ini hanya 1,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) atau sekitar Rp 120 triliun. Batas defisit yang aman, sesuai konsensus para ekonom dunia, adalah 2 persen terhadap PDB. Jika dalam situasi krisis ekonomi, defisit diizinkan mencapai 3 persen terhadap PDB. Sebagai perbandingan, ketika Yunani terjerat krisis, defisitnya 17 persen terhadap PDB. Kini, Yunani berupaya keras agar defisitnya turun hingga 3 persen terhadap PDB. Namun, upaya tersebut ditentang keras masyarakat karena penurunan defisit secara mendadak hanya menyebabkan rakyat sengsara karena pemerintah memotong habis berbagai belanjanya.
Rendahnya defisit APBN bisa dimaknai ganda. Di satu sisi menunjukkan kehati-hatian pemerintah agar tidak menambah akumulasi utang, yang kini sudah Rp 2.000 triliun atau sekitar 24 persen dari PDB yang saat ini sekitar Rp 8.200 triliun. Akan tetapi, di sisi lain, fakta menunjukkan bahwa kecilnya defisit juga karena rendahnya daya serap anggaran pemerintah, yang hanya 87 persen tahun 2012. Ketidakmampuan pemerintah membelanjakan anggaran sesuai jadwal menjadi salah satu alasan kegagalan pertumbuhan ekonomi agak meleset dari target 6,3 persen tahun 2012.
Alasan lain adalah defisit perdagangan. Sejak tahun 1961, baru kali inilah perdagangan kita defisit. Tahun 1961, defisit perdagangan Indonesia diikuti dengan defisit transaksi berjalan hingga 521 juta dollar AS. Menurut Bruce Glassburner (1971), defisit besar terjadi karena banyaknya transaksi perdagangan barang dan jasa dengan Uni Soviet saat itu.
Defisit perdagangan tahun 2012 sebesar 1,6 miliar dollar AS, sementara defisit transaksi berjalan 20 miliar dollar AS. Penyebabnya kombinasi antara: (1) turunnya permintaan karena krisis dan jatuhnya harga komoditas primer andalan ekspor (sawit dan batubara); (2) naiknya impor minyak karena lifting minyak anjlok dari 900.000 barrel menjadi 830.000 barrel per hari; (3) tingginya impor barang modal, termasuk pembelian pesawat komersial; serta (4) kurs rupiah tak lagi kompetitif mendorong ekspor dan menahan impor.
Apa yang bisa kita lakukan? Perlu mengacu pada keempat faktor di atas. Terkait faktor harga komoditas primer, ada harapan tahun 2013 akan membaik. Ekonomi China diyakini tumbuh di atas 9 persen (dari 7,7 persen). Ekonomi India ke level 8 persen (dari 5,4 persen). Ini akan mendorong kuantitas permintaan dan harga produk-produk primer.
Soal minyak, tentu saja mustahil bisa sekejap menaikkan lifting. Yang bisa diharapkan adalah jika pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM), akan terjadi upaya penghematan dan menghindari penyelundupan, menekan impor BBM. Bank Indonesia (BI) dalam batas tertentu membolehkan rupiah terdepresiasi untuk membantu neraca perdagangan.
Dengan berbagai upaya itu, harapan terbaik tahun 2013 adalah defisit kembar tidak terjadi lagi. Anggaran pemerintah masih akan defisit, bahkan sampai jangka menengah ke depan, tetapi angkanya aman pada 2 persen terhadap PDB. Adapun defisit perdagangan, melalui berbagai upaya di atas, bisa ditekan atau kembali surplus meski kecil, misalnya 5 miliar dollar AS.
Motor penggerak ekonomi yang bisa kita andalkan adalah industri perbankan. Tahun 2012, industri perbankan melaju dengan pertumbuhan laba signifikan. Laba neto setahun mencapai Rp 82,8 triliun atau tumbuh 23 persen dari tahun sebelumnya Rp 75,08 triliun. Jelas bahwa industri perbankan masih melanjutkan kinerja positifnya serta diharapkan mampu menjadi benteng pertahanan menghadapi krisis dari sisi eksternal.
Di balik angka impresif tersebut, net interest margin (NIM) cenderung naik ke 5,49 persen. Kenaikan ini saya duga disebabkan oleh meningkatnya eksposur bank ke segmen kredit UMKM yang secara tradisional memiliki NIM tebal. Tren ini akan terus terjadi tahun 2013 karena BI kian giat mendorong bank-bank menyalurkan kredit ke segmen ini hingga 20 persen. Kredit total perbankan saat ini Rp 2.600 triliun. Tentu tak mudah mewujudkan keinginan BI itu. Kredit senilai Rp 500 triliun ke segmen UMKM bukanlah pekerjaan ringan dan pasti berisiko.
Tahun 2013 tidaklah gampang. Pada bulan-bulan awal tahun ini, pemerintah perlu memberikan arahan lewat kebijakan fiskalnya, melalui revisi APBN. Revisi dimulai dari asumsi pertumbuhan ekonomi yang diturunkan menjadi 6,3 persen. Kemudian, kebijakan kuota konsumsi BBM yang tidak efektif diubah menjadi pengurangan subsidi BBM yang lebih punya daya paksa dan disiplin. Kebijakan kuota BBM selama ini hanya dalam asumsi, kemudian dilanggar, tanpa efek jera sedikit pun. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar